Ketika Ayah Sebaya Denganku


KETIKA Ayah seumuran denganku saat ini, beliau tengah mengalami cobaan berat dalam hidupnya. Sesuatu yang barangkali tak terduga sama sekali bakal terjadi. Istri tercintanya tutup usia, tak lama setelah melahirkan seorang bayi yang juga tak bisa diselamatkan nyawanya. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, Ayah kehilangan seorang kekasih yang telah sepuluh tahun setia mendampingi langkahnya, sekaligus anak lelaki yang sudah sekian lama dinanti kehadirannya. Maka ayahku pun resmi menyandang status sebagai duda dengan lima anak perempuan. Anak tertua Ayah –kakak sulungku – baru berusia sembilan tahun, sedangkan yang terkecil malah baru berumur dua tahun. Hanya mampu kubayangkan betapa tidak mudahnya bagi seorang lelaki menghadapi kenyataan demikian, yang sudah berlangsung kira-kira setengah abad silam itu. Apalagi Ayah adalah seorang perwira militer yang terbiasa hidup disiplin dan tegas di tempat kerjanya, sedangkan kelima anaknya semua perempuan. Pastilah beliau memiliki kesabaran hati dan ketegaran jiwa yang luar biasa

Aku tak pernah mengerti bagaimana persisnya liku-liku pengalaman beliau selama menduda karena Ayah tak pernah menceritakannya secara terbuka kepadaku. Padahal kupikir hal itu bisa menjadi sesuatu yang menarik bagi orang yang bersedia menyimak kisahnya. Namun, ayahku merupakan lelaki yang kukenal tak banyak bicara kepada sesiapa di mana saja. Selain memang demikian pembawaannya sedari mula, barangkali karena berkenaan dengan tugas kewajibannya pula yang mesti senantiasa menyimpan rahasia negara dengan sebaik-baiknya. Sungguh aku memakluminya. Yang jelas, di mataku lelaki itu tak pernah terlihat marah maupun mengeluh. Rasanya layak kukatakan bahwa Ayah merupakan seseorang yang cukup piawai menyembunyikan perasaan. Namun, masih kuingat terkadang beliau  melontarkan candaan yang mampu mencairkan suasana hingga bisa menghadirkan senyuman dari istri maupun anak-anaknya. Jadi, sebenarnya Ayah juga memiliki sifat humoris di balik pembawaannya yang begitu tenang dan jarang sekali bersuara.

Yang kutahu, ada seorang perempuan yang merupakan adik sepupu ayahku bersama anak lelakinya yang sempat tinggal serumah dengan beliau dan putri-putrinya sehabis kepergian sang istri. Keberadaan sang adik sepupu barangkali bisa sedikit menggantikan peran seorang ibu bagi kelima kakakku yang lambat laun beranjak remaja. Ayah kemudian mengakhiri masa kesendiriannya – yang berlangsung kira-kira lima tahun – dengan menikahi perempuan muda yang akhirnya melahirkan seorang kakakku dan diriku. Perbedaan usia di antara kedua orangtuaku cukup jauh, sekitar 19 tahun jaraknya. Ayah baru saja berusia separuh abad ketika Ibu melahirkanku, yang akhirnya menjadikanku si bungsu dan anak lelaki satu-satunya dalam keluarga kami. Selama sekitar dua puluh tahun sejak pernikahan keduanya, ayahku hidup sarat sukacita bersama istri dan ketujuh anaknya.

Satu hal yang terpuji dari Ayah adalah beliau tetap bisa menjalin koneksi yang harmonis dengan orangtua dan saudara-saudara mendiang istri pertamanya. Ibuku sendiri tidak pernah membedakan sikap dan kasih sayangnya kepada anak-anak sang suami dari istri pertamanya maupun anak-anak kandungnya. Aku begitu salut dan respek kepada kedua orangtuaku yang mampu menyikapi dengan tepat kompleksitas masalah dalam keluarga kami yang mungkin sebenarnya tidak sederhana. Ayah kemudian sempat menikahkan ketiga orang putrinya dan merasakan menjadi kakek bagi tiga orang cucu, sebelum akhirnya padam nyawa menjelang hari lahirnya yang ke-67.

***

Ketika aku sebaya dengan Ayah waktu itu, aku justru masih sendiri belaka menjalani keseharian. Kami berdua jelas memiliki problema masing-masing yang begitu berbeda. Tatkala ayahku sibuk dengan pekerjaannya sebagai komandan tentara seraya harus mengasuh lima anak perempuan tanpa sang istri, aku malah belum memiliki sesiapa. Bukannya aku tak pernah berusaha karena telah tercatat dalam histori pribadiku adanya sejumlah nama perempuan yang sempat singgah di hatiku. Namun, apa mau dikata sekiranya Tuhan belum berkenan mempertemukan diriku dengan kekasih sejatiku. Tentu saja aku tak perlu merasa terpuruk dan berkecil hati. Tiada guna pula aku bermuram durja. Aku tetap bisa belajar dari kesabaran hati dan ketegaran jiwa Ayah dahulu kala.

Terus terang, aku sudah tak lagi memiliki target akan menikah di usia berapa. Terserah bagaimana kehendak Tuhan belaka. Aku siap sedia menjalaninya tanpa perlu berkeluh kesah, biarpun memang faktanya tak selalu mudah. Kunikmati serta kusyukuri semata segala pernak-pernik kehidupan ini, kendati tidak seperti apa yang pernah menjadi angan-anganku sebagai lelaki biasa di masa mudaku dahulu yang barangkali terlalu bersahaja. Tempo hari aku sekadar memiliki hasrat lekas lulus kuliah, bisa memiliki pekerjaan mapan, menikahi kekasihku, lantas membangun sebuah keluarga nan bahagia dengan karier yang cemerlang. Ternyata hidupku sungguh sarat dengan lelikuan dan bukanlah jalan lurus apalagi mulus yang mesti kulewati. Tentu saja hal itu termasuk kesendirian sebagai lelaki yang tak muda lagi hari ini. Apakah berarti kini aku telah lanjut usia?

Menurut opiniku, yang orang lain boleh setuju atau tidak, seseorang dikatakan masih muda atau sudah tua adalah sesuatu yang relatif. Bukan hal yang mutlak adanya, tergantung siapa, dalam konteks apa, dan dari mana melihatnya. Namun, bolehlah kubayangkan bahwa kelak, bila aku sempat bertemu kekasih sejatiku, lalu menikah, dan memiliki sepasang anak (ya kurasa cukup dua saja), mungkin salah seorang di antara mereka akan tertarik menyuratkan sebuah kisah berjudul sama dengan cerita pendek ini. Entah berapa tahun lagi.

Bagikan:

Penulis →

Luhur Satya Pambudi

lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun daring. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *