ANYA membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sambil menyeruput coklat panasnya, ia perhatikan di trotoar yang gelap itu seseorang berbadan gemuk masuk ke dalam taksi. Ia masukkan pula koper yang sangat besar ke dalam bagasi. Anya merasa sangat akrab dengan orang tersebut, terutama pada topi rajutnya yang mekar seperti kelopak bunga sepatu. Ah, tapi ia tak peduli. Setelah coklatnya habis ia akan tidur lagi sampai pagi.
***
“Aku sangat benci padamu, sebab setelah melahirkanmu tubuhku jadi gemuk dan mengerikan. Sampai ayahmu pergi dan tergoda dengan perempuan lain yang lebih cantik dan semampai.”
“Tapi aku putrimu.”
“Persetan, Anya. Kau dan ayahmu sama saja!”
Seketika Anya merasakan monster-monster merasuki kepalanya. Ia teringat lagi pada tugas sekolah yang diberikan Pak Erwin; menulis kenangan bersama ibu. Apa yang harus ia tulis? Sepanjang hidupnya hanya dipenuhi gertakan, pukulan di pantat, urat-urat leher di dahi perempuan gemuk itu ketika marah, dan asap dari berbatang-batang rokok di mulutnya yang pucat.
“Tidak perlu panjang-panjang,” kata Pak Erwin waktu itu, “tulis saja satu lembar di bukumu.”
Anya menatap lagi buku tulisnya yang berwarna merah, dengan gambar kartun kucing hitam yang terlihat marah. Perlahan ia buka buku itu dan hanya tertulis; ibu adalah ….
Ia berpikir, coba ia seperti Mala, pasti banyak sekali yang bisa ia tulis. Setiap hari Minggu Mala dan ibunya pergi ke gereja, lalu mereka piknik di pinggir danau kecil di belakang gereja, menggelar tikar dan menjejerkan roti selai kacang, susu kemasan, juga beberapa makanan kecil. Dan yang paling menyenangkan adalah; ibu dan anak itu akan berfoto sepanjang hari, sampai hari gelap lalu pulang ke rumah sambil tertawa-tawa.
“Kenangan itu apa saja yang kamu ingat, Nya. Tidak melulu tentang hal menyenangkan. Bisa juga hal-hal menjengkelkan. Pokoknya apa pun yang membekas dalam ingatan,” kata Mala waktu itu.
Namun Anya ingin mengingat hal-hal menyenangkan tentang ibu, bukan hal-hal menyebalkan seperti yang Mala katakan.
***
Anya membuka pintu dengan wajah masam. Ia terus teringat dengan tugas sekolah yang menjengkelkan itu. Perlahan ia menaiki tangga sambil menyeret tas sekolahnya.
Sejenak Anya berhenti di depan kamar ibu yang pintunya sedikit terbuka. Perempuan gemuk itu berputar-putar di depan cermin, sesaat kemudian berhenti sembari memamaki sendiri.
“Jelek, sialan. Gendut.”
Di kasurnya pil pelangsing berserakan. Ia kemudian duduk sembari menyalakan rokok.
Anya menunduk, meneruskan langkahnya dengan perasaan campuraduk. Namun tiba-tiba, seseorang menggedor pintu sangat keras hingga seluruh dinding rumah terasa bergetar. Ibu keluar kamar dengan wajah gusar bukan main.
“Jangan dibuka. Rentenir sialan!”
“Bu, kenapa hampir setiap hari orang itu menggedor rumah kita?”
“Aku kalah judi dengan taruhan yang besar. Aku pinjam uang padanya untuk menutupi hutang.”
“Ibu ….”
“Di samping kebutuhanmu yang banyak, aku juga harus memikirkan diriku sendiri.”
Anya menunduk, merasakan monster-monster siap menghabisi isi kepalanya hingga tak bersisa.
“Kelak jika uangku sudah cukup, aku akan ke luar negeri. Aku akan membuat semua orang yang pernah menghina dan meninggalkanku menyesal!”
Ibu kembali ke kamarnya sembari membanting pintu.
***
Tikar piknik sudah digelar. Ibu mengeluarkan dua roti selai kacang, minuman rasa keju, dua buah apel yang sudah dikupas, juga dua topi rajut yang mekar seperti kelopak bunga sepatu.
Tidak jauh dari situ, beberapa anak kecil berlarian sambil menggenggam balon udara warni-warni. Ada juga burung-burung yang bertengger di kawat-kawat kabel, kupu-kupu yang mengelilingi bunga-bunga rumput, juga anak angsa putih yang berenang di danau kecil.
Anya tersenyum sembari menghirup udara segar di sekitarnya. Gadis itu lantas memperhatikan wajah ibu sekali lagi, tapi tiba-tiba sebuah benda sebesar rumah jatuh dari langit. Bug! Kepala Anya terasa pecah. Bug! Sekali lagi ketika Anya benar-benar sadar bahwa itu semua hanya mimpi, sapu lidi mendarat di kepalanya.
“Dasar pemalas! Ayo bangun! Ayahmu akan datang menjemput. O-ya, jangan lupa minta uang yang banyak. Semakin hari kebutuhan kita semakin menumpuk.”
Anya beranjak duduk sambil berusaha mengumpulkan kesadaran.
“Bu, aku mau pergi sama Ibu saja. Kita piknik atau jalan-jalan nyari buku.”
Perempuan tambun itu mematikan rokoknya di sudut ranjang. Matanya seakan ingin merasuk dalam ke mata gadis di depannya.
“Anak tolol! Dari mana ibu punya uang?! Sudah sana mandi. Pergilah dengan ayahmu dan bawa uang yang banyak!”
Anya turun dari ranjang, menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan wajah yang murung. Sebenarnya ia tak masalah dengan ayah. Ayah baik, tak pernah marah apa lagi memukulnya. Hanya saja Anya tidak suka dengan istrinya yang sok cantik itu. Dia terlihat sombong, dan setiap kali Anya berkunjung wajahnya selalu cemberut. Anya juga tidak suka dengan warna lipstiknya yang merah seperti gumpalan darah. Itulah kenapa Anya tidak betah tinggal dengan ayah. Lebih baik tinggal dengan ibunya yang galak sekalian. Toh tidak ada pilihan lain.
***
Sisa hujan menetes dari daun-daun dan bunga tabebuya yang basah. Dingin sisa hujan masih terasa menusuk tulang. Pelayan berambut gimbal itu menaruh pizza dan milk tea yang mengepul dekat kaca. Anya menghirup uapnya seperti orang mabuk.
“Nanti malam aku akan berdoa. Sebab Tuhan sangat baik hari ini.”
Lelaki di depannya tersenyum lebar dan segar.
“Ayah selalu berharap, kamu menjadi gadis paling bahagia ketika dekat ayah.”
“Aku senang Ayah selalu membuatku bahagia, hanya saja Tante Irene … sepertinya dia tidak begitu menyukaiku. Aku benci tatapan matanya. Warna lipstiknya juga jelek.”
“Kamu hanya belum mengenalnya, Sayang.”
“Dia tidak mau mengenalku.”
“Oke oke, sudahlah. Tidak perlu kita bahas lagi. Ya?”
“Aku perlu uang banyak. Ayah mau membantu?”
“Kau disuruh ibu, ya?”
“Kumohon, Ayah. Aku perlu waktu yang baik dengan ibu. Lagi pula itu untuk kebutuhanku.”
Anya lantas memasukan potongan pizza ke mulutnya.
“Sekali ini saja.”
“Baiklah. Nanti sambil jalan pulang, kita mampir ke ATM.”
Di luar, hujan kembali deras. Anya memeluk gelas milk tea-nya sambil memejamkan mata.
***
Malam itu sesaat setelah Anya memberikan setumpuk uang, ibu berdandan sangat cantik. Tubuhnya wangi bunga peony. Ia bacakan pula dongeng sambil berbaring di samping Anya, lalu sesekali membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Tidurlah yang nyenyak, Anakku.”
Setelah itu, Anya tak pernah melihat ibu lagi. Namun ia senang, karena mendapat nilai yang sempurna untuk tugasnya. Maka setelah malam itu, Anya tak perlu membuka jendela kamarnya lagi.
2020