Mereka Diam Karena Mereka Juga Tahu

Kami semua tahu siapa pencurinya, maksud kami pencuri sesungguhnya—karena memang ada tiga jenis pencuri yang beraksi pada malam itu, dan kami bisa langsung memberitahu Anda sekarang, tapi tentu bukan cuma itu tujuan Anda mendengarkan sebuah cerita, bukan? Jadi, kami berharap Anda mau bersabar dan menyimak baik-baik cerita kami.

Siapa pun akan menggigil meski sudah berkemul sarung pada waktu itu, dan, karena bersama musim hujan datang pula musim pemadaman listrik bergilir, adalah wajar bila malam itu listrik tiada dan segelintir orang, termasuk pencuri jenis pertama, memanfaatkannya.

Pukul 00.33, di kolong rumah panggung Dahlia, mereka meraba-raba kegelapan dengan bantuan sebuah senter ponsel. Mereka ada tiga, kan, Jon?

“Betul, mereka ada tiga. Kalau saya tidak salah dengar, itu Ammang, Superman, dan yang terakhir, mereka memanggilnya si Doko.”

Soal penampilan mereka, menurut kami yang perlu diketahui hanya bahwa ketiganya memakai sarung dari bahu sampai lutut—bayangkan saja tiga ikat sawi; selebihnya, ya karena saat itu memang gelap, biarlah menjadi milik kegelapan.

Ammang memimpin di depan, tangannya menyembul dari lindung sarung meraba-raba alangan dan, ketika menyentuh bilah bambu kandang, dengan hati-hati ia menggeser palang kayu dan mendorong pintu. Ayam-ayam “jalan di tempat” di atas teratak ketika mengetahui ada yang masuk ke kandang, tapi saat ketiga orang itu diam, ayam-ayam juga diam, bagai yang satu adalah sakelar dari yang lain, dan bunyi elettong dari desa sebelah seakan turut membantu mereka: warga tak gampang mendengar suara-suara lain.

Di belakang kedua temannya, si Doko sempat memuji Honda Beat putih yang diparkir dalam kandang itu, sebelum mendengar ia disuruh naik teratak; ia menurut, tapi baru selangkah, anak tangga yang ia pijak patah dan suara makian menyusul nyaris bersamaan. Dan terdengarlah di atas mereka seseorang berjalan seperti memakai bot di atas lantai kayu. Superman melompat ke pintu kandang dan Ammang menangkap lengan kawannya lalu mereka sama-sama mendongak. Iya, kan, Jon?

“Iya, saat langkah kaki itu pergi, mereka masih diam mendongak.”

Nah, setelah beberapa lama tak ada suara-suara lagi dari atas rumah, barulah Ammang memberi isyarat si Doko untuk naik teratak lagi. Si Doko melangkahi anak tangga yang patah dan ia sudah merentangkan tangan ketika Superman berbisik dari bawah, ‘Ayam kampung, jangan yang bangkok, pas di leher, tutupi sarung,’ petunjuk yang justru bikin buyar perhatiannya sehingga dia malah mengacak-acak teratak itu dan kedua temannya sontak menutup hidung karena debu kotoran ayam beterbangan. Meski begitu, jadi juga si Doko turun dengan bongkahan besar sarung. Dia masih ingin naik, tapi Ammang mencegahnya: ‘Simpan untuk lain kali.’ Mereka lalu keluar tanpa menutup pintu.

Sementara itu, pukul 00:33 pada malam yang sama di rumah itu juga, ada dua orang berjongkok di atas plafon. Iya, kan, San?

“Iya. Mereka tidak menyebut-nyebut nama mereka. Tapi dari postur mereka, kita sebut saja si Besar sama si Kecil.”

Si Besar ini asyik dengan ponselnya dan si Kecil tampaknya lebih tertarik memperhatikan hawa, lagi-lagi ia mengeluh dingin dan menyesal tidak membawa jaketnya.  Satu jam sudah mereka di sana setelah memanjat dinding dan masuk lewat bagian depan atap rumah yang berbentuk segitiga, yang kebetulan rusak melompong tanpa dinding, satu keadaan yang mereka ketahui setelah si Kecil memata-matai rumah ini sebelumnya, dan sepertinya, mengingat pemadaman bergilir dan keriuhan elettong di desa terdekat, bukan tanpa alasan mereka memilih malam itu untuk berjongkok di atas sana.

Saat tiba waktunya, keduanya lalu bangkit dan sinar ponsel menuntun mereka yang berjalan meniti balok rangka plafon seperti pejalan tali—harus sehati-hati itu, karena selalu terbuka kemungkinan kaki mereka terperosok ke eternit dan memancing perhatian berlebih dari tuan rumah yang tiba-tiba melihat kaki terjulur dari langit-langit rumahnya. Sempat ada insiden kecil di sini, iya, kan, Jon?

“Ya, si Besar injak paku.”

Ia memekik layaknya semut memekik dan kepalanya terantuk seng; tapi untung saja tak terdengar suara apa pun dari bawah sehingga tak lama kemudian mereka pun melangkah lagi, dengan si Kecil memimpin, sampai tepi bidang plafon tempat mereka bertemu segi empat terbuka sebuah kamar yang tak berplafon. Inilah pintu bagi mereka, dan di pintu itu mereka tak butuh salam untuk masuk.

Nah, pada pukul 00:33 di rumah yang sama, Dahlia ada di kamar itu dan belum tidur. Iya, kan, San?

“Ya, dia baring di ranjangnya sambil buka-buka hape.”

Tentang kenapa dia belum tidur selarut itu, Asan lebih tahu. Iya, kan, San?

“Ah, kamu. Dahlia ini tidak tidur sebelum dia kencan suara sama cowoknya. Tapi sekarang nada deringnya masih mengeram; mungkin si Jordi masih kerja sablon, musim kawin begini dia paling sibuk sekabupaten, tahulah, banjir undangan.”

Jadi, Dahlia pun menunggu, ditemani ponsel yang menjadi bulan di atas wajahnya dan menerangi tahi lalat di pipinya turun-naik ketika ia tersenyum-senyum sendiri.

“Jordi sudah mencuri hatinya.”

Dari luar kamar, langkah-langkah sepatu bot terdengar ketika ayam-ayam ribut, tapi sebentar saja; bapak Dahlia kembali ke kamarnya. Dahlia pun kembali ke ponsel dan lanjut membacai status teman-teman Facebook-nya—salah satunya adalah Suparman Hamadi, teman SD-nya dulu, yang 30 menit sebelum itu menulis: Dingin-dingin begini waktu yang sempurna untuk makan ayam. Kamu kenal dia, San?

“O, tentu. Suparman ini yang waktu SD dulu melapor ke ruang guru: ‘Anak-anak ribut, Bu Guru, termasuk saya!’ Akibatnya, satu kelas termasuk si pelapor dihukum lompat kodok hari itu.”

Kegiatan membaca status Facebook itu mungkin akan berlangsung sampai pagi andai Dahlia tidak mendengar bunyi seperti bantal terjatuh di pojokan dan ia pun menyibak kelambu dan, dengan ponsel, menyuluhi tempat itu. Ia melihat dua sosok asing berdiri di hadapannya. Seperti kena setrum, bahunya tersentak sepersekian detik, dan gadis itu lantas berlari ke luar sambil berteriak: ‘Panga!’

Teriakan itu menampar tiga pasang telinga yang ada di kolong rumah. Ammang seperti ditampar betulan—kepalanya terteleng; Superman sama saja; si Doko bagai dipegang ekornya, ia sudah mau lari tapi tak tahu ke mana, barulah setelah Ammang bilang ‘Jangan kau lepas itu ayam, lari ke jalan!’ ia ikut lari.

Tak butuh waktu lama warga sekitar, termasuk para pemuda lain di jalan yang baru pulang dari menonton elettong, pun mendengar Dahlia; Ammang dkk terhadang, dan tanpa 1-2-3 ketiganya serentak berbalik lalu melepas sarung dan menyelempangnya. Ammang membisiki si Doko untuk menguatkan pegangan pada bungkusan sarung itu supaya ayam di dalamnya tak bersuara.

Di atas teras, pintu depan terbuka dan memuntahkan Dahlia, adik perempuannya, ibunya, dan bapaknya: tiga orang pertama terus lari turun tangga, sedangkan yang terakhir, si tua kepala angin dengan jemari jempol semua, berbalik menunggui pintu dan memasang kuda-kuda macam kuda mengangkat kaki depan. Tak lama kemudian, pintu depan juga memuntahkan dua penjahat mantan penghuni plafon keluar ke teras, masuk ke gelanggang.

Ammang dkk terpaku: di belakang, orang sekampung menyerbu dengan kemarahan; di depan, tuan rumah menyerbu ketakutan.

Dahlia masih berteriak-teriak seperti tadi, tapi ketika mengenali orang di depannya, teriakannya berubah: ‘Superman! Di atas ada panga!’

Suparman Hamadi, yang namanya sering dipelesetkan menjadi Superman, mendadak beroleh kekuatan yang mengusir ketakutannya dan secepat Superman asli ia melompati tangga diikuti Ammang; si Doko hanya terdiam mengamati depan-belakang: rombongan warga kian dekat.

Teras rumah sudah dipenuhi suara-suara gertakan, saling ancam, dan kemudian kegaduhan pecah beruntun. Tampak sepasang lampu ponsel jumpalitan di atas sana; dan dari bawah, lampu ponsel yang lebih banyak lagi berduyun-duyun terbang di atas tangga dan masuk ke gelanggang dan mempercepat berakhirnya pergumulan itu yang ditandai satu benturan keras buah perjumpaan dua batok kepala dengan tiang kayu ulin.

Kedua pencuri lalu dibawa—tak ubahnya dilemparkan—turun ke kolong rumah dan, entah ide dari siapa, mereka dikurung dalam kandang dan bahkan diikat seperti ayam siap jual dan sesekali diberi makan buku tangan, malahan nyaris diberi minum: ‘Kasi bensin baru bakar!’ Di situlah mereka, dengan suara tinggi berampun-ampun, meringkuk ditunggui orang-orang yang menunggu polisi datang.

Para tetangga berkumpul dan menanya-nanyai Dahlia dan sayup-sayup terdengar gadis itu berujar, ‘Untung ada Superman.’

Di antara yang lain, bahkan mungkin lebih-lebih lagi dibanding para pesakitan di balik kandang, si Doko-lah yang tampak paling gelisah, dia bergidik seperti ulat bulu. Anda bisa bayangkan, sekali saja ayam itu bersuara, habislah semua; tuak bisa ditunda, ayam itu juga, dan penjara bukan barang yang pantas dicita-citakan.

Saat polisi tiba dan orang-orang riuh menggiring kedua pencuri, ia malah tertegun memandangi mobil bombe’ milik polisi, kendaraan bak terbuka dengan sepasang bangku panjang mirip bangku tunggu Puskesmas yang saling membelakang.

Pemuda kurus itu baru tenang saat bersama kedua kawannya ia sampai di bale-bale kolong rumah Superman. Saat itu listrik sudah menyala tapi mereka duduk diam seperti bila benak mereka masih gelap, tersumbat oleh pikiran buruk, sesekali memang seseorang memantik percakapan tapi yang lain tiada semangat menimpalinya. Menjelang subuh, mereka bersepakat menyembelih ayam itu, yang secara tidak langsung telah menjadi penyelamat mereka dengan kebungkamannya yang ajaib, lalu mereka memakannya dengan rakus meski dagingnya belum matang sempurna, lebih kepada perasaan diburu-buru ketimbang kelezatan: ayam itu mencuri ketenangan mereka.

Anda tahu bagian paling menarik dari kisah ini? Asan akan menceritakannya.

“Waktu itu menjelang pagi, saya juga buka Facebook, tidak lupa saya cek status terbaru Dahlia, setelah mengucap puji syukur ia menulis ini: Seseorang telah mencuri hatiku, Tuhan telah mengirim dia menolongku.

Kami bertiga tahu siapa pencurinya.

2020

Keterangan:
elettong = organ tunggal
panga = pencuri



Bagikan:

Penulis →

Muliadi G.F.

Lahir dan besar di Barru, Sulawesi Selatan; kini tinggal di Kaimana, Papua Barat. Buku tunggalnya Cerita dari Negeri Siput (Sampan Institut, 2017) dan Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *