Seribu Tahun Lagi

Menuju Baka

larik masa melibas diri
batin-batin masih disemat kemalangan
puji sukur sering kali dipalingkan

saban pagi ayam tak bosan bersuling
menggaduh insan bertempur melawan muson
muson yang bermain kucing-kucingan
ingatkan jiwa pada pusaran tumpuan Tuhan

kembalikan diri pada pucuk hari
tak lagi bercabang tunas penghidupan baru
jamah dunia beribu tanya
akhir lakuan segala-galanya

satu persatu malaikat melayat hati
mengalfakan hembusan udara di bumi
tunaikan ibadat penembus hutang piutang

jika tak lunas
barangkali musuh yang bergayut di telinga kiri
mampu menambal kebolongan
damai perseteruan dari jelmaan pinjaman perangai
yang tak sadar terjantur dari bisikan iblis

Bayang, 2020






Rinai Siang Hari

ialah jarum yang menusuk ubun-ubun
berderai pecah di atas jajaran para nasib
menguntai pesan singkat dari Tuhan
membelai kemarau dari daun yang berguguran

tak mengantuk Tuhan memantau jiwa-jiwa
namun umpatan sering kali dilayangkan
seakan rasa sukur telah hangus dibakar waktu

terlupa pada sayatan pepatah;
umpat tak membunuh
puji tak mengenyang

sesekali Tuhan kerap menjadi korban
dari lidah yang tak santing bersilat
membungkam nikmat kun fayakun

alangkah lama kepikunan bersemadi
dalam kolong sanubari yang bersauh dosa-dosa
hingga setitik rinai ditumpahkan Tuhan
menjadi dalang kumungkaran

Bayang, 2020






Tamu

di dalam sela retak masa lampau
aku mengundang tamu tak dikenal
menjamu sesembahan hati
yang lalu sempat digores pisau

jikalau hati yang menggigil kedinginan
tamu itu bagai selimut tebal penghangat
alirkan kembali darah beku

diri yang ringkih terlena pigura
dari mata itu mengayun lukisan
memperdaya keindahan terbelakang

seolah ia hadir menanamkan benih subur
palingkan semua sendu yang sempat dulu
yakinkan hati kerap diterjang
oleh raga baru yang mengetuk pintu

Bayang, 2020






Khianat

aku adalah sisa-sisa pengkhianatan
dari musim subur sejemang gugur
kemarau dan banjir pun bagai angin lalu
lupakan segala kenang-kenang

sempat segala musim itu bersarang
pada satu wadah, di sampingnya hati jantung
dan pada khayalnya: cinta dunia

namun dua kata itu tak berguna
semua tak melepas dari sia-sia
khianat dan dusta
bagai singgasana dan tahta

Bayang, 2020






Jemawa Cinta di Ranah Kelahiran

perselisihan itu mendorongku
meninggalkan segala rumpun jiwa
dari kasta yang membocori atap rumah

kasih, lewat sajak yang tak berarti ini
ia akan menjadi saksi cakap angin
yang keluar dari jendela rahang
membadai pada relung hati

di tanah nan kutumpangi dulu
sering kali kenyataan menutup akal
dari penjabaran makna nyata
bahwa tahta sesungguhnya
tersirat pada takdir Tuhan

yang kini nampak di matamu
aku menumpang kemiskinan dunia
menitip kaya cinta di lorong-lorong sanubari
namun lebur dengan perbedaan
pada darah, biru merah

Bayang, 2020






Menyongsong Kematian

Di bawah bayang-bayang bulan dengkur burung hantu berbisik mencari kawan, tersemat pada telapak kaki kutepiskan sembari menghidu aroma tikai-tikai kematian. Hentak tapak maut mengguntur, mengetuk-ngetuk pintu jasad menebar aroma melati begitu pesat.

Acap kali ketukan pintu menyapa, namun hati tiada pana dan aku tak pandai menjawabnya. Secercah bekalku terkatung-katung pada angin yang menyeret keluar dari naung dan cahaya tak dapat kubergelut dalam palung.

Ratapku terharu pilu, semua sombong tersokong pada elegi masa lalu. Panggilkan Tuhan agar menghapus semua seru, aku masih terkatung di ujung pintu yang tak lihai keluar masuk sesuai tuju.

Secuil pahala melilit diri mustahil bila dapat kucarah dan kubagi. Enggan meluput pada rumpun hati yang menyimpan ribuan amunisi sempat kutaruh dalam sanubari.

Bawakanlah zam-zam menghujaniku dalam gelut sahara yang membenam pada selimut-selimut temaram, sebab waktu tengah menggertakku menyongsong kematian

Bayang, 2020






Waktuku

pada saat-saat sering
aku lagi-lagi berencana pada nanti
dengan waktu-waktu yang belum kutempuh
waktu yang menggelepar dalam pelukku
di sekujur umur yang menjamah nafasku

pada saat-saat sering
aku telah menjenguk kematian yang belum itu
dalam derai-derai penanggungan

namun jika memang tiba waktuku
yang sebenarnya waktu
ingin kuputar seribu tahun lagi
agar aku bisa merajai waktu demi waktu

Bayang, 2020






Memahat Sajak Dunia

aku masih berkelana di atas bumi yang orang kata fana
mencari jati diri melalui ukiran sajak yang kupahat sendiri
terkilan masa menggurui takdir yang diberi Tuhan
agar seluk beluk jembatan dunia menuju baka lihai kujajah
tanpa terseok mencumbui jurangnya

lagi-lagi itu hanya kata-kata yang mesik
tertipu mentari panas dingin bermandikan rinai
memberikan penyakit di antara debat hujan dan kemarau
yang berpacu mengejar tahta

terkadang keegoisan alam mengkhianati doa-doa manusia
yang hanya menumpang hidup
seketika mereka ikut mati bersama manusia
yang ingin kekal hidup bersama ribuan singgasana

hanya dua problema dari makhluk ciptaan Tuhan;
meminta mati dan mengemis kekal
sebab takut bernostalgia bersama malaikat
untuk mengkaji kisah lusuh dunia

Bayang, 2020

Bagikan:

Penulis →

Chalvin Pratama Putra

Lahir 30 April 1998 di Bayang, Pantai Barat Sumatera (Pesisir Selatan). Merupakan anggota Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Menulis puisi, esai dan cerpen sudah dimuat di beberapa media. Tergabung dalam antologi penerbitan puisi bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *