Surat-Surat Cahaya

Pria Tua: Surat-Surat Yang Tak Pernah Lelah

Sudah 50 tahun, 50 bulan, 50 hari, 50 menit, lebih 57 detik sejak aku mulai menulis surat-surat untukmu. Surat yang tidak pernah kau balas. Aku akhirnya hanya  menunggu sembari menata satu persatu tatakan batu bata rasa gelisahku, hingga menjadikannya rumah murung yang perlahan-lahan mulai melahirkan anak-anak sunyi di hati. Bahkan dengan cara muskil—pun apabila dipikir tidak ada orang yang dapat setabah diriku—menunggu balasan surat cinta darimu.

Aku berpikir: Ratusan surat yang aku kirim padamu tak pernah sampai. Muncul curiga dalam benakku kalau tukang pos yang mengantarkan surat mengalami tragedi, dan tidak memberikan surat-surat kepadamu. Kau tahu  jalanan sulit ditebak.  Tetapi cinta—entah mengapa selalu tak masuk akal—melahirkan harapan baru di tempurung hatiku. Aku tidak pernah lelah menulis surat-surat berisikan rindu padamu. Hari ini misalnya untuk yang ke-101 dan memakan sekitar 1.000 kata, aku menulis syahdan mengirimkan sepucuk surat lagi.

“Ada yang bisa saya bantu,” kata seorang penjaga loket pos.

“Tolong kirimkan surat ini,” kataku.

Wanita penjaga loket itu mengernyit kening. Ia sudah hafal dengan surat-surat yang terus kukirimkan ke alamat yang sama. Semua yang terjadi di antara aku serta penjaga loket itu hanyalah seremonial monoton yang menjemukan seperti adegan film yang diulang-ulang. Dari: seorang pria masuk dari sebuah pintu kantor pos dengan wajah murung; menunggu nomer antrian; mengantarkan secarik kertas kepada seorang yang dirindu; penjaga loket itu menulis kelengkapan administrasi; menyorongkan senyum dibuat-buat; menagih ongkos kirim surat; memberikan harapan kalau surat akan sampai tepat waktu.

Tetapi, surat ke-101 yang aku kirimkan padamu tidak kau balas juga. Aku terus menunggu. Dua minggu aku menanti. Satu bulan rasa gelisah datang. Tiga bulan akhirnya aku memutuskan untuk menulis surat lagi kepadamu. Terus berulang. Aku kembali menulis surat ke-102 untukmu. Surat yang menanyakan keberadaanmu; keadaanmu di sana dengan sedikit membumbukan rasa rindu.  Dan siang harinya, aku kembali mengirim surat tersebut.

Wanita penjaga loket kembali menyambutku. Alisnya mengeriput ketika mengetahui aku kembali datang membawa surat.

“Rajin sekali mengirim surat,” tegurnya. “Untuk keluarga?”

Aku memotong, “Untuk kekasihku.”

Wanita penjaga loket menyeringari. Ia pasti sedang mengejekku, atau merasa iba melihat kenyataan seorang pria tua masih mengirim surat pada kekasihnya. Tapi aku tak peduli. Mengirim surat bukan sesuatu yang berdosa. Pun ritual yang sama kembali terjadi di loket pos: aku melengkapi administrasi; senyum yang dibuat-buat; membayar ongkos kirim; menerima kalimat harap kalau surat pasti sampai tepat waktu.

“Lihat pria tua tersebut,” kata seorang pedagang amplop. “Sudah tua tapi masih ganjen. Ia mengirim surat cinta pada wanita lain yang bukan istrinya.”

Aku sering mendengar cibiran tentang diriku. Banyak kabar mengatakan: Aku adalah pria bengal yang acap merayu istri orang di jauh sana. Tapi sekali lagi aku tidak berusaha untuk mendengarkan semua itu. Aku tetap menanam keyakinan dalam diri: Mengirim surat pada kekasih yang dicintai bukanlah dosa. Apalagi aku masih ingat sebelum kami berpisah; kau berjanji akan kembali dan kita menikahi. Aku hanya ingin konsisten menepati janji dengan terus menunggumu, menanyakan kabarmu, dan berharap—walau kecil kemungkinan—janji itu menjadi nyata.

Kenyataan memang seperti pepatah milik seorang pengarang tua cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku, kalau: Tidak ada yang lebih pasti selain perubahan. Kau bisa saja sudah menikah, melupakanku, dan hidup dengan orang yang kau cintai. Tetapi aku setia menunggumu. Setidaknya, aku berharap, kau memberikan kepastian penantianku.

Tiga bulan berikutnya berlalu. Kini genap 50 tahun lebih 6 bulan aku menunggumu. Dan tidak ada satu surat balasan darimu. Hingga aku memutuskan untuk terus menunggumu di depan pintu kantor pos, dan berharap seorang tukang pos datang menghampir seraya memberikan surat balasan darimu.


Tukang Pos: Sebuah Alamat Ajaib di Ujung Dunia

Ada sebuah surat misterius yang tak pernah bisa aku sampaikan. Surat dengan alamat gelap kepada seorang yang hingga kini tak pernah aku temukan. Tidak jelas di mana alamat surat tersebut. Surat-surat itu hanya bertuliskan alamat sebagai berikut: JL. Kepastian, RT 07, Kampung Surga. Tidak pernah ada alamat dan nama tempat seaneh itu. Aku sempat menganggap surat-surat yang dikirimkan tersebut hanya tingkah pemuda iseng. Tetapi—di luar dugaanku—surat-surat itu terus datang beberapa bulan sekali. Bahkan selama 50 tahun terakhir, aku sering terkena marah karena surat-surat itu.

“Apakah kau mau membuat seorang gelisah di sana karena surat-suratnya tidak pernah sampai?!” Bentak atasanku.

“Tetapi alamat di dalam surat-surat ini tidak jelas, Pak,” aku mengiba.

“Tidak jelas bagaimana?”

“Tak ada tempat bernama: JL. Kepastian, RT 07, Kampung Surga!”

“Pasti ada. Kau harus sabar. Karena ‘tidak ada’ yang benar-benar ‘tidak ada’ di dunia ini. Semua tempat di dunia ini memiliki alamat. Bahkan sebuah harapan.”

Akhirnya—selama 50 tahun ini—aku hanya memiliki satu tugas pokok mencari alamat tersebut. Aku tidak perlu memikirkan surat-surat lainnya. Selama 50 tahun terkahir, aku mengeliling kota-kota, samudra, dan pantai. Aku sudah menaiki bukit-bukit; menyibak tempat terpencil di belahan dunia. Tetapi aku tidak pernah menemukan alamat surat tersebut. Aku tidak pernah sampai ke alamat yang tertera di sana. Aku berpikir: Apakah benar setiap tempat di dunia ini memiliki alamat, bahkan harapan?

Aku menarik gas motorku. Membelah gigil udara malam. Rembulan bersinar terang. 50 tahun aku mengeliling dunia. Aku begitu rindu anak dan istriku. Hingga aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan konyol ini. Aku ingin hidup tenang bersama keluargaku di rumah.

“Hanya orang gila yang menulis ratusan surat-surat bodoh ini,” pekikku putus asa. “Tak ada alamat begitu gila dan asing seperti ini!”

Aku sempat ingin membakar semua surat tersebut. Tetapi hal itu urung aku lakukan. Aku memilih membawa pulang surat-surat itu ke kantor. Sesampainya di kantor, aku kembali menemukan tumpukan surat yang sama di kotak tunggu. Darahku naik. Ingin rasanya aku robek semua surat tersebut.

“Kau sudah menyiksaku dengan harapan-harapanmu!”

Aku banting tas berisi ratusan surat hingga tercecer isinya. Aku mengamati satu persatu surat itu. Aku mencari surat yang paling tua yang pernah dikirim. Mataku jeli mengamati; mencari surat yang tak lagi mulus itu. Tiba-tiba, hatiku gelisah. Selama 50 tahun, aku tidak pernah menyentuh satu pun surat itu. Kini aku ingin melihat apa isinya. Tetapi hal itu tidak jadi aku lakukan.


Wanita Tua: Surat-Surat yang Ingin Dibalasnya

Apakah kau masih mengirim surat-surat untukku? Aku tidak tahu: Bagaimana caranya agar kau berhenti mengirim surat-surat tersebut? Aku merasa kasian pada tukang pos seandainya ia sungguh-sungguh mencari alamatku. Karena tukang pos itu tidak akan pernah menemukan alamatku. Begitu juga menyampaikan surat-suratmu.

Aku kini sedang di suatu tempat yang asing. Tempat murung di mana orang-orang hanya menunggu sesuatu, tapi tak pernah tahu apa yang mereka tunggu. Aku berharap kau melupakanku. Tidak ada gunanya lagi kau berharap. Kita tidak pernah dapat bersatu. Tuhan sudah mengatur semua pertemuan dan perpisahan kita.

Memang, aku selalu merasa bersalah padamu. Dahulu seharusnya aku tidak memberikanmu harapan. Aku ingat saat di stasiun; ketika aku terakhir kali bertemu denganmu. Aku berjanji akan kembali dan kita menikahi. Tetapi kini apa yang lebih pasti di dunia ini selain perubahan. Takdir mengubah semua harapan dan rencana kita. Lupakanlah aku. Tidak ada gunanya lagi kau mengirim surat-surat itu. Bahkan bila aku dapat membalas satu saja surat darimu; aku ingin mengatakan: Aku sudah mati pada sebuah kecelakaan pesawat lima tahun lalu.


Pria Tua: Sebuah Harapan yang Masih Menunggumu

Orang-orang kini menganggapku gila. Mereka memandangku dengan tatapan penuh tanya karena sudah lebih 50 tahun; setelah surat ke-102 yang aku kirimkan padamu tidak sampai. Tetapi aku tidak peduli. Aku masih menunggumu. Aku ingin mendapatkan kepastian dari semua janji.

Siang dan malam, aku berdiri di depan pintu kantor pos. Aku terus berdoa agar ada satu surat datang darimu; membalas ratusan surat yang sudah kukirimkan. Dan tidak ada! Hanya seorang tukang pos yang menabrak dengan wajah lelah. Tanpa ada surat. Aku seperti menunggu kepastian yang tidak berumah darimu.


Tukang Pos: Harapan yang Terbakar

Karena malu akhirnya atasanku menyuruhku mengembalikan ratusan surat dari seorang pria sinting itu. Aku kembali mendapatkan tugas sialan ini. Sepanjang jalan menuju rumahnya, aku terus merutuki nasib malangku. Tapi tak kutemukan ia. Akhirnya, aku bawa kembali ratusan surat ke kantor pos. Aku sempat menabrak seorang pria tua. Ada sepasang mata bahagia saat menatapku. Sepasang mata yang seolah menungguku puluhan tahun. Kenyataannya—karena emosi—aku tidak peduli; melewatinya begitu saja.

Aku menemui kepala kantor pos. Ia menyambutku.

“Ada 102 surat yang tak pernah sampai ke alamatnya.”

“Maksudmu?”

“Ada ratusan surat yang tak sampai tujuan.”

“Kalau begitu bakar saja!”

“Tapi? Nanti bukannya semua harapan ini musnah begitu saja?”

“Kau tahu tidak, ada yang lebih pasti selain perubahan di dunia ini!”

Seorang staf kantor mengambil surat-surat tersebut. Aku memberikannya pasrah seraya mengutuki tingkah kepala kantor yang pendek akal itu. Dan ketika aku keluar dari kantor; aku masih melihat pria tua itu. Pria yang tampak sedang menunggu sesuatu. (*)




Bagikan:

Penulis →

Risda Nur Widia

Bukunya yang baru saja terbit Berburu Buaya di Hindia Timur (2020). Cerpennya tersiar di berbagai media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *