Menerjemahkan Pesan Mbah Kakung

Sepanjang hayat tak pernah kukenal sosok kakekku, ayah kandung bapakku. Pernah sekilas belaka Bapak bercerita, ayahnya tiada ketika dirinya masih remaja. Namun, beliau tidak pernah memberitahu kapan persisnya kakek atau Mbah Kakung tutup usia dan di mana pula makamnya. Adakalanya aku hanya diajak berziarah ke makam Mbah Putri di kota kecil yang pernah ditinggali Bapak, Ibu, dan kakak-kakakku sebelum aku lahir. Maka sebatas kutahu nama lengkap Mbah Kakung. Bahkan fotonya saja tak pernah kulihat di dinding rumah maupun di album foto usang milik Bapak. Ingin kutahu siapa sejatinya kakekku, sejarah nenek moyangku, tapi kepada siapa aku mesti bertanya hari ini? Bapak telah dua puluh tahun silam padam nyawa dan kerabat dekatnya yang kukenal segelintir belaka. Ibu pun sudah tiada delapan tahun lalu. Keempat kakakku tidak tahu banyak pula. Sementara sejumlah sepupuku pun tak pernah bercerita soal Mbah Kakung. Namun, hubunganku dengan mereka tak terlampau karib, jadi aku jarang bertemu, kecuali dengan Mas Widodo sesekali.

Orang tua berkemeja lusuh dan bersarung warna gelap itu berjalan menuju tempatku berdiri. Tak kukenal wajah lelaki berewokan dan berambut panjang warna putih yang usianya tampak amat uzur tersebut. Ia melangkah perlahan dengan tongkat. Cara berjalannya rada membungkuk. Setelah posisinya tak jauh dariku, ia mendongakkan kepalanya dan menatap ke arahku.

”Betul kan, kau bernama Bimo dan putra Sutejo?” tanya si kakek.

”Iya, benar. Dari mana kakek tahu dan siapakah kakek ini?” tanyaku takjub.

”Aku adalah Mbak Kakungmu, Bimo.”

”Tapi kata Bapak, Mbah Kakung sudah lama meninggal. Bagaimana bisa berada di sini?”

”Ya, cucuku. Aku memang sudah tiada di atas buana.”

“Jadi, Mbah Kakung ini tidak nyata atau bagaimana?”

“Tak usah pikirkan soal itu. Aku sekadar ingin menyampaikan sesuatu.”

“Apakah itu?”

“Ini menyangkut kakak perempuan bapakmu yang dahulu hilang. Dia sebetulnya masih hidup. Cobalah, kau cari dirinya. Aku yakin, cucuku bisa melakukannya. Itu saja pesanku.”

Tak kupahami apa yang dikatakan Mbah Kakung. Baru aku mau bertanya, mendadak sosok lelaki itu lenyap, dan terbukalah mataku. Aku tengah berada di atas dipan, sedangkan istriku terlelap di sisi kiriku. Ternyata aku sebatas bermimpi berjumpa dengan kakekku. Entahlah, mengapa tiba-tiba beliau hadir dalam bunga tidurku? Coba kurenungkan pesan Mbah Kakung. Sebelumnya memang pernah kudengar cerita tentang hilangnya kakak perempuan Bapak dari Mas Widodo. Antara percaya dan tidak, ketika kusimak kata-katanya tempo hari.

“Kakak perempuan bapakmu dahulu pergi waktu sore. Konon dia pergi dibawa makhluk halus, genderuwo atau wewe gombel, aku tidak hapal. Sejak saat itu, dia tak pernah pulang,” ujar Mas Widodo.

“Apakah Bapak saya sudah mencarinya?” tanyaku.

“Bapakmu sudah mencarinya, demikian pula bapakku. Tapi mereka tak pernah bisa menemukannya.”

Saudara kandung Bapak yang kukenal hanyalah ayah Mas Widodo, yaitu Pakde Sumpeno. Kata Bapak, sesungguhnya ada beberapa kakak adiknya yang lain, tapi mereka wafat dalam usia muda. Yang kuingat hanyalah cerita tutup usianya adik perempuan Bapak. Menurut Bapak, beliau meninggal dunia secara tidak wajar. Aku jadi penasaran, mengapa demikian nasib saudara-saudara Bapak?

Ingin kuceritakan soal mimpiku ditemui Mbah Kakung, tapi aku sempat tak mengerti pada siapa. Seluruh kakakku merupakan tipe orang yang sangat rasional dan agak susah menerima hal-hal yang dipandang kurang masuk akal. Istriku sama saja, tapi dia lebih terbuka menerima perbedaan karena cintanya terhadapku. Barangkali harus kutemui Mas Widodo, siapa tahu dia bisa menerjemahkan pesan Mbah Kakung.

“Kenapa untuk masalah itu, Mas Bimo sampai mau pergi jauh?” tanya istriku.

“Firasatku, dia bisa memecahkan misteri Mbah Kakung. Sepertinya ada sesuatu yang lebih bermakna dari mimpiku.”

“Mungkin maksudnya agar hubunganmu dengan Mas Widodo bisa lebih akrab.”

“Iya, aku sempat berpikir begitu. Rencanaku besok pagi berangkat, menginap semalam, dan pulang Minggu paginya.”

Jadilah aku pergi ke tempat tinggal Mas Widodo yang merupakan desa asal Bapak, sebelum beliau merantau ke berbagai daerah karena tugasnya, hingga akhirnya tinggal dan wafat di Yogyakarta. Begitu sampai di rumah sepupuku, langsung kukatakan maksudku. Mas Widodo takjub ketika kuceritakan mengenai Mbah Kakung.

”Kenapa justru Dik Bimo yang didatangi Mbah Kakung, ya?” tanya Mas Widodo.

”Entahlah. Menurut Mas Wid, bagaimana soal bibi kita yang katanya masih hidup itu? Siapa nama beliau? Saya lupa.”

”Namanya Sukarti kalau tidak salah, ya kita sebut saja Bu Kar atau Bude Kar buatmu. Bisa jadi beliau memang masih ada.”

”Tapi kita mesti mulai dari mana, Mas?”

”Seingatku, dulu Bu Kar hilang saat bapakmu tinggal di Solo. Jadi siapa tahu, beliau sekarang malah tinggal di Jogja?”

”Bisa jadi, Mas. Mungkin itu sebabnya saya didatangi Mbah Kakung.”

”Nah, sepertinya kita mulai bisa memecahkan teka-teki itu.”

Pagi hari berikutnya aku pamit pulang. Mas Widodo berjanji akan ke Jogja pada Sabtu selanjutnya. Kami bersepakat mencoba mencari Bude Kar, yang konon masih berada di atas buana.

***

Telah ada yang mengetuk pintu rumahku pada Sabtu pagi, tak lama seusai azan Subuh berkumandang. Mas Widodo datang memenuhi janjinya. Sekian jam kemudian, aku dan Mas Widodo mendatangi satu demi satu panti jompo yang berada di kotaku. Telah kumiliki daftarnya di seluruh penjuru Yogyakarta lewat internet. Sempat dua kali kami menemukan nama Sukarti, tapi bukan yang kami cari. Sukarti yang pertama berusia lebih muda dari bapakku dan tertera data keluarga yang menitipkannya. Sementara itu, Sukarti yang kedua baru wafat sekitar dua pekan berselang.

”Bagaimana jika Sukarti yang kedua ternyata Bude Kar yang kita cari, Mas?” tanyaku ketika kami makan siang di warung soto ayam.

”Bukankah kata Mbah Kakung, beliau masih hidup?” ujar Mas Widodo mengingatkanku.

”Iya, Mas. Tapi mimpi bisa saja ditafsirkan berbeda-beda, kan?”

”Sekarang, tanyakan pada hatimu saja. Menurutmu, apakah Sukarti kedua tadi yang kita cari atau bukan?”  

”Firasat saya, Bude Kar masih hidup, meski entah kapan ketemunya.”

”Kita sabar sajalah. Toh, kita baru mulai mencarinya.”

Hari berikutnya, aku dan Mas Widodo menyambangi sejumlah panti jompo yang belum kami kunjungi dan tiada lagi nama Sukarti.

“Mungkin pekan depan, kita bisa mencoba mencarinya di Solo atau Magelang,” usulku.  

“Ide yang bagus, Dik. Cuma aku tak bisa datang lagi pekan depan. Aku mesti membantu tetanggaku yang akan mantu.”

“Tidak apa-apa, Mas. Biar nanti saya mencarinya sendiri. Yang penting, kita telah berupaya serius menemukan kerabat kita yang hilang.”

Aku jadi menjelajahi panti jompo yang berada di Solo maupun Magelang, sepekan sehabis Mas Widodo pulang. Ada Gugun dan Irwan, dua keponakanku yang bersedia menyertai langkahku. Akhirnya aku bercerita pada kakak-kakakku soal mimpi itu. Mereka ternyata tidak memasalahkan hal tersebut. Malah Mas Kresno yang akhirnya menyuruh anak-anaknya menemaniku.

“Ketika kedua orang tua kita sudah wafat, kita tidak bisa lagi membahagiakan mereka, kecuali hanya dengan menjadi orang baik dan tak pernah berhenti mendoakan mereka. Namun, jika kakak mendiang Bapak ternyata masih hidup, mungkin kita bisa memuliakan beliau di masa tuanya,” kata Mas Kresno bijak.

Mendapat dukungan saudara-saudara terdekat membuatku lebih giat mencari Bude Kar. Sebenarnya aku berharap menemukan pertanda keberadaan beliau, meski entah apa wujudnya. Namun, sampai sebulan kemudian, tiada isyarat yang datang padaku. Aku berharap Mbah Kakung mengunjungiku lagi, tapi tak kunjung terjadi. Mungkin kulupakan saja pencarianku dan membiarkan pesan Mbah Kakung sebatas misteri yang tak berhasil dituntaskan.

***

Biasanya hampir setiap akhir pekan, aku dan istriku membawa anak-anak mengunjungi kakek nenek mereka. Namun, selama sebulan terakhir aku tak ikut datang ke rumah mertua karena kesibukanku menafsirkan mimpi Mbah Kakung. Sabtu petang itu, aku sedang duduk santai dengan bapak mertuaku, istriku, dan sejumlah saudaranya. Aku telah kembali bercengkrama bersama keluarga besar istriku. Anak-anak sedang ceria bermain di halaman rumah itu. Tiba-tiba datanglah nenek penjual pisang yang pernah kutemui sebelumnya.

”Eh, Mbah akhirnya datang juga. Ibu saya dari tadi sudah menunggu lho, kan rencananya kami mau bikin pisang goreng,” kata istriku sambil mendekati perempuan tua tersebut.

”Iya nih, masak teman minum teh dan kopi sore ini hanya roti? Mestinya memang ada pisang goreng panas, pasti jadi nikmat sekali rasanya,” ujar bapak mertuaku disambut senyum tawa kami semua. Aku ikut tersenyum, tapi melihat nenek penjual pisang itu, serta-merta terbesit perasaan aneh yang biasanya tak ada. Tampaknya sebuah isyarat baru telah kudapat. Ingin segera kutanyakan banyak hal kepadanya, tapi aku merasa tak nyaman karena banyak orang. Aku bergegas masuk mengikuti istriku yang sedang mengambil uang.

”Dik, sepertinya yang kucari sudah ketemu,” kataku.

”Apa maksud Mas Bimo? Masih juga terobsesi pada sosok Bude Kar, ya?”

“Iya, Si Mbah penjual pisang itu jawabannya.”

“Huss, Mas jangan bercandalah. Dia itu sudah bertahun-tahun menjual pisang di sini. Masak sih, selama ini kita tidak tahu?”

“Aku punya firasat yang kuat ketika melihat dirinya hari ini. Kau lihat saja, wajahnya mirip siapa?”

“Baik, cobalah kulihat. Eh, iya lho, Mas. Kok Si Mbah itu jadi ada miripnya dengan Mbak Utari? Terus, sekilas aku jadi ingat wajah bapakmu di foto pula,” ucap istriku seraya memandangi sosok perempuan tua itu lewat jendela.

“Iya, kan? Coba kau ajak dia masuk, di dapur atau ruang makan juga boleh. Ingin kuajak dia bicara. Kau nanti bantu aku, ya?”

Nenek penjual pisang itu bersedia dibawa istriku duduk di ruang makan. Ibu mertuaku pernah mengajaknya masuk, jadi bukan lagi hal istimewa baginya Aku ditemani istriku duduk di depan sang perempuan tua. Ibu mertuaku membuat pisang goreng dibantu putrinya yang lain. Terus terang, aku gugup dan tak tahu mau mulai bicara dari mana.

”Ada apa ya, Mbak dan Mas ini kok tumben mau ketemu saya?” tanya nenek itu.

”Ini suami saya, Mbah. Namanya Mas Bimo,” ujar istriku.

”Iya, sepertinya saya pernah lihat Mas Bimo.”

Aku tersenyum saja dan menunggu istriku kembali berkata. Hatiku berdebar-debar, berharap firasatku tepat adanya. Dengan bahasanya yang halus, istriku meminta sang nenek menceritakan siapa dirinya dan ternyata dia bersedia. Dahulu kala, dia pernah pergi dari rumah adiknya hingga tersesat, persis dengan cerita Mas Widodo tentang Bude Kar. Dia tidak bisa pulang sejak saat itu, hingga akhirnya menikah, dan memiliki anak cucu di daerah Bantul, tak jauh dari kota Yogyakarta. Ternyata dia sempat menderita amnesia. Ketika memorinya mulai kembali, dia mencoba mencari kerabatnya di mana-mana, tapi tak kunjung berhasil. Aku menyimaknya dengan saksama, sampai akhirnya mengajukan pertanyaan.

”Apakah Mbah masih ingat nama saudara-saudaranya?”

”Waktu saya pergi, saya masih punya kakak yang namanya Sumono atau Sumpeno, ya? Lalu, ada dua adik saya yang namanya Sutejo dan Sulastri.”

Nyaris tak kupercaya mendengarkan apa katanya. Aku menoleh ke arah istriku yang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Tangannya lantas menggenggam tanganku. Tanpa sadar, air mataku menetes begitu saja.  Aku segera menghampiri nenek penjual pisang itu dan berlutut di dekatnya.

”Mbah ini namanya Ibu Sukarti, kan?” ucapku dengan perasaan tak karuan.

”Iya, betul. Lalu, Mas Bimo ini siapa, ya?” tanya perempuan tua itu bingung.

“Bude Kar, saya ini keponakan Bude. Saya Bimo, anaknya Pak Sutejo.”

“Anaknya Sutejo? Masya Allah, jadi Mas Bimo keponakan saya?”

Kami pun berpelukan dengan rasa haru. Sungguh tak kukira bisa berjumpa dengan kakak mendiang Bapak yang pernah hilang, ketika aku bahkan belum lahir ke dunia. Bude Kar pergi dari rumah adiknya tatkala usianya masih sekitar awal tiga puluh, empat puluh enam tahun silam. Usiaku sendiri kini empat puluh. Jadi, usia Bude Kar kira-kira sudah tujuh puluh tujuh.

“Apakah bapakmu masih ada, Nak?” tanya Bude Kar.

“Bapak sudah meninggal dua puluh tahun lalu, Bude.”

“Ya Allah, adikku sudah lama pergi. Lalu pakdemu dan bulikmu?”

“Pakde Sum dan Bulik Lastri sudah lebih dulu wafat sebelum Bapak.”

“Jadi, tinggal aku sendiri, ya?” kata Bude Kar sendu.

“Lho, bukankah Bude masih punya anak cucu? Lantas, sekarang Bude juga punya saya sebagai keponakan Bude, kan?”

Bude Kar tersenyum bercampur air mata. Tak lama kemudian, ibu mertuaku mengajak kami menikmati kebersamaan di teras rumah. Rasanya tak sabar kuberitahu kakak-kakakku dan Mas Widodo tentang kabar gembira perjumpaanku dengan Bude Kar. Ternyata benar kata Mbah Kakung dalam mimpiku tempo hari. Lega rasanya, telah berhasil kuterjemahkan pesan beliau kini.




====================
Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jabar, kompas.id, dan sejumlah media lainnya. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).  

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *