Mangga dan Batu

Mendapati mangga tergolek di bahu jalan, lelaki itu mengerem motornya, lalu memungut buah itu. Seusai membantingnya pada permukaan aspal, dengan begitu nikmat ia memakan pecahan dagingnya. Kemudian, karena di depan banyak mangga berserakan, kepada pejalan yang berpapasan, ia menawarkan, “Maukah kau menukar tasmu dengan motorku?”

“Kenapa kau mengajukan penawaran se-gemblung itu?”

“Aku butuh tasmu untuk mewadahi mangga-mangga itu, sementara kau, barangkali butuh motorku untuk melanjutkan perjalananmu…”

“Aku suka berjalan, aku tak butuh motormu. Tetapi karena kau butuh tasku, ini kuberi cuma-cuma…”

“Bagaimana kalau ditukar dengan satu mangga?”

“Baiklah, bila kau memaksa.”

Seiring pejalan itu pergi, ia menuntun motornya mendekati lalu memunguti mangga-mangga itu. Sementara itu di bawah pohon mangga, seorang perempuan tampak merenung. Lelaki itu yang sekonyong-konyong entah tahu dari mana bahwa dirinyalah yang sedang direnungi, mendekatinya lalu berkata, “Seperti kurang kerjaan, pagi-pagi merenungiku.”

“Karena kerja saya merenung, sepagi ini sudah merenung, berarti saya lagi ada kerjaan.”

“Kenapa kau merenungiku?”

“Kenapa Anda memunguti mangga-mangga itu?”

“Sewaktu kecil aku senang memunguti mangga di pekarangan-pekarangan rumah warga kampungku. Dan, seperti yang kau lihat, banyak mangga yang berserak di jalan ini, eman-eman bila tak dipunguti.”

“Lalu untuk apa mangga-mangga itu?”

“Sementara ini aku belum tahu, mungkin memakannya.”

“Semuanya?”

“Mungkin iya, mungkin sebagian, sebagian lagi kuberikan padamu, atau entah untuk siapa atau entah untuk apa. Sekarang yang penting aku memungutinya. O, ya, motor ini cukup membebaniku bila terus menuntunnya, kau mau?”

“Menuntun motor itu?”

“Bukan, maksudku motor ini untukmu, kau mau?”

“Motor sepertinya bukan objek menarik untuk saya renungkan. Kenapa tak Anda geletakan saja di sini, siapa tahu nanti ada orang yang membutuhkannya,”

“Saran bermutu. Hal seperti itu kenapa tak terpikir olehku?”

“Bisa jadi pikiran Anda terlalu sibuk memunguti, sampai tak sempat mikir meletakan,”

Setelah lelaki itu berlalu, motor ditumpaki dua lelaki tampak berhenti di depan si perempuan. Lalu satu diantara mereka sekonyong-konyong berkata, “Apakah motor ini punyamu? Karena kau menggelebakannya begitu saja, seolah tak peduli dengan apa yang kau punya, bolehkah kami mencurinya?”

“Curilah.”

Seiring mereka pergi dengan motor masing-masing, perempuan itu menggelengkan kepala, entah untuk maksud apa. Kemudian ia berjalan ke arah lelaki itu. Sementara lelaki itu sibuk memunguti mangga, bisa jadi daripada tak berbuat apa-apa, perempuan itu memunguti batu-batu yang teronggok di jalan itu. Beberapa saat kemudian seorang polisi menghentikan motor di depan mereka. Mereka berhenti memunguti saat polisi itu bertanya, “Apakah kalian sedang sekongkol mencuri mangga?”

“Tidak, pak!” jawab mereka serempak.

“Lalu kenapa masing-masing kalian, satu memegang batu sedang yang lain memegang mangga?”

“Aku lagi memunguti mangga yang berserakan ini, Pak Polisi.”

“Saya sedang memunguti batu-batu yang teronggok di jalan ini.”

“Baiklah, kalau begitu lanjutkan…”

“Pak Polisi, apakah kau mau mangga?”

“Mangga, buat apa?”

“Barangkali istri simpananmu lagi ngidam, ngidam mangga.”

“Tahu dari mana aku punya istri simpanan, tahu dari mana ia lagi ngidam?”

“Aku hanya ngarang, Pak Polisi, sekadar basa-basi demi menawarkan mangga ini.”

“Aku memang punya istri simpanan yang lagi ngidam, baiklah, aku mau, dua saja.”

“Apakah Anda mau batu?”

“Batu, buat apa?”

“Melempar dua pencuri yang sedang Anda kejar.”

“Aku memang sedang mengejar dua pencuri, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau juga cuma ngarang, sekadar basa-basi untuk menawarkan batu itu?”

“Saya sendiri tak tahu kenapa ijig-ijig—tiba-tiba—saya tahu hal itu, bahkan beberapa saat tadi saya diberitahu peristiwa yang bakal terjadi pada Anda dan kedua pencuri itu. Anda mau tahu?”

“Tidak, kukira tak ada lagi keasyikan bila apa yang akan terjadi telah kuketahui. Jika demikian, masih bergunakah batu itu buatku?”

“Justru karena itu, batu ini amat berguna buat Anda.”

“O, ya, untuk apa?”

“Melempar mereka. Seperti yang Anda tahu, mereka kebal peluru.”

“Dengan demikian, bukankah kau secara tak langsung memberitahuku peristiwa yang bakal kualami: melempar mereka dengan batu itu?”

“Bisa ya, bisa tidak. Cerita yang baik bagaimanapun sukar ditebak ke mana arahnya. Penawaran terakhir, apakah Anda mau batu?”

“Baiklah, dua saja.”

Setelah polisi itu memasukan dua mangga dan dua batu itu ke dalam tasnya, ia pun berlalu. Sementara itu mereka melanjutkan memunguti batu-batu dan mangga-mangga itu. Karena batu makin banyak di tangan, perempuan itu mulai kerepotan, meminta pada lelaki itu berbagi tas dengannya. Baiklah, sambut lelaki itu. Pada akhirnya mereka berjalan bersisian. Itu mereka lakukan setelah si perempuan bertanya, “Kenapa Anda hanya memunguti mangga, kenapa tidak sekalian batu-batu itu?”

“Bila itu kulakukan, lantas apa yang kau lakukan?”

“Tentu merenungi Anda melakukan itu.”

“Tak bisakah merenungkan sesuatu sambil melakukan sesuatu?”

“Baiklah, saya mencobanya.”

Beberapa saat kemudian, dengan tampang cukup mengkhawatirkan, seorang lelaki berkaos kuning celana hitam mendekati mereka, lalu berkata, “Sudah tiga hari tiga malam aku tak makan. Maukah kalian berbagi denganku apa yang ada dalam tas itu?”

“Tas ini hanya berisi batu dan mangga, bila kau ingin memakan batu atau mangga, lihat, banyak batu dan mangga berserakan di jalan,” jawab lelaki itu.

“Aku tahu banyak mangga dan batu berserakan sebagaimana banyak lubang ternganga di jalan. Bila aku ingin memakan mangga atau batu, tentu aku sudah mengambil sendiri, tak perlu meminta pada kalian. Tetapi aku ingin makan apa yang di dalam tas itu, itu pun jika kalian berikan.”

“Meskipun mangga dan batu?”

“Meskipun mangga dan batu.”

Lelaki itu merogoh tas itu, meraba apa yang kiranya mangga dan mengambilnya, begitu keluar dari tas itu, ternyata ia memegang sebungkus nasi, lalu ia pun memberikannya pada si peminta. Giliran perempuan itu merogoh tas itu, meraba apa yang kiranya batu dan mengambilnya, begitu keluar dari tas itu, ternyata ia memegang sepotong mendoan, lalu ia pun memberikannya pada si peminta. Sementara lelaki berkaos kuning celana hitam tampak makan dengan amat lahap, dua orang itu beradu mata—heran.

Seusai makan, seusai beberapa kali bersendawa, ia mengucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Dan, seusai menyampaikan terima kasih pada mereka, ia pamit melanjutkan perjalanan.

Sebagaimana dikatakannya, memang banyak lubang menganga di jalan. Karena tas itu makin penuh, sementara masih banyak mangga dan batu yang berserak, lelaki itu mengusulkan untuk menutup lubang-lubang itu dengan mangga dan batu.

“Bagaimana jika nanti tumbuh pohon mangga di lubang-lubang itu?” tukas perempuan itu.

“Bagaimana jika nanti tumbuh batu di lubang-lubang itu?” balas lelaki itu.

“Bagaimana jika nanti tumbuh pohon mangga berbuah batu di lubang-lubang itu?”

“Bagaimana jika nanti tumbuh batu berbuah mangga di lubang-lubang itu?”

Karena mereka sama-sama tak tahu bakal tumbuh apa atau malah tak tumbuh apa-apa pada lubang-lubang itu, mereka sepakat menutup lubang-lubang itu dengan mangga dan batu setelah sebelumnya mereka kumpulkan dalam tas itu. Demikianlah, untuk beberapa hari ke depan, mereka terus berjalan, memunguti mangga dan batu yang berserakan itu, menutupi lubang-lubang di jalan itu.

Sementara itu, sampean lihat, polisi itu terus menggeber motornya, mengejar buronannya. Tahu sedang dikejar, mereka pun mempercepat laju motor masing-masing. Karena keterampilan bermotor mereka jauh di atas polisi itu, dengan gampang mereka meninggalkannya.

Setelah polisi itu tak tampak di belakang mereka, satu di antara mereka memberi kode untuk berhenti. Mereka pun berhenti, seperti yang seringkali mereka lakukan, menanti polisi itu tampak lagi, begitu mendekat, mereka pun kabur lagi. Tetapi tidak kali ini, mereka ingin mengerjai polisi itu habis-habisan atau bila perlu menghabisinya. Sepertinya mereka telah bosan terus-menerus dikejar tanpa sekali pun ditangkap.

Mendapati mereka berdiri dengan santainya tanpa geliat akan kabur, polisi itu merasa bimbang. Bahkan, cemas merambatinya perlahan. Karena pelurunya tak mampu menembus tubuh mereka. Setelah menguatkan keberanian dengan menegaskan dirinya adalah polisi, ia menghentikan motornya beberapa jarak dari mereka. Lalu ia segera merogoh satu batu dari dalam tasnya dan melemparkannya ke salah seorang dari mereka.

Polisi itu terkejut, cepat-cepat menghindar, batu itu ternyata memantul, balik menyerangnya. Entah karena tak percaya atau panik, polisi itu merogoh lagi isi tasnya. Kali ini ia mendapati sebuah mangga, lalu melemparkannya pada orang itu lagi. Tak dinyana, sasarannya itu sekonyong-konyong ambruk begitu terserampang mangga. Ia pun mengeluarkan mangga yang satu lagi dan bersiap melemparkannya pada lelaki yang tengah bingung, memandangi temannya: apakah temannya betul-betul ambruk atau hanya pura-pura ambruk. Bahkan, begitu mangga itu mengenai tubuhnya, ia pun langsung ambruk. Sesaat sebelum ia ambruk ia tak yakin apakah dirinya betul-betul ambruk atau pura-pura ambruk.

Polisi itu mendekati mereka, memborgol dan mengikat mereka pada tiang listrik. Konon, bertahun-tahun kemudian, seorang pejabat negara begitu melihat tiang listrik itu, sekonyong-konyong ingin menabrakkan mobilnya pada tiang listrik itu. Lalu polisi itu mengontak markas, meminta bantuan untuk mengurus tangkapannya itu.

Kemudian dengan wajah sumringah ia pergi ke rumah istri simpanannya. Sampai tujuan, ia menyesal kenapa tak mengambil lagi dua mangga yang ia lemparkan tadi. Tetapi penyesalannya tak berlangsung lama—seketika berganti ketercengangan tingkat tinggi—, karena begitu pintu rumah terbuka, sekonyong-konyong wanita itu menyaut dan menggeledah tasnya, lalu berkata, “Terima kasih telah membawakanku batu, bagaimana kau tahu aku sedang ngidam batu?”

Kesugihan, 17 Februari 2018 – 11 Nopember 2020


Bagikan:

Penulis →

Baitul Muttaqin Al Majid

Menulis beberapa cerita dan dimuat di beberapa media, baik daring maupun cetak. Cerpen Sedekah Pepohonan masuk finalis 30 naskah terbaik Festival Menulis Cerita Anak Nasional, Oktober 2020 Funbahasa, Surabaya. Hikayat Sepucuk Duri dan Shalawat Nabi masuk 50 naskah terbaik Lomba Cerpen Nasional Pena Persma, Oktober 2020 LPM Dinamika Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara. Jeruk Surga memenangi Juara 2 Lomba Cerita Inspiratif Festival Sastra Aksara (FSA) ke-VII Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya, Oktober 2020. Ragu adalah antologi cerpen bersama yang mengambil judul cerpennya sebagai cerpen terbaik pertama Tantangan Menulis Cerita Pendek September 2020 CV. Penerbit, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *