Demokrasi dalam Tiga Putaran

Putaran Pertama

Kafe saya nyaris selalu sepi pengunjung. Mungkin karena kafe saya tak memiliki sudut estetik untuk difoto seperti yang ditawarkan kafe-kafe lain: kafe yang mempunyai interior glamor dan penuh lampu warna-warni di dalam ruangannya. Dan kafe milik saya tak menawarkan konsep semacam itu. Saya tidak memiliki cukup uang untuk mengimbangi kemauan pasar. Bahkan penerangan di kafe saya cenderung lemah karena bola lampu belum kunjung diganti.

Malam ini saya hanya kedatangan dua pelanggan yang selalu memprotes segala kekurangan kafe saya tapi anehnya mereka tak pernah beralih untuk menjadi pelanggan di kafe lain.

Lelaki yang selalu mengambil tempat duduk di kursi bar bernama Benjor. Benjor adalah seorang penulis cerita pendek yang kini bekerja di sebuah koran pagi. Benjor hanyalah nama samaran, tapi saat pertama kali datang ke kafe saya, si gendut itu mengatakan bahwa dirinya bernama Benjor: “Benjor adalah nama samaran saya,” kata Benjor seraya menjabat tangan saya ketika kami pertama kali bertemu.

Ia menjelaskan kepada saya bahwa nama Benjor adalah nama seorang tokoh di dalam cerpennya dan teman-temannya sudah terlanjur akrab memanggilnya Benjor. Benjor selalu memesan teh hangat, dan ketika tehnya menjelang habis ia biasanya akan meminta es batu.

Sementara orang tua yang selalu duduk di kursi paling belakang itu adalah veteran revolusi di negara saya. Namanya Van Gogh. Van Gogh kini mendedikasikan masa pensiunnya untuk melukis suasana kafe saya. Hanya di dalam lukisan Van Gogh kafe saya tampak ramai.

Menurut saya, lukisan yang dikerjakan Van Gogh telah selesai. Lukisan yang dibuatnya itu cukup berhasil menggambarkan suasana kafe saya kecuali perihal jumlah pengunjung. Namun Van Gogh selalu mengatakan bahwa ia masih dalam proses pengerjaan. Setiap kali datang, Van Gogh selalu berpesan pada saya: “Selama saya mengerjakan lukisan ini, jangan biarkan orang mengganggu saya.”

Saya sesungguhnya belum terlalu akrab dengan Van Gogh. Bahkan ia tampaknya tak mau tahu nama saya. Van Gogh dasarnya sudah dikenal banyak orang di kota saya. Fotonya terpajang di mana-mana sebagai pahlawan revolusi. Termasuk di kafe saya. Fotonya saya bingkai dan saya pasang di dekat pintu masuk kafe.

Keduanya telah menjadi pelanggan saya sejak pertama kali membuka kafe ini. Bahkan waktu itu, Benjor memberitakan di koran tempatnya bekerja tentang dibukanya sebuah kafe baru yang menawarkan konsep kesederhanaan. Saya tahu makna sebenarnya dari ‘kesederhanaan’ yang ditulis Benjor. Benjor sendiri yang memberitahu saya setelah dua bulan kemudian.

“Kau tahu sederhana yang kumaksud itu apa?” Tanya Benjor.

“Apa?”

“Sederhana itu artinya tidak memiliki apa-apa,” setelah itu Benjor tertawa sangat keras sampai Van Gogh harus berdehem berkali-kali sebagai penanda bahwa ia sedang membutuhkan ketenangan.

“Apa mulutmu itu bisa tenang sedikit, anak muda?” tanya Van Gogh dengan nada mengancam.

“Apakah kita belum mengalami demokrasi sehingga kau harus mengatur segala hal di ruangan ini, Bung?”

“Akulah pejuang demokrasi, aku lebih tahu apa yang kau bicarakan, anak muda!”

Benjor terus meminta saya untuk memutarkan Radiohead melalui speaker. Dalam situasi seperti ini saya tak bisa memutuskan dengan buru-buru. Sebagai jalan tengah, akhirnya saya menyetujui permintaan Benjor namun hanya untuk dua lagu saja, setelah itu ruangan harus kembali tenang.

Saya lebih khawatir lukisan yang dikerjakan Van Gogh akan berakhir buruk cuma karena ulah Benjor, ketimbang khawatir pada Benjor yang mengancam akan membesarkan masalah tersebut sebagai berita utama di koran pagi dengan tajuk: “Buruknya Pelayanan Kafe Sederhana.”

Pertengkaran antara Benjor dan Van Gogh hampir selalu terjadi setiap hari dengan diawali masalah yang sama. Mereka rutin bertengkar tanpa berusaha menjalin hubungan yang lebih baik sebagai sesama pelanggan kafe.

Putaran Kedua

Saya sedang memutar Banda Neira saat suami saya pulang dari menjaga kafe. Saya jarang sekali dibolehkan suami saya untuk ikut ke tempat yang kini terlalu banyak memakan biaya operasional itu. Biaya operasional kafe itu lebih banyak ketimbang keuntungan yang dihasilkannya. Alih-alih meringankan beban ekonomi keluarga kami, kafe itu kini malah jadi benalu.

Lebih aneh lagi, kafe itu belum juga memiliki nama setelah tiga bulan yang lalu dibuka secara resmi. Saya sempat menawarkan beberapa nama bagus untuk kafe itu, tapi suami saya tak pernah mempertimbangkannya dengan serius.

Suami saya mengatakan, kafe itu telah dikenal oleh orang-orang dengan sebutan ‘Kafe Sederhana’. Penyebutan itu berasal dari berita yang pernah ditulis oleh seorang pelanggan yang bernama Benjor. Menurut cerita dari suami saya, Van Gogh sang pahlawan revolusioner juga sering menghabiskan waktu di sana, sayangnya pria tua itu tak memiliki cukup banyak pengaruh untuk membawa orang-orang datang ke kafe kami kendati fotonya terpajang di mana-mana.

Saya curiga, sejarah tentang kepahlawanannya hanya proyek kebohongan negara belaka. Walau pun orang-orang di kota saya tak suka membaca sejarah. Lebih-lebih kepercayaan orang-orang terhadap negara tak terbangun dengan baik. Korupsi kian menggurita, kolusi dan nepotisme dilakukan secara terusterang. Revolusi hanya memindahkan orang-orang dari satu lubang buaya ke lubang buaya yang lebih besar.

“Ada berita apa hari ini, sayang?” Tanya suami saya sembari melepaskan mantel tebalnya.

“Matamu!”

“Galak betul kau, ya.”

“Kemarikan uangmu.”

“Malam ini tidak ada pelanggan, sayang.”

“Kau tak menghitung dua orang begundal itu sebagai pelangganmu?”

“Aku tidak berharap banyak pada mereka.”

“Apakah mereka membayar pesanan?”

“Benjor berjanji akan melunasinya pada awal bulan mendatang, sementara Van Gogh selalu membayar langsung pesanannya,” jawab Suami saya dan tetiba wajahnya seolah mengingat sesuatu, “dan sepertinya tadi ada seseorang yang lupa membayar pesanannya. Sialnya lagi aku tak mengenali wajahnya karena ia mengenakan masker dan kacamata hitam. Orang itu sangat misterius.”

“Sudahlah, lupakan. Aku memasak air hangat untukmu, bersihkan tubuhmu sebelum tidur.”

Meski suami saya telah gagal membahagiakan saya secara material, tapi saya selalu bersedia melayaninya di ranjang tiap malam. Idealnya, saya harusnya menolak sebagai bentuk perlawanan atas ketidakbertanggungjawabannya itu. Baiklah, mungkin pembelaan saya akan terdengar tidak masuk akal, terutama bagi teman-teman saya para liberalisme tulen yang hari ini tak jauh berbeda nasibnya dengan saya.

Selalu ada cinta dan maaf di ruangan sempit yang terletak di dalam hati saya untuk lelaki tidak bertanggungjawab ini. Kendati ia mencintai saya dengan fasisme yang berlebihan.

Terdengar seperti omongkosong, bukan?



Putaran Ketiga

“Ke mana kau menghabiskan waktu, bung? Dan kenapa tidak mengangkat teleponku?” Tanya saya pada Jonny.

“Ayolah, Thom, kita butuh hiburan.”

“Dua hari lagi kita akan melakukan konser di depan ribuan penggemar kita, dan kau tidak khawatir sama sekali?”

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Toh mereka akan tetap menjadi penggemar kita walaupun kita hanya berdiri di atas panggung.”

Karena itulah saya kurang menyukaimu ketimbang Brien, Colin, atau Phil. Untuk seorang gitaris medioker kau terlalu arogan.

“Baiklah, ayo kita mulai latihan,” ajak Jonny.

“Tidak sebelum kau menjelaskan kenapa kau terlambat,” sergahku.

“Oke, Bung. Oke, akan saya jelaskan,” Jonny mengambil kursi dan duduk bersandar. Ia menyilangkan kakinya, merapikan poninya, dan mulai bercerita: “Begini, Bung. Tadi kepala saya terasa penat sekali, saya membutuhkan secangkir kopi untuk kembali pulih. Ketika saya datang ke sebuah kafe kecil yang kelihatannya paling sepi di antara kafe-kafe lainnya…”

“Apakah itu alasanmu?”

“Belum selesai, bung.”

“Bukan. Maksudku apakah kau memilih kafe itu karena menurutmu itu yang paling sepi?”

“Sudahi dulu basa-basimu meski kau benar. Biarkan aku menyelesaikan ceritaku.”

“Silakan.”

“Ketika pesanan saya baru saja datang, orang yang tampaknya adalah pemilik kedai itu baru saja melerai suatu pertengkaran. Pertengkaran itu disebabkan oleh seseorang yang bernama Benjor. Semoga aku tidak salah dengar. Nah, Benjor meminta supaya pemilik kedai memutar lagu kita, sementara Van Gogh tidak mengizinkan dengan alasan bahwa itu akan mengganggu ketenangannya,”

“Jadi siapa pemilik kedai? Van Gogh atau lelaki yang mengantarkan pesananmu?” Saya menyela Jonny.

“Tentu saja yang mengantarkan pesanan, Van Gogh hanya memanfaatkan popularitasnya untuk mengendalikan keadaan. Dan kau tahu apa yang dilakukan pemilik kafe?”

“Apa?”

“Ia memilih jalan tengah dengan memutar dua lagu Radiohead dan setelah itu membiarkan kafenya kembali sepi seperti semula.”

“Lantas apa yang harus kita lakukan? Bukankah kita memang populer? Bahkan karya-karya kita jauh lebih populer ketimbang Van Gogh?”

“Maksudku, kita perlu mengapresiasi tindakan pemilik kafe itu dan kegilaan Benjor. Kita perlu mengatur pertemuan dengan mereka dan jangan lupa undang seluruh wartawan di kota ini. Menurut saya, ini adalah sensasi yang menguntungkan, dan bagi pemilik kedai dan Benjor pasti apa yang kita lakukan adalah keajaiban dari Tuhan.”

“Kenapa kita butuh sensasi?”

“Bukankah itu yang dilakukan para musisi di sela-sela kesibukan mereka menciptakan lagu?”

“Bagaimana kita akan mengapresiasi mereka?”

“Nah, itu yang harus kita diskusikan selepas latihan nanti.”*


*Catatan:
1. Benjor: Benjor adalah nama tokoh dalam cerpen Bayu Pratama yang berjudul “Benjor, Opera Sabun dan Cerita-cerita”.
2 Radiohead: Radiohead adalah sebuah grup musik rock eksperimental asal Britania Raya.

Bagikan:

Penulis →

Robbyan Abel Ramdhon

Cerpenis sekaligus esais asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Turut bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram. Pernah menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *