“Apa yang aku bayangkan selalu terjadi!”
Kau hanya mendengus-dengus di depanku.
“Ini firasat, begitu buruk!”
“Tidak, tidak, kau harus pergi, Ril. Tidak mungkin kau menolak tawaran ini. Ini kesempatanmu, kesempatan satu-satunya. Kau harus pergi. Ya biarkan kami di sini. Aku akan menjaga Arisa untukmu, sepenuh ragaku.”
Setahun sejak percakapan itu, kau menikah dengan Arisa, kekasihku.
***
Aku tak pernah mengerti mengapa kau selalu ingin aku pergi. Bahkan ketika aku hanya berada di kota ini untuk beberapa hari, kau senantiasa gelisah. Kau merasa bahwa yang selalu kau bayangkan bakal benar-benar terjadi. Namun nampaknya itu tak pernah terjadi. Lihatlah aku kini, masih sehat, hidup sediakala, bahkan dengan perut yang semakin tambun.
Sama sekali aku tak membenci dirimu. Meski terang-terangan kau telah khianat. Ketika aku berada jauh di negeri lain, terlunta-lunta kesana kemari, kau justru dengan senang hati menikah dengan orang lain, dengan orang yang berjanji untuk menjaga dirimu, demi aku, demi persahabatan, kata keparat itu.
Tapi sudahlah, aku sudah terbiasa berdamai dengan segala hal, termasuk dirimu. Namun yang paling aku kesalkan adalah firasat-firasatmu terhadapku. Ini yang paling aku tidak suka––bukannya benci––dari dirimu. Kau seolah bisa melihat apa yang bakal terjadi kepadaku, seolah kau hendak menghalangi segala keburukan yang bakal terjadi, di masa yang mendatang. Sungguh aku muak betul dengan firasat-firasatmu itu, Arisa!
Siang itu, ketika aku baru saja hendak melepas sepatu, kau kembali meneleponku. “Ril, percayalah padaku. Kau tak seharusnya kembali ke kota ini. Kota ini bakal menyeretmu lebih dekat kepada kematian. Kumohon dengarkan aku kali ini. Aku tak ingin kau mati dalam usia muda. Aku tak ingin…”
Tuuut… tuut… telepon kumatikan.
Arisa, mengapa kau begitu peduli kepadaku? Bukankah kau telah memiliki orang lain yang lebih baik untuk kau pedulikan. Tak seharusnya lagi kau peduli atau bahkan mengingat-ingat aku. Atau kau masih merasa kita masih menjadi sepasang kekasih? Oh, tidak, Arisa, tidak lagi. Roda telah bergulir. Kau telah menjadi milik Andrea. Dan kau tidak memiliki aku. Begitu pula, aku tidak memiliki kau.
***
“Aku hanya akan pergi beberapa hari, bu.”
“Kau selalu begitu, selalu mengatakan beberapa, padahal bisa jadi kau pergi selama sebulan atau justru…” Mendadak kalimat ibunya berhenti. Ibunya tersedak.
“Pelan-pelan, Bu. Tak perlu terburu-buru. Ibu sebaiknya berlibur saja, kemana saja sesuka ibu. Kudengar di Osaka ada taman menakjubkan yang baru saja dibuka. Atau, ya kemana saja terserah Ibu…”
“Ah kau ini, selalu mengolok-olokku. Aku ini ibumu, tau! Sekarang cepat habiskan sarapanmu, ibu ikut mengantarmu ke bandara.”
***
Aku tak pernah menyangka ketika pesawat telah menjejakkan rodanya di kota ini, aku menerima sebuah pesan, bahwa mobil yang dikendarai ibu terperosok ke bawah badan truk raksasa yang tengah melintas.
Aku merasakan lemas pada kedua lututku. Beberapa orang membantuku ke arah tempat duduk, dan kemudian meninggalkanku. Aku tercenung beberapa saat, ketika kemudian teleponku bergetar. Arisa. Aku mengangkatnya dengan enggan.
“Maaf soal ibumu. Firasat kali ini terlambat datangnya. Tepatnya ketika baru saja hendak mandi pagi. Aku berulangkali mencoba meneleponmu. Namun tak aktif. Kukira kau tentu masih di dalam pesawat. Maafkan aku, Ril.”
Arisa mematikan teleponnya. Aku sama-sekali tak mengerti apa yang tadi diucapkannya. Aku bangkit dari duduk, dan mencoba keluar dari bandara. Sekian lama aku menyeret-nyeret diriku, aku melambai-lambaikan tangan memanggil taksi. Namun tak satu taksi pun mendekat. Justu ketika itu, di hadapanku telah berhenti sebuah mobil berwarna hitam. Aku tak berpikir terlalu panjang, aku masuk ke dalamnya tanpa tahu kemana arah tujuannya.
Tiba-tiba saja aku telah berada tepat di depan wajah Arisa. Ia baru saja menciumku. Aku masih merasakan bekas bibirnya di bibirku. Lalu ia menjauh, ke arah jendela yang membentang pemandangan kota ini. Ia bergumam-gumam kecil. Sementara aku sedikit demi sedikit mencoba mengumpulkan kembali kesadaranku.
“Aku tak pernah rela, Ril, tak pernah rela.”
Sambil mengucapkan kalimat itu, kedua bola matanya memandang ke arah luar. Namun aku tahu dari suaranya yang lirih itu, bahwa kedua bola itu sedang mengeluarkan air yang pedih.
“Sedikitpun aku tidak rela, kau pergi. Namun, kau tetap pergi, Ril. Kau meninggalkan aku di kota ini. Tidak sendiri memang. Tetapi, alangkah tega dirimu memisahkan cinta yang merekat kita selama bertahun-tahun. Dengan ringan hati kau menerima tawaran itu, tanpa mau mendengarkan pertimbangan.”
“Hei… hei… Apa yang kau bicarakan, Arisa!? Kau tahu ibuku baru saja mati tadi pagi. Dan kini kau meracau atas hal-hal gila!”
“Tadi pagi? Astaga, tidak sadarkah kau sudah tiga hari terbaring di sini!”
“Tiga hari? Benarkah? Ah, kau jangan bercanda, Arisa, aku sedang tidak main-main.”
“Aku tak berbohong. Aku tak pernah berbohong padamu. Racunlah aku jika aku dusta padamu. Namun kau…ya, kau! Kau tidak pernah mau mendengarkanku. Tidak pernah mau menerima pendapatku, sama-sekali! Bahkan ketika ibumu mati.”
“Diaaaaaam!” Aku berteriak sekerasnya, tak peduli dimana kini aku berada.
“Tidak, kali ini tidak lagi, Ril, aku tak lagi bisa diam. Aku tak ingin kau tersakiti. Aku tak ingin kau mati mengenaskan, Ril. Aku tidak akan sanggup untuk semua itu. Meski kau tidak percaya pada firasatku, namun aku tidak ingin itu semua terjadi!”
Aku termenung memandang Arisa. “Kau ini kenapa, sebenarnya!?”
“Ril, kemarilah, kemari… matilah denganku.” Ia menarik tanganku dengan perlahan-lahan namun begitu erat dan pasti.
“Apa-apaan! Kau gila Arisa, apa yang kau…”
“Matilah bersamaku, Ril! Aku mencintaimu.”
Tubuh sepasang manusia itu cukup menghamburkan jendela itu menjadi pecahan-pecahan kaca. Kedua tubuh itu meluncur dengan cepat, tak lagi sempat berteriak, dan tak menunggu lama menubruk keras atap sebuah sedan yang tengah melintas, tepat di bawah apartemen berlantai tiga-puluh-tujuh itu.