Orang lain belum tentu tahu, Jalu betul-betul mencintai ayahnya. Bocah belum genap dua belas tahun itu teramat yakin rasa cintanya melebihi apa yang mereka bayangkan. Selama ini dia merasa telah mendapatkan banyak pelajaran dari ayahnya, sehingga dia pun sempat berpikir tentang bagaimana membalas kebaikan itu di kemudian hari. Benar kata orang-orang, kasih orangtua sepanjang masa tak seperti kasih anak yang hanya sepanjang galah, sejangkauan tangan merengkuh niat dan kesempatan. Teringat hal itu, dia pikir memang tak mungkin seorang anak sanggup membalas kasih sayang orangtua sampai kapanpun, terlebih manakala dia telah tiada.
Meski begitu, sudah sering pula Jalu mendengar, ketulusan doa dan juga budi pekerti anak bisa menjadi salah satu penjamin kebahagiaan orangtua di alam sana. Semakin ia rajin berdoa dan berbuat baik, kelak orangtua akan terus mendapat kucuran pahala meskipun telah tiada. Kebiasaan itulah yang selama ini ia lakukan, terutama semenjak ibu tiada, menggantikan kesedihan yang sempat membuatnya ingin sekali menyusul ke alam sana. Ia begitu meyakini cara itu dapat menyambung kerinduannya pada ibu sampai kapanpun, meski terpisah ruang dan waktu. Terbukti tak jarang ia masih bisa bercengkerama dengan ibu di waktu-waktu tertentu, tergantung suasana hati dan pikirannya.
Kini hanya ayah yang menemani hidupnya, di kenyataan hari-harinya tanpa kehadiran ibu yang kerap membangunkan tidur, menyiapkan sarapan, mendongengkan cerita, atau sekadar menemaninya mengerjakan PR. Kasih sayang ibu memang tak tergantikan, tetapti tak terasa waktu pula yang membuatnya belajar mengenal ayah lebih dekat. Saat ini, apapun kata ayah hampir selalu menjadi benar dalam pikiran Jalu.
“Nggak usah main jauh-jauh. Itu masih ada nasi sama lauk buat nanti siang. Kalau malam ayah belum pulang, Jalu bisa bikin mi instan kan?” Setengah terburu ayah berangkat kerja.
Jalu semakin terlatih menjadi mandiri berkat ayah. Bahkan ia pun semakin terbiasa jujur, karena ibu telah mengajarkan bahwa berbohong akan mengingkari kata hatinya sendiri. Ayah bilang, ia juga tak boleh cengeng karena masih banyak anak-anak lain di mana entah, yang jauh lebih menderita dan kesepian. Sejak sekolah diliburkan tersebab pandemi, perasaan itu sesekali muncul tiba-tiba di dalam dirinya, seperti serangan beruang lapar yang terbangun dari tidur panjang. Celakanya, ia telanjur kehilangan teman bermain, semenjak masker dan cuci tangan diberlakukan, sejak ayahnya melarang ia bermain di luar.
“Jalu di rumah saja ya, biar aman. Nanti kalau ayah pulang, kita keluar cari makan.”
Jalu juga perhatikan, ayahnya seringkali pulang dengan wajah tegang dan senyum berkurang, tak jarang malah kelewat malam. Kalau sudah begitu ia hanya bisa berusaha tidak mengusik kemarahan ayah, sembari menepis harapan bisa makan bareng dengannya. Ya, ayah bukan tak pernah marah, meski seringkali tanpa alasan yang bisa ia mengerti sebabnya.
Akhir-akhir ini Jalu sering melihat ayah seperti berada di bawah tekanan, wajahnya dipenuhi ketakutan, memantulkan bayangan makhluk-makhluk pengganggu yang mengancam jiwanya. Ketika di depan laptop, ayah seperti dikerubuti hantu-hantu tanpa kepala, tubuh mereka melayang-layang hendak mengacaukan pekerjaannya. Begitu ia dekati, mereka berhamburan pergi dan ayah tersenyum sembari memuji pekerjaannya, sebuah gambar warna-warni tentang mawar yang kehilangan duri. Ketika ayah sibuk dengan ponselnya, ia melihat kunang-kunang bertaring sedang menyerbu wajah dan telinga ayah, menggerogoti bagian mata dan berusaha masuk ke mulut ayah yang dingin terkatup. Saking takutnya, ia beranikan diri mengusir mereka dengan bantal yang diayunkan mengenai muka ayah. Meskipun terkaget, ayah sontak menyadari kekeliruannya, menyambutnya dengan tawa dan pelukan. Jalu pun terluap gembira, menyaksikan ayahnya seperti sedang ikut merayakan kemenangannya bertempur dengan kunang-kunang.
Memasuki bulan ketiga, ayah mulai sering banyak di rumah. Jalu melihat kupu-kupu berkepala singa mengerubuti tubuh lunglai ayah. Jika malam mereka berpencar, beranak-pinak di bak cuci dapur, ember pakaian kotor, dan sudut-sudut kamar mandi. Setiap kali bangun tidur, ia jumpai ayah masih mendengkur di kasurnya, dikelilingi belasan ular hitam bersayap kelelawar. Mata mereka menyala setiap ia berusaha mendekati ayah. Beberapa di antaranya bersarang di bantal dan guling yang ayah pakai, kibasan ekornya menepuk-nepuk pipi, punggung, dan tungkai ayah selagi lelap tertidur.
Selain merasa sepi dan takut, ia sendiri mulai bosan dengan segala macam mainan dan tontonan. Mereka tak lagi asyik diajak berkawan, mungkin sama jenuhnya dengan apa yang belakangan dirasakannya. Sedangkan ia telah menjadi anak rumahan sekarang, tak boleh bermain bersama teman, apalagi ke warung tetangga beli jajanan. Bocah itu jadi lebih sering melihat ayahnya kesakitan diserang makhluk-makhluk pengganggu, karena tiap hari berdiam di rumah melulu. Hari-hari mereka menjadi ajang pertandingan bertahan dengan sesekali melawan hewan-hewan ganjil dan sekawanan hantu. Ayah hampir tak pernah minta tolong, tetapi ia selalu beranikan diri membantu mengusir mereka sampai jera.
Pernah sekali waktu Jalu dimintai tolong ayah berburu cicak. Hewan kecil yang bisa merayapi dinding dan langit-langit rumah itu baru saja menjatuhkan kotoran di meja kerja ayah.
“Jalu mau dapat pahala nggak?”
“Mau dong, Yah.”
“Malam ini kita bunuh cicak rame-rame yuk!”
Pada perburuan malam itu, ayah menjelaskan perihal anjuran membunuh cicak yang dapat mendatangkan banyak pahala. Seekor cicak yang mengendap-endap keluar dari balik bingkai foto menjadi sasaran pertama, terkulai jatuh seketika terkena pukulan ayah. Begitu pula Jalu, ia bahkan terlonjak kegirangan setiap kali berhasil menumbangkan seekor cicak, bak seorang pangeran yang baru saja berhasil mengamankan istana dari serangan naga jahat.
Keesokan harinya mereka terbangun dengan bahagia, merasa telah melewati malam yang begitu membanggakan. Mereka terlihat kompak membersihkan rumah, menyapu halaman, menyiangi rerumputan, dan menata tanaman supaya lebih enak dipandang. Ayah memangkas beberapa dahan pohon agar cahaya matahari lebih leluasa menghangatkan rumah. Gara-gara itu, Jalu dan ayahnya membuat mainan pedang dari kayu.
“Yah, ayah tahu nggak kenapa aku minta dibuatkan pedang dari kayu?”
“Buat mainan kan?”
“Bukan, buat melindungi ayah dari bahaya.”
“Ada-ada saja. Kok bisa?”
“Mereka takut kok sama aku.”
“Buktinya?”
“Beneran, selama ada aku, ayah aman.”
Kalimat-kalimat itu seperti meluncur begitu saja dari mulut Jalu, karena memang sejak pagi tadi tak ada satu pun makhluk pengganggu ia lihat mengancam jiwa ayah. Hantu tanpa kepala, kunang-kunang bertaring, ular hitam bersayap kelelawar, dan kupu-kupu berkepala singa, tak satupun kelihatan bergentayangan. Mungkin mereka merasa terganggu dengan benteng cahaya yang menyelimutinya beserta ayah. Hari itu betul-betul cerah, ia rasakan kebahagiaan tanpa takut diganggu makhluk-makhluk menakutkan.
Keesokan hari yang berbeda, saat matahari belum tampak sepenuhnya, ayah kembali berangkat dengan terburu. Rupanya kemarin, dia mendapat panggilan kerja di tempat yang baru. Ayah pergi bersama iring-iringan hantu tanpa kepala. Sedikit ragu Jalu berdiri di balik pagar dengan kepala terlongok ke jalan, menyaksikan mereka berpesta pora. Mereka bersorak-sorai, melempar olok-olok dan ejekan dari gema suara yang keluar dari tubuhnya, melahap kepulan asap knalpot dan deru putaran roda. Jalu kembali didera sepi, membenamkan dirinya pada lelap dan kesunyian. Benteng cahaya telah koyak digantikan beruang besar dengan bau mulut yang mengotori udara setiap ruangan di rumahnya. Ia jadi lebih sering bermimpi, bercanda di halaman rumah dengan sapi, memenuhi hari-hari dengan cengkerama dan cerita tentang ibu yang juga sedang dirundung sepi. Ya, sapi dalam mimpi yang mengantarkannya berjumpa ibu, setelah sebelumnya ia melihat hewan kurban itu dijemput malaikat di pelataran masjid dekat rumah tempo hari.
Waktu itu tubuh hewan itu terjatuh berdebam ke samping dengan kedua pasang kakinya terikat menyatu di tengah. Gumam takbir terdengar dari mulut orang-orang yang mulai berkerumun. Rontaan dan lenguhan tak menghentikan usaha para jagal meringkusnya. Sebatang bambu seukuran dua kali tinggi orang dewasa tak luput disorongkan dengan paksaan, mengisi jepitan keempat kakinya. Salah satu pipi sapi itu menempel ke tanah dengan mata yang mulai berlinang. Seorang jagal menarik kepala sapi itu ke belakang sehingga lehernya terbuka di atas lubang galian yang telah disiapkan sebelumnya. Jalu melihat tangan kiri ayah mulai mengelus-elus leher sapi itu sebelum kemudian tangan kanannya mendorong pelan irisan pisaunya maju ke bawah dalam satu gerakan panjang, ditarik dan didorong kembali dalam dua atau tiga hitungan, tanpa lepas dari sembelihan yang bermuncratan darah. Satu lenguhan panjang terakhir disusul kejangan pada kaki dan kibasan ekor yang perlahan melemah, membuat satu per satu jagal melepaskan cengkeramannya.
“Tangis hewan-hewan kurban itu menandakan bahagia, betapa mereka telah menyaksikan para malaikat datang demi menghormatinya, menjemput kemuliaan jiwa mereka untuk diantarkan ke surga.” Ayah menjelaskan dengan benderang, mengingatkan Jalu pada ibunya.
Pada malam hari pertama ayah kembali bekerja, Jalu terbangun oleh panggilan ibu yang seolah betul-betul berbisik, terdengar lembut di telinganya. Saat ia mulai terduduk, tampak sosok ibu yang kerap dirindukannya. Sosok perempuan itu bilang akan membantu Jalu menyelamatkan ayah dari makhluk-makhluk pengganggu. Benar saja, ketika ia beranjak membuka sedikit pintu kamar tidur ayah, terlihat ular hitam bersayap kelelawar bertambah banyak jumlahnya. Di atas kepala ayah juga bertengger hantu-hantu tanpa kepala yang satu per satu terbang keluar melalui jendela. Jalu menutup kembali pintu kamar, sembari tangannya meraih pedang kayu yang tergantung di sebelah meja makan. Hampir saja ia terluka oleh serangan kupu-kupu berkepala singa yang tiba-tiba mengerubutinya. Jalu kemudian menemukan sebilah pisau panjang di bak cucian, gegas dia acungkan dengan sedikit gertakan yang sepertinya menakuti mereka.
Ibu tersenyum mendekat, melenyapkan segenap keraguan Jalu atas kemampuannya melawan makhluk-makhluk jahat.
Pedang kayu ia letakkan, kemilau pisau menggantikan. Ia buka kembali pintu kamar ayah, ketika ular-ular bersayap kelelawar sedang sibuk melilit tubuh lelaki itu, dari kaki hingga kepala. Mereka terkejut dengan kemilau pisau di tangan Jalu, tak sempat menghindar ketika secepat mungkin ia berlari menancapkan ke tubuh mereka bertubi-tubi. Percikan cahaya serupa kunang-kunang berhamburan dari lubang-lubang yang ada di leher, dada dan perut ayah, membuat Jalu kepanikan dan berusaha menutupi jalan keluar mereka.
Jalu tergeming menghikmati keberadaannya bersama sebilah pisau dan tubuh berlumuran darah di depannya. Semerbak aroma mawar menguar, tak lama setelah ia melihat ayah terbangun menyambut uluran tangan ibu. Ayah pergi bersama ibu, meninggalkan tubuhnya terkulai dengan sebagian perut dan dada menganga, melepas segenap penderitaan akibat hantu dan makhluk-makhluk ganjil yang mengganggunya.***