Matahari baru saja keluar dari peraduan ketika langit cerah menyaksikan hujan tangis manusia di pelabuhan Genua. Rentetan kata perpisahan, bombardir ciuman, lengkap dengan lambaian sapu tangan merah jambu mengiringi langkahku menaiki anak tangga kapal D.S.S Johan de Witt. Memang tadi aku sempat sejenak berhenti, menyaksikan seorang anak laki-laki digendong oleh ibu yang sedang dipeluk pria berbadan kekar. Topi pria itu sama seperti topi yang digunakan oleh Papi ketika mencium kening ibu di depan pintu. Saat itu Papi berjanji akan membawa kami ke tanah surga, Hindia namanya. Itulah pertama kali aku mengenal nama Hindia. Nama yang tiba-tiba menjelma menjadi segudang tanya di kepalaku.
Dulu, saat aku tidak mau makan, mami selalu berkata “Persiapkan dirimu, Papi akan mengajak kita ke Hindia!”
Kata-kata yang juga selalu dikatakan ketika aku malas belajar, pulang larut malam, dan membuat kenakanalan-kenakalan kecil lainnya. Mami sering mengucapkan hal itu, bahkan ketika tanganya yang renta menggenggam rosario, di atas ranjang tergolek lemah, tak berdaya, mami masih saja berkata, “Persiapkan dirimu, Papi akan mengajak kita ke Hindia!”
Itu adalah perkataan mami yang terakhir kalinya sebelum ia melihat surga. Oh iya, mami juga sering menyamakan Hindia dengan surga. Keindahanya bahkan selalu dilukiskan seperti halnya Taman Eden yang ada dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Benar atau tidak, ya aku tak tahu, yang pasti sekarang aku sedang menapakkan kaki menuju tanah Hindia itu.
***
Kepalaku berdenyut keras. Perutku mual tak terkira. Aku menyusuri kabin-kabin dan berlari menuju ujung dek terdekat dengan pintu. Di sana kutumpahkan semuanya ke lautan.
“Pater, apakah Anda baik-baik saja?” tanya seorang awak kapal sambil membawa kotak obat.
Aku menggeleng dan tak ingin menjawabnya. Ia lalu memanggil seorang teman dan membawakan minum untukku tapi aku tetap menggeleng. Aku hanya butuh menenangkan diri, duduk sebentar, merasakan angin yang teramat kencang sambil melihat senja dilintasi oleh burung-burung laut.
“Mau diantar ke kamar?” tanya salah satu dari mereka.
“Tidak, ruang makan saja!” ujarku menimpali.
Mereka membopongku ke ruang makan. Ketika pintu dibuka, Pater Henvelmas dan Pater Clements bangkit dari tempat duduk lalu menyambutku. Dua Karmelit itu ikut membopongku dan mendudukkanku kembali ke meja makan.
Di situ masih ada empat Suster dari Ursulin yang baru saja selesai makan. Salah satu dari mereka mengambilkanku air minum. Sekarang aku baru bisa minum. Kapal berjalan sekitar 15 mil per jam, ombak juga sedag tidak mengamuk tapi aku benar-benar mabuk laut. Sesungguhnya bukanlah ombak dan kondisi kapal yang membuatku mabuk, melainkan isi percakapan sore ini.
“Jauhkan surat itu dariku,” ujarku lemas pada Clements.
“Maaf jika ini tidak membuatmu nyaman, tapi sungguh aku menceritakan isi surat ini bukan untuk membuatmu muntah melainkan untuk mengetuk hati teman-temanku sekalian terkait kondisi di Hindia,” jelasnya.
“Sudah jangan dipikirkan lagi,” sahut Pater Heuvelmans sambil memijat ibu jari tangan kananku.
Sungguh, aku tidak menyangka bahwa isi surat dari sahabat Pater Clements semenyeramkan itu. Surat itu menyebutkan bahwa di salah satu daerah bernama Trenggalek, tepatnya di Hindia, ada wabah malaria yang sangat sulit disembuhkan. Obat-obatan tidak ada, akses untuk berobat apalagi. Masyarakat menyembuhkan pelbagai penyakit dengan dedaunan, bahkan tak jarang ada luka yang membusuk dan tak ditemukan obatnya hingga si pasien meninggal.
“Minum lagi, Pater?” ujar Suster Ane yang tiba-tiba datang menghampiriku.
Sebagai salah satu utusan Ursulin, dia mengatakan bahwa misinya mendirikan sekolah di Malang bukanlah misi main-main. Sebagai salah satu biarawati termuda, dan tahu betul tentang medis, maka dia mendapat tugas untuk bolak-balik ke Eropa dan ke Malang. Mengumpulkan donatur serta menyampaikan surat-surat yang memberitakan bahwa Ursulin berhasil mendirikan sekolah di Jawa Timur. Bersama dengan Suster Angela Flechen, dia memilih kota yang dujuluki Paris Van East Java itu sebagai kota untuk meletakkan karya pendidikan di Jawa Timur. Dia mengatakan bahwa awal kedatanganya ke Malang bukanlah hal yang mudah. Dia harus melakukan negosiasi dengan penduduk setempat bahkan tak jarang dia ikut mencari sumber air untuk mendapatkan air bersih.
“Lokasi sekolah kami di tengah Kota. Apabila Anda berkenan, mampirlah untuk beberapa hari! Murid-murid kami pasti akan senang dengan kehadiran Anda!” katanya dengan penuh senyuman. Kemudian ia pergi untuk istirahat malam. Dua awak kapal yang setia menunggu di depan pintu, dipanggil oleh Clements. Mereka membopongku ke kamar.
“Istirahatlah juga, kau terlihat lelah,” saran Clements.
Cerita yang disampaikan oleh Suster Ane benar-benar memutarbalikkan fakta sebelumnya. Kepalaku jadi semakin pusing, tanda tanya tentang Hindia ini menjelma palu yang mengetuk silih berganti, menanti untuk dipecahkan.
***
Sekitar hari ke sepuluh, kapal Johan de Witt tiba di pelabuhan Port Said, Mesir. Tangga diturunkan, penumpang diperkenankan untuk beristirahat beberapa jam setelah melakukan pelayaran panjang. Sejak tadi, sebagian besar dari kami ingin turun. Tadinya kami hanya bisa melihat punuk punuk unta berlatar Kota Djibouti dan Alitiena dari kejauhan saja. Kini di Mesir, kami barulah bisa turun.
“Kado, Tuan.”
“Oleh-oleh, Tuan.”
“Cocok untuk Tuan.”
Tawaran-tawaran itu memberondongku dan rombongan yang baru turun dari kapal. Mereka adalah pedagang di pelabuhan. Konon katanya, setiap transaksi dikenakan biaya yang sangat mahal dan orang awam bisa ditipu hingga 50 sen. Aku pun tak menghiraukan itu dan tetap berjalan ke arah kota. Saat itu, aku dan rombongan biarawan dipandu oleh seorang pemandu yang disediakan tim Johan de Witt. Tidak ada salahnya menggunakan jasa ini sembari istirahat beberapa jam setelah berhari-hari di lautan. Pemimpin rombongan itu mengarahkan kami ke jalan yang memiliki penerangan cukup. Dia memperhatikan keselamatan kami.
Kami pun diantar ke pasar yang paling dekat dengan pelabuhan. Lima orang bersorban, berjubah panjang berwarna-warni menghampiri kami. Mereka menawarkan rokok, tembakau, kalung, perangko, bunga, dan uang untuk ditukarkan. Harganya pun fantastis, 5 hingga 10 gulden. Beberapa temanku menawar hingga 80 sen, dan membeli untuk oleh-oleh sebelum ke Hindia.
Rasa haus di kerongkonganku membuatku tertuju pada salah satu toko di tengah pasar yang menjual minuman. Harganya cukup mahal, tapi karena tidak ada pilihan lain aku meminumnya.
“Luar biasa enak sekali!” kataku.
“Itu Teh Jamus, Tuan!” ucapnya.
“Teh Jamus? Apa itu?” tanyaku.
“Teh Jamus adalah salah satu jenis teh dari daerah Jamus di Hindia, rasanya sangat enak,” jelasnya.
“Apakah kau dari Hindia?” tanyaku penasaran.
Lelaki itu menganggukkan kepala. Sorot matanya memancarkan ketulusan. Kali ini aku tahu bahwa dia tidak berbohong. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan warna kulitnya sedikit kecoklatan, hidungnya juga tak semancung hidung-hidung pedagang di tempat ini. Di tengah riuhnya persaingan mencari uang dan tipu muslihat, aku masih melihat sebuah kemurnian yang sangat jernih dari sorot mata anak laki-laki ini. Kemurnian Hindia. Lantas, apakah Hindia semurni ini? Pertanyaan itu kembali muncul, mengiringi langkahku menaikki anak tangga kapal, bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
***
Perjalanan dilanjutkan kembali, pelayaran menyusuri terusan Zues. Aku pun kembali ke dalam kapal. Dari jendela kamar aku melihat kapal melintasi padang pasir, pepohonan yang jarang, kemudian berlanjut melewati danau-danau besar yang penuh dengan perahu-perahu layar. Pemandangan sangat indah tapi kami tetap terus melanjutkan perjalanan. Terusan Zues sangat lebar dan lurus, tapi perlu perawatan. Setiap kapal dikenakan biaya Fl:35.000. Setelah itu, kapal melewati Laut Merah. Dalam rombongan biarawan, kami sering berdiskusi tentang Nabi Musa. Beberapa penumpang lain dan awak kapal pun juga diperbolehkan ikut dalam diskusi. Cuaca kali ini sangat panas.
“Surabaya tak sepanas ini, Pater,” ucap salah satu awak kapal, berkulit sedikit legam bertelanjang dada. Dia membawa kotak berisi minuman dingin.
“Tunggu! Apa yang kau ketahui tentang Hindia? Apa kau dari Hindia?” tanyaku sembari menyaksikan punggungnya yang legam. Dia berbalik, menghadap ke arahku, meletakkan kotak berisi minuman lalu mengatupkan kedua tanganya seolah mohon diri. Ia melanjutkan perjalananya lagi menyusuri dek.
“Hindia memang tidak sepanas ini, tapi hatimu bisa panas jika kau tak berhati-hati!” ujar seorang lelaki tinggi berkumis tipis, berambut pirang.
“Namaku Baren van Baron dari Rotterdam,” tanganya mengulur padaku meminta menjabat.
“Senang berkenalan denganmu, Tuan Baron,” kusambut jabatan tanganya. Dia berlagak seperti orang berpangkat.
Ternyata memang benar, dia seorang ahli strategi yang ditugaskan untuk mengurusi daerah Lebak. Baron mengatakan bahwa sudah tiga ambtenaar Belanda yang mati sia-sia di sana. Terakhir adalah kakaknya sendiri. Kematian mereka rata-rata diracun oleh Bupati yang bersekongkol dengan Asisten Residen dari pihak Belanda untuk mengamankan tanahnya.
“Sebelum tewas, kakakku, Brilly van Baron, menulis surat wasiat yang mengatakan bahwa Bupati telah bersekongkol dengan Residen agar tanah, harta, dan segala miliknya lolos diperiksa,” kenang Baren sambil menatap ke langit.
“Peran rakyat dibutuhkan, rakyat yang beriman pasti berani untuk mewartakan kebenaran. Mereka yang ditindas harus berani menyuarakan ketertindasanya,” hiburku.
“ Mereka justru menikmatinya!” ujar Baren kecut.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Jika dibandingkan secara jumlah, kami tentara Belanda ini tentu tak seberapa. Namun cobalah Pater pikirkan mengapa Belanda bisa begitu lama berada di Hindia? Mengapa bisa sampai tiga ambtenaar mati, padahal mereka justru ingin menjalankan kebenaran? Karena rakyat ingin keuntungan, bukan kebenaran!” ujarnya sembari mohon diri dan berbalik arah untuk pergi.
***
Kata-kata terakhir Baron membuatku tak bisa tidur dan terjaga saat malam hingga kapal sampai di Perin dan Teluk Aden. Di sini musim hujan mulai turun, bahkan radio memberitakan kedatangan badai yang tak dapat lagi disepelekan. Lamat-lamat terdengar suara penyiar memberitakan ada badai. Petugas kapal pun bersiap, mereka mengetuk kabin-kabin dan menginstruksikan untuk menutup jendela. Badai yang seperti ini biasanya menjadi faktor utama mabuk laut. Aku sekamar dengan Clements Pocenti dan aku yakin, Pastor Samdoria ini akan muntah begitu kapal terombang-ambing. Kuputuskan untuk pergi ke ruang makan umum.
Di sana cukup sepi. Para penumpang sangat jarang yang pergi ke tempat ini. Penjual makanan tidak menggelar daganganya. Hanya ada satu dua saja menjajahkan minuman beralkohol. Aku mengambil satu lalu duduk di tengah ruangan.
“Meja sebesar ini sangat sepi apabila dinikmati sendiri, Pater!” ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang lalu mengulurkan tangan dan duduk di sebelahku.
“Nyonya, apakah Anda tidak sebaiknya beristirahat saja?” tawarku.
“Teman sekamarku mabuk berat dan petugas kapal sedang membersihkanya, kutunggu di sini saja,” ujar wanita itu.
Dilihat dari tampilannya, dia bukanlah wanita miskin. Jaketnya terbuat dari bulu domba, berlian mengitari kedua pergelangan tanganya. Sebagai seorang wanita, dia tergolong berani. Wanita yang mengaku bernama Geturda ini berasal dari Amsterdam. Dia sengaja ke Hindia untuk mengambil alih harta suaminya.
“Saya turut berduka mendengar kepergian suami Nyonya, semoga Tuhan mengampuni segala dosanya,” ucapku dengan penuh belas.
“Tak perlu didoakan! Aku malah bahagia mendengar berita kematianya dan semoga dia bersekutu dengan Luciver di neraka karena Santo Petrus tak mau membukakan kunci surga untuknya” ucapnya sinis.
“Kenapa kau sekejam itu Nyonya?”
“Pater, aku mendengar dia mati bukan karena ditembak melawan pemberontak. Dia mati diracun oleh Nyainya dari Batavia. Sudah bukan rahasia lagi apabila Nyai-Nyai itu mampu memasukkan racun teraneh dalam masakannya yang keruh! Kini aku datang untuk mengambil semua warisan!” ungkap wanita itu.
Kugenggam rosario di saku celanaku. Pertanyaaan-pertanyaan dalam kepalaku semakin bercampur aduk, berguling berjatuhan senada dengan deru ombak yang terdengar hingga ke dalam kapal. Semua menjadi gelap gulita.
***
Badai di Kolombo telah usai. Penumpang baru saja beristirahat selama enam jam di pelabuhan. Tenagaku pun juga sudah pulih setelah pingsan di ruang makan dan beristirahat seminggu penuh di kabin. Kini perjalanan dilanjutkan menuju Sabang.
Semua barang sudah kukemasi. Koper-koper telah penuh terisi. Semua penumpang berdiri berjubel memenhui pintu keluar meski pintu belum terbuka. Setelah ini aku akan menapakkan kaki di Hindia. Pertanyaan demi pertanyaan yang sejak kecil mengganggu pikiranku akan terjawab sudah.
Sirine kapal mendengung dengan keras pertanda bahwa kapal telah sampai. Ada cahaya menerombol masuk ketika pintu dibuka. Para penumpang berjejalan untuk keluar. Aku sabar saja menunggu sesuai antrian bersama dengan barisan para biarawan lain. Kakiku melangkah semakin dekat ke arah cahaya, menuju pintu keluar.
Seberkas cahaya menyilaukan mataku ketika aku memijakkan kaki di pintu keluar. Mata ini sempat terpejam sebelum akhirnya terbuka perlahan. Kulihat orang berambut hitam bertelanjang dada mengangkat koper, naik turun. Rusuk-rusuk mereka terlihat dengan amat jelas. Kujauhkan pandanganku, kulihat wanita berbaju putih dan mengenakan semacam rok hitam berdiri berjajar membawa payung. Di sampingnya ada lelaki bersorban berjubah sibuk membawa kain untuk disodorkan pada penumpang yang turun. Di belakangnya ada anak anak kecil berlarian telanjang bulat. Beberapa dari mereka nekat menceburkan diri ke air lalu berenang sambil tertawa-tawa. Ada juga nonik-nonik yang memeluk kekasihnya lalu mengecupnya di depan umum. Mereka lalu berjalan ke arah dokar yang sudah berjajar rapi di samping rumah-rumah penduduk. Tak jauh dari nonik itu ada lelaki tegap berseragam, berkulit legam sedang sibuk memukuli lelaki yang ukuran tubuhnya lebih kecil. Dia tampak sedang diawasi oleh lelaki berseragam lebih rapi, berkulit putih berhidung mancung yang sejak tadi berteriak-teriak. Ah tak sanggup aku menyaksikan penderitaan ini terlalu lama. Kudongakkan sedikit kepalaku, menoleh ke kiri dan ke kanan banyak pegunungan, hijau, dan pepohonan rindang. Inikah Hindia yang disebut dengan tanah surga itu?