Judul Buku : Al-Masih: Putra Sang Perawan Penulis : Tasaro GK Penerbit : Bentang Pustaka Cetakan : Pertama, September 2020 Halaman : v + 450 halaman ISBN : 978-602-291-742-7
Membaca “Al-Masih: Putra Sang Perawan” novel sejarah karya Tasaro GK, memunculkan rasa benci yang dalam dan jijik terhadap perbudakaan. Kekejaman dan kekejian apa yang tidak dilakukan seorang majikan terhadap hamba sahayanya? Kita sudah mengetahuinya. Sudah terpatri dalam benak kita. Dan ketika diingatkan kembali, dendam pun muncul ingin membalasnya. Kekejaman-kekejaman memang silih berganti terjadi selama bumi terbentang, hingga kini.
Sang Majikan memperlakukan budaknya lebih buruk dari seekor hewan tunggangan, dan selanjutnya perwalian gila ini, menjadikan seorang majikan menggenggam nyawa sang budak. Selayaknya Firaun yang celaka.
Adalah dua Nyonya Belanda, Lyzbeth van Hor dan Chatarina Floris, keduanya pengusaha landeform yang berhasil di tanah Batavia. Dalam novel ini kedua mereka sosok yang mewakili kekejaman masa perbudakan di Nusantara abad 17. Di tangan keduanya, beberapa orang budak mengalami kematian tak wajar setelah disiksa sedemikian rupa. Digantung di sebuah tiang dengan kepala ke bawah, kaki dan tangan terikat. Sang majikan tangannya tetap bersih, sebab budak lain yang disuruh melakukan pembunuhan itu.
“Kenapa budak hitam itu?”
“Di…dia, sepetinya sudah mati, Nyonya.”
Lyzbeth membelalak. Dia menoleh pada Hendrick. Bibirnya gemetar, kehilangan ketenangan. (hal. 438)
Batavia sudah maju saat itu sebagai cikal sebuah kota besar. Benteng Rotterdam menjadi tameng menghadapi serangan kembali Portugis. Kesultanan Banten dan Kerajaan Mataram yang sudah beberapa kali menyerang Batavia. Pangeran Jaccatra, penguasa Batavia sudah lari ke Banten, setelah Belanda menguasai kota yang kini menjadi ibukota republik ini.
Kisah kelahiran Nabi Isa Alaihissalam diceritakan versi Injil dan versi Al-Quranulkarim. Dilengkapi dengan surat dan ayat-ayatnya. Maka bagi sesiapa yang membaca kisah ini, akan terang duduk perkara kenabian Isa dan ibundanya Maryam versi dua agama samawi Islam dan Kristen. Bahkan cerita menoleh sampai ke masa nabi Zakaria Alaihissalam, yang merupakan pakcik Maryam dan silsilah ibunya. Kedua versi ini sangat berlainan. Dengan ini pula, Tasaro menengahkan aura toleransi dalam novelnya setebal 450 halaman ini.
Lalu ada diselipkan cerita tentang kelompok Bhairawa yang keji melebihi perbudakaan, yang saat itu beraksi kembali untuk kepentingan kekuasaan Belanda. Kelompok ini disebutkan berasal dari India. Mereka hidup berkelompok, dan melakukan penyerangan kepada orang-orang pribumi Nusantara. Mereka suka membunuh dan selanjutnya berpesta memakan daging korban manusianya. Dalam agama Hindu, kelompok ini sangat berlainan dalam cara-cara pencapaian moksa.
“Sultan Al-Gabah dari Rum, Persia, ratusan tahun lalu mengirim ribuan keluarga Islam ke tanah Jawa. Semua dibunuh, bahkan dimakan orang-orang Bhairawa dan pemimpin mereka yang disebut Banaspati. Sultan Al-gabah sangat murka, lalu mengirim ulama yang memiliki karomah Syekh Subakir. Beliau memulai dakwah Islam melawan Bhairawa yang diteruskan oleh Wali Sanga dan para pendahulu kita.” (hal. 404)
Alur cerita sangat menarik, tidak sampai membosankan. Masih di halaman awal, pencapaian-pencapaian estetis sudah tercapai. Pembaca dipastikan penasaran dengan halaman-halaman selanjutnya.
Tokoh misionaris Kristen, baik Katolik maupun Protestan saling mengintai. Saat itu, sesuai dengan perintah agung dari kerajaan Belanda, hanya Kriten Protestan yang disahkan menjadi agama tanah Nusantara atau Hindia Belanda. Seorang pendeta Katolik, Pater Abreu mengalami hukuman di bawah tanah dan meninggal dunia karena ketahuan oleh Belanda masih menyebarkan Kristen Katolik secara diam-diam.
Kebijakan ini merupkan pemaksaan yang sangat ditolak dalam Islam. Ada 3000 warga Muslim yang tinggal di Batavia, yang merupakan separuh jumlah dari warga Batavia. Dua orang muslim yang dituduh Belanda hendak melakukan makar dihukum mati. Dilaga dengan kuda-kuda yang sengaja dilaparkan. Tak ubah seperti yang dilakukan oleh para pemimpin Romawi ketika menjatuhkan hukuman mati.
Sesudah membacakan surat Yunus ayat 99, Syekh Akhmat tersenyum sambil mengucapkan, “Sifat ayat ini istifham istinkari; pertanyaan untuk mengingkari. Maknanya penolakan mutlak terhadap pemaksaan dalam agama. Memaksakan agama kepada seseorang bukanlah kemampuan Rasullullah, apalagi kita. Sebab bertentangan dengan kehendak Allah. Siapapun yang ingin menghapus kenyataan perbedaan agama dan memaksa semua manusia masuk Islam, berarti dia menentang kehendak Allah.” (hal. 400)
Adalah tiga bersaudara, Shathi, Byoma dan Mletik, yang menjadi asesories novel ini, bersifat menggemilangkan. Ketiganya adalah bocah yang merantau dari Mataram dengan maksud ngamen di Batavia. Yang lainnya adalah Matteo de Gesua laki-laki muda, asal Italia, berprofesi naturalis, yang juga seorang misionaris Kristen Katolik yang terjebak dengan berbagai kesulitan selama berada di Batavia. Sudah hampir kehabisan biaya hidup.
Novel ditutup dengan sirah kenabian dua Masyiak yang akan datang di 100 tahun sebelum masehi. Permainan plot sangat kreatif, tidak memanjakan pembaca. Tasaro GK, akan menerbitkan kisah selanjutnya dari “Al-Masih, Putra Sang Perawan” sebagai trilogi.
Novel ini dikerjakan selama pandemi korona dan menjadi Pemenang Ketiga Kompetisi Ide se-Asia Tenggara. Pemilihan tema yang cocok dalam pergulatan ketidakharmonisan antara pemimpin dan rakyat bangsa kita saat ini, yang kita khawatirkan bisa menjurus ke perbudakan. Seperti yang terjadi dalam novel berpeluh kebencian dan kejahatan ini.