Yang Lebih Sunyi dari Sunyi


Hikayat Pemburu Jerung

-F. Agus Tiono

1/
Ia telah mencium asin sisik jerung
Tak ada amuk laut yang sanggup lolos
dari bidik tombak mata randu
juga tari-tari ikan jerung yang kawin
di laut jauh

Bila tombak mata randunya telah menyanyi
Pertanda kemenangan yang gemilang
meledak-ledak di kampung; di meja-meja
yang tak mengerti bahasa

2/
Mungkin hanya ia yang mengerti
mengapa nelayan di kampung makin sedikit
Jala disimpan, baju di kemas, lalu ke kota
Karena siapa yang akan menelusuri sejarah
di tubuh seekor ikan yang terpanggang?

”Laut hanya jalan tanpa lajur,” katanya.

Sebelum cerita kepahlawanan berhenti
mendengung di lapak-lapak tuak
Laut akan sesepi kubur batu
Cerita di balik asin tongkol, kerapu, karang
Hanya bisik-bisik di batin sembahyang pemburu

3/
Hanya ia yang mengerti mengapa
melaut adalah perjalanan sunyi

”Apa yang lebih sunyi dari sunyi?”
Tak berjawab kecuali suara angin
dibelah tombak mata randu ke jantung laut
Saat tak nampak alir darah jerung ke permukaan
Hanya ia yang tahu

: waktu terbaik untuk pergi ke kota

Angke, 2020




Lagu Jeda untuk Kekasihmu

aku akan hidup di tubuh kekasihmu
kucintai aroma kembang di dadanya
bila kutuk kebo kemale terikat erat
aku ingin kau mati tanpa diminta

jangan mengusikku, aku adalah dirimu
yang culas;
nafsumu yang panas

lewat bintik-bintik merah di pipi kekasihmu
aku akan jadi nyala api, penuh gemeletak
kayu di hangat perhawuan
karena pengantin yang cemas
adalah kayu kering
(sebaik-baik tempat sembahyang)

bila sisih kapat tiba
telah kubangun huma di keningnya
aku butuh matamu untuk kerlip lelampu
juga ikal rambut sepasang kekasih
di masa langit hujan cahaya

aku ingin kau tak menangis
sebab aku dan kekasihmu adalah penari
yang kondang di lereng gunung welirang

tak perlu bersedih
aku adalah biji doa yang kurang ajar
tumbuh di tanah gambut

jangan! jangan coba menerkaku
aku bukan buruk muka gatholoco;
penguji keimanan yang getas
lengkapi saja tarianku dan kekasihmu
dengan kematianmu
sekali lagi

sehabis malam berlesatan
dan ning menetes sepi, kau akan tahu
apa-siapa jarak dan namaku yang sebenarnya

Jakarta, 2019-2020




Tidur Putih
-Indra Saragih

Bagaimana rasanya menjual saraf tidur
ke persekongkolan bangsa-bangsa?

Sebuah plakat kau gantung di dinding
Sejak saat itu malam jadi tak biasa
Aku bisa mengerti mengapa ingatan
kau bimbing di antara kebun-kebun cabai
dan cinta yang tak kau tahu di mana ujungnya
mengajarimu tidur dalam keadaan buta

Aku bisa mengerti mengapa tidur putih
masa kecil itu kau tangisi sampai sekarat
Sebuah plakat bergambar topeng bali
adalah jalan lurus yang menuntun
orang-orang kampung belajar berdusta

Apa guna saraf tidurmu
dan persekongkolan bangsa-bangsa
Untuk apa?

Jakarta, 2020




Muslihat Gunung

jangan membakarku dalam sekali panggang
kasihani aku

: kayu-kayu basah dari ranting pohon mati

“kau ingin mati dengan cara apa?”
tanya bibir pedasmu di suatu ketika

maafkan! aku hanya bukit di punggung arjuna
yang penuh jalan setapak penyesat;
muslihat pemburu agar bibirmu terkunci
di padang lalang

dalam halimun, kupotong arah
di alas lali jiwo
aku akan mencegat dan menguncimu
agar kembali memanggangku
dalam sekali kecupan

bila kau bertemu jalan pulang
aku bukan lagi ranting pohon mati
aku jalan menurun
yang sabar menerima hujan
tangis dari setiap kehilangan

“kau ingin berpisah dengan cara apa?”

tak ada penjelasan
tak perlu dijelaskan

Jakarta, 2020



Cerita dari Bilik Perbatasan

dzat kita menyatu 
sejengkal jarak dari pertemuan batin 
yang kemalaman. tubuh-jantung
menepi dari jatuh cinta; mengungsi
seperti luka perang saudara 

desahmu ngelangut. telanjang
kota-kota yang tak punya pulang
dan tidur siang yang sebentar

mimpi akan akan ditenun dari kulit debu
dilumasi keringat popor senapan
saat kemarahan mengeras

      semiotika macam apa yang mampu
     mengeja kesunyian dadamu
     yang bantal?

Sakit kepala ini, sayang
yang mengantar anak-anak kita yang tiada;
cinta yang pergi tanpa aba-aba
ketika tiada tubuhku di bilikmu
apa kau ingat caramu mengajariku
menjahit tubuh kita dengan melankolia

Jakarta, 2019


Bagikan:

Penulis →

Citra D. Vresti Trisna

Lahir di Surabaya. Kini tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai jurnalis. Selain itu, ia juga menulis puisi, cerpen dan esai. Buku terbarunya yang baru saja terbit, Catatan Masyarakat Goa.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *