Di novel anak garapan Kate DiCamillo, pemenang Newberry Book 2004, berjudul The Tale of Despereaux (2005), si tikus kastil Despereaux dihukum buang ke ruang tahanan bawah tanah sejak ketahuan mencintai seorang putri sekaligus menawarkan persahabatan. Setiap tikus kastil yang dibuang ke ruang bawah tanah, pasti tidak akan bertahan hidup. Ruang bawah tanah dijaga oleh sipir bernama Gregory yang kesepian dan terkesan sangar. Namun, Despereaux selamat dari kematian karena membisikkan cerita-cerita ke telinga Gregory. Meski kegelapan begitu pekat dan kehidupan bawah tanah begitu muram, telinga Gregory tetap awas, rindu, dan bahagia menerima cerita.
“Cerita ibarat cahaya. Cahaya sangat berharga di dunia yang begini gelap. Mulailah dari awal. Berceritalah pada Gregory. Hadirkan cahaya,” ucap Gregory yang selama bertahun-tahun bertungkus lumus dengan kegelapan, kesepian, dan kemuakan pada tikus got. Dan di halaman penutup buku, Kate DiCamillo berpesan agar pembaca menganggap Kate seolah Despereaux yang bercerita untuk saling menghangatkan dalam kegelapan. Kisah Despereaux jelas produk (aksara) cetak. Di luar permintaan Kate DiCamillo untuk dianggap sebagai penutur atau pendongeng, buku itu memang terkesan mewakili suara kelisanan untuk telinga-telinga yang merindukan bunyi.
Kelisanan dan keaksaraan dalam cerita anak hadir saling berkelindan, terkadang tumpang tindih, atau berbarengan. Meski penemuan teknologi cetak atau tulisan cenderung berpotensi menghabisi yang lisan, riwayat kelisanan yang panjang di Nusantara masih begitu kuat meninggalkan ciri pada keaksaraan. Bisa dikatakan bahwa fondasi awal sastra (anak) adalah suara. Orang-orang menyukai suara, terlebih anak-anak. Kita pun mengingat dalam peristiwa kelahiran, indera pertama yang peka adalah pendengaran.
Sastra anak adalah sastra yang dibunyikan. Hal ini terbukti lewat bagaimana prosa bagi anak, entah bentuknya cerita rakyat, folklor, cerita pendek anak, atau cerita bergambar ditampilkan atau dituliskan kembali. Di sampul depan, biasanya kita menemukan pernyataan “diceritakan kembali” atau “dikisahkan oleh”. Walter J. Ong (2013) mengatakan bahwa pergeseran kelisanan menuju keaksaraan terjadi pada aneka seni verbal (sajak, narasi, wacana, deskriptif, seni berpidato, drama, historiografi, biografi, karya-karya filosofis ataupun ilmiah). Narasi menjadi yang paling banyak memantik perhatian, “…saya menyebut kelisanan suatu budaya yang sepenuhnya tidak tersentuh pengetahuan apa pun mengenai tulisan atau cetakan sebagai “kelisanan primer”. Kelisanan tersebut bersifat “primer” bila dibandingkan dengan “kelisanan sekunder” budaya teknologi tinggi masa kini, yang di dalamnya suatu kelisanan baru disokong oleh telepon, radio, televisi, dan alat elektronik lain yang keberadaan dan fungsinya tergantung pada tulisan dan cetakan. Budaya lisan primer masa kini dalam makna ketatnya nyaris tidak ada, karena semua budaya mengenal tulisan dan punya pengalaman mengenai efeknya. Meski begitu, dalam tingkatan yang berbeda-beda, banyak budaya dan subbudaya, bahkan dalam suasana teknologi tinggi, mempertahankan sebagian besar pola pikir kelisanan primer.”
Betapa pun canggih pendidikan modern membawa anak-anak menyadari diri sebagai bagian dari masyarakat keaksaraan dan melek cetak, mereka secara naluriah masih membutuhkan suara ragawi untuk memasuki jagat imajinasi. Kita sadar, peristiwa mendengar hari ini sangat jauh dari nuansa komunal dalam kosmologi adat. Sebagian sangat besar masyarakat saat ini tidak lagi terikat dalam komunitas-komunitas adat yang mengikat.
Buku bacaan anak lebih mutakhir, secara tersirat ataupun tersurat menekankan peran orangtua sebagai pencerita atau pendongeng. Tentu, kita bisa yakin orangtua lebih sadar dan melek aksara. Raga anak harus diasup makanan bergizi, sedang jiwanya harus diasuh oleh cerita-cerita bermakna. Di sini, rumah menjadi penting dan wilayah potensial untuk persemaian keaksaraan dibarengi oleh kelisanan. Salah satunya buku berjudul Istana dalam Perut Ikan dan Tiga Cerita Lainnya (Mizan, 2004) yang ditulis oleh Laila Hilaliyah dan digambari Pidi. Di sampul depan buku, ada label “Dongeng Sebelum Tidur.” Bersesuaian dengan label, buku secara khusus memberi halaman “Petunjuk bagi Orang Tua” untuk mendongengkan sebelum tidur dan orangtua bergaya seperti pendongeng.
Pendongeng Made Taro dalam penulisan-penceritaan kembali folklor Bawang dan Kesuna yang mengalami cetak ulang tiga kali (1997, 1998, 2000) oleh Balai Pustaka memiliki pengakuan lebih personal sekaligus kultural. Penerbit menulis, “Made Taro mendengar cerita ini ketika ia masih kecil yang diceritakan oleh ayah atau ibunya menjelang waktu tidur.” Sewaktu kecil, Made Taro menjadi seorang anak yang mendengar dan secara kultural menjadi bagian dari masyarakat kelisanan Bali. Ayah dan ibu Made Taro pasti berhasil membuat cerita Bawang dan Kesuna begitu hidup meski tanpa ilustrasi atau teks tercetak. Cerita itu diterbitkan ulang dan jelas mewujud sebagai produk keaksaraan.
Peralihan ini tidak saja menunjukkan peralihan suara ke teks, tapi juga kepemilikan. Secara kultural, Bawang dan Kesuna memang cerita rakyat dari Bali. Namun, sebaran buku memungkinkan cerita dimiliki pembaca Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bangka, atau Papua yang juga mengingatkan cerita tentang anak perempuan baik dan anak perempuan jahat versi masing-masing daerah. Lantas dari teks, cerita sangat mungkin beralih lagi ke suara karena dibacakan oleh ibu kepada anak, guru kepada murid, atau seorang pendongeng kepada publik pendengar-pembaca anak.
Dalam teks keaksaraan, ciri kelisanan sering bahkan harus begitu kuat. Sampai hari ini, banyak cerita diawali dengan pengejawantahan waktu yang terkesan entah dan tanpa batasan, misalnya “pada suatu hari”, “pada zaman dahulu”, “dahulu kala”, atau “suatu ketika”. Begitu pernyataan terucap atau tertulis, dunia lain menawarkan penalaran pada tokoh, kejadian, kenyataan, atau perasaan-perasaan yang bisa diresapi atau terpantulkan dari diri pendengar. Tidak hanya tulisan berbasis kelisanan berjenis folklor, fabel, atau legenda mempertahankan pola ini seolah memang begitulah suatu kisah lumrahnya diawali dan spontan membayangkan sang narator bersuara daripada menulis.
Keampuhan “Pada suatu hari” atau “Pada zaman dahulu” bertambah sakti justru saat didukung teknologi. Ingat saja betapa populer acara berfigur kakek tradisional pencerita yang diidolakan kedua cucunya sekaligus penonton bocah di Indonesia. Kakek di tayangan salah satu stasiun televisi swasta ini memiliki tiga kata sakti “Pada zaman dahulu” yang seketika menghadirkan cerita-cerita dalam layar. Suara yang disokong teknologi ini tentu saja langsung disambut dengan antusias, entah antara bocah benar-benar rindu mendengar atau gerak animasi yang menyenangkan daripada sekadar menghadapi gambar diam dalam buku.
Namun, inilah tantangan yang sebenarnya dihadapi oleh kelisanan. Kelisanan sekunder, seperti dibahasakan Ong, hampir mengisi atau bisa dikatakan “menguasai” kebutuhan suara. Dari tontonan televisi sampai tayangan Youtube, suara dari teknologi lebih mudah dijangkau dan sanggup memberikan efek candu. Tidak dipungkiri memang teknologi menyokong sastra anak memenuhi kodratnya disuarakan. Misalnya saja membaca nyaring atau read-aloud lewat tayangan virtual yang belakangan sangat populer di masa pandemi, langsung menjadi alternatif sebelum ikatan kultural pada kelisanan primer ataupun intelektual pada keaksaraan benar-benar kuat tercipta.
Kelisanan dan keaksaraan harus berjalan berbarengan. Sastra anak adalah sastra yang dibunyikan, lalu dibaca. Anak-anak pasti sangat menyukai suara, bukan suara monoton menasihati atau suara seram mengkhotbahi. Suara itu cerita yang dibuka dari kedalaman buku. Suara yang membuat ilustrasi berpendar hidup dalam kepala. Pada mulanya, bersastra berarti mendengar. Untuk membuat cerita berumur panjang, harus ada suara berumur panjang pula.