SAYA melihat ia bersama seorang lelaki yang bukan kekasihnya, dan mereka duduk tenang di antara kicau burung-burung yang berbeda-beda jenis. Tampaknya ada hal penting. Saya dapat melihat lelaki itu berbicara banyak, sebanyak yang ia bisa, sedangkan gadis itu lebih banyak diam sambil menekuri rumput-rumput taman kota yang nyaris hijau seluruhnya. Saya katakan nyaris hijau seluruhnya, sebab ada hal lain di matanya yang kemudian mengatakan bahwa rumput-rumput itu tak lagi hijau.
Si gadis masih murung, sementara lelaki itu terus bicara tanpa peduli awan di atasnya telah berubah menjadi mendung hitam. Rintik demi rintik kemudian menjelma menjadi hujan, memaksa mereka dan orang-orang di sekeliling mesti mengamankan diri dari hujan itu, hujan pertama di bulan kesepuluh.
“Jadi apa jawabanmu?” tanya si lelaki, sesekali melongok ke atas pada dahan-dahan beringin yang jadi tempat mereka berteduh.
“Saya tak pernah punya pikiran menikah denganmu, secuil pun tidak. Kata hati saya tak menghendakimu,” si gadis menjawab dingin.
“Mengapa?”
“Sepertinya jiwa saya sedang mengalami pasang surut dan perang berkepanjangan. Kamu tak akan mengerti.”
Lelaki itu memang tak mengerti, sebagaimana ia tahu betapa perempuan adalah makhluk yang amat sulit dimengerti. Ia mengalah, menundukkan pandang, dan dengan hati kacau mencoba memperoleh ketenangannya kembali. Namun seminggu kemudian datang sebuah kabar bahwa lelaki itu bunuh diri di atas bantalan rel kereta api. Tubuhnya hancur, berhamburan bagai rongsokan, dan tak seorang pun mengenalinya.
Si gadis kemudian menulis novel demi mengenang kebaikan lelaki yang ia tolak cintanya itu. Sambil menanti kekasih yang tak jelas rimbanya, ia menulis novel itu dengan keyakinan bahwa kekasihnya akan menemuinya begitu novel itu selesai. Di ujung jalan yang sepi dan gelap ia duduk menekur, membikin coretan yang menyerupai kerangka sebuah cerita. Tak lama kemudian ia merasa ganjil dengan kerangka yang dibikinnya sendiri. Kerangka itu, bagaimanapun juga mengantarnya pada waktu tengah malam yang beku dan senyap. Bayang-bayang lelaki yang ia tolak cintanya itu serasa bergentayangan, menguntit tiap kata yang ia tulis di atas lembar-lembar kertas. Betapa ia merasa dungu, menyesal, hingga kemudian terbersit di pikirannya melakukan ziarah pada makam lelaki itu; lelaki yang bukan kekasihnya.
…
Beberapa jam sebelum menziarahi makam lelaki yang ia tolak cintanya itu ia lewatkan dengan melanjutkan rangkaian kalimat yang sempat terbengkalai beberapa jam. Ia sampai pada bab kedua, sebuah episode di mana ia menceritakan mimpi buruk mengenai sosok seram yang menggelayut di langit-langit kamar. Sosok seram itu tak lain adalah lelaki itu, lelaki yang ia tolak cintanya, yang hadir sebagai tokoh yang tak mampu menerangkan dirinya sendiri, namun lebih banyak mengutarakan cinta pada tokoh utama. Mengapa begitu? Ia sendiri tak tahu. Sambil berusaha melupakan gambaran buruk di mimpi itu, jemarinya yang lentik menari di atas papan ketik.
Hujan turun, dan ia terus mengetik perihal tubuh yang terpisah-pisah, bola mata yang mencelat dari kelopaknya, batok kepala yang terbelah menyerupai irisan kulit nangka, dan dengung suara lalat yang mengitari mayat selama beberapa jam. Alangkah menjijikan. Tapi ia tak peduli, pun pada jam tidur malam yang tak ia ambil, yang berlalu begitu cepatnya, yang menjelma jadi suara keruyuk ayam jago di sudut-sudut yang ia kenal. Dengan demikian ia tak perlu lagi merasa takut menuliskan sosok seram dan tak tahu diri yang mampir di mimpinya itu. Lagipula ia masih memegang kata-kata neneknya, bahwa suara keruyuk ayam jago menandakan kedatangan malaikat yang membawa kabar baik mengenai rahmat Tuhan. Selagi ada Tuhan, ya, selagi ada Tuhan, mengapa mesti takut?
Ia tersenyum dalam damai yang tak tertakar. Dan jemarinya yang lentik terus menari hingga bakal novelnya memasuki bab ketiga. Serasa tak ada apa-apa di bab ketiga–kosong dan hampa mengekor di setiap rangkaian kalimat, seolah menunggu kejutan di bab berikutnya. Lagipula bab ini adalah tentang kekasihnya, yang dua tahun lebih meninggalkannya tanpa secuil pun kabar. Ada apa dengan kekasihnya? Ia tak tahu, kecuali detik-detik saat minta diri melakukan demonstrasi ke ibukota. Saat itu ia tahu ibukota sedang memanas, beberapa orang dari golongan mahasiswa dan aktivis menuntut presiden mundur dari jabatan yang diemban. Ia tak sampai menuliskan perihal itu, atau belum. Sambil menggeser-geser duduk ia memikirkan fantasi dua anak manusia yang dimabuk cinta, mengobarkannya dalam nyala api dalam tubuhnya sendiri, hingga ia sadar betapa kalimatnya terlampau berlebihan. Sungguh di luar dugaan, dan ia tak menginginkannya.
Sebuah ketukan dari luar kamar sedikit mengejutkannya. Ibunya memberitahu bahwa sarapan telah siap. Ia bergegas, meninggalkan komputer dan hawa hangat sinar matahari yang menerobos melalui celah ventilasi. Seguyur air dari bak mandi ke wajahnya cukup untuk membikin terbangun, cukup pula sebagai penyegar kepenatan di matanya. Ia tak banyak basa-basi dan buru-buru menyantap menu sarapan. Tak perlu basa-basi pula menanggapi sindiran ayah dan ibunya tentang waktu menikah, tentang calon suami yang layak jadi rekomendasi, dan tentang umurnya yang telah masuk dalam “kategori perawan tua”. Ia bergeming, pura-pura melahap acar dan nasi goreng yang akan habis dalam lima sendokan sebelum akhirnya berucap tegas, “Saya hanya menunggu Burhan Suseno. Cuma dia yang akan menikah dengan saya. Titik.”
…
Ia tak benar-benar tahu apa yang terjadi dengan Burhan Suseno, hanya bayangan lamat-lamat dalam mimpi yang kemudian membuatnya yakin bahwa kekasihnya itu masih hidup. Kehidupan penuh sengkarut dan penuh ancaman sama sekali tak masuk hitungan, kecuali sengkarut baling-baling kipas angin di langit-langit kamar masih berpusing kencang kala ia terbangun dari tidur. Ia bangkit dan bergerak beberapa langkah, menghampiri sebuah remot dan menekan tombol on/off.
Sebuah pemberitaan mengenai ibukota dari sebuah media massa kemudian sampai di televisi yang teronggok di ruang keluarga. Napasnya yang semula tenang berubah tak teratur, dan ia seperti terserang asma dadakan. Ada firasat tak baik, membikin degup jantungnya turut menaruh kekuatiran tak tertolong sebelum akhirnya ia memutuskan mengganti kanal ke acara film kartun. Ia tak kuat berlama-lama dengan tayangan berita itu, sebab ada seratusan angka orang mati yang entah siapa, yang justru membikinnya bergidik dan memilih tayangan film kartun. Tapi tak berapa lama tayangan film kartun juga berganti dengan berita mengenai kerusuhan di ibukota. Ia merasa lebih baik mematikan televisi itu dan berjalan-jalan ke luar rumah dengan sepeda motor tuanya.
Udara siang itu sedang baik, tapi ia tidak. Ia tetap saja tak tenang berkitar di jalan-jalan kota yang riuh dan padat. Bayang-bayang kekasihnya muncul dan tenggelam, bertingkah liar dan jinak di waktu bersamaan, membikinnya tak tahan dan buru-buru putar haluan kembali ke rumah. Begitulah yang ia lakukan di tiap hari, hingga ia lupa bahwa ia membutuhkan teman bicara. Namun ia tak juga membuka mulut pada siapa pun, memilih bungkam pada rahasia-rahasianya, tapi di balik itu semua ada rindu teramat besar yang tak tertampung dalam hati dan novel yang sedang ia garap.
Sebuah potret kekasihnya yang berwarna kelabu ia taruh di dekat monitor untuk sesekali ia pandangi sambil mengetik bab ketiga yang belum juga rampung. Pose kekasihnya di atas sepeda motor Yamaha 80 mengajaknya mengembara ke sebuah masa silam yang manis, kala mereka belum genap berusia dua puluh. Sepeda motor dalam potret itu sempat mengantar mereka ke sebuah meuseum demi mencari-cari dokumen sejarah, juga mengagumi batu-batu yang disebut oleh Eugene Dubois sebagai fosil manusia purba pertama. Mereka bergembira meski hanya berkencan di sebuah museum. Dua hati yang saling tertawan itu kemudian mengikat janji di museum itu, membikin ikatan lebih rapat dan berjanji akan menikah di kemudian hari.
Selain memperoleh potret berwarna kelabu yang nyaris usang, si gadis juga memperoleh anak anjing sebagai hadiah di hari ulang tahunnya. Anak anjing yang cukup jinak itu langsung menghambur manja pada pemilik barunya. Mereka bahagia, juga anak anjing yang diberi nama Cakil itu. Sejalan dengan perubahan waktu, Cakil bukan lagi anak anjing lagi, ia tumbuh sebagai anjing Pitbull yang kekar nan mengagumkan. Dan selagi menunggu Burhan Suseno pulang, si gadis turut menuliskan kisah mengenai anak anjing yang tumbuh menjadi anjing dewasa itu.
…
Nyatanya Burhan Suseno sedang melalui masa-masa getir, bahkan yang paling getir dalam hidupnya sebagai manusia. Pengkhianatan, penyergapan, dan hukum yang centang-perenang menjadi makanan yang mesti ia santap tiap hari di ibukota. Ibukota memang keji, keluhnya, tapi ia memutuskan tak akan mundur sebelum presiden yang memerintah lebih dari sepuluh tahun itu turun dari jabatannya. Sesaat teringat pada tekadnya, ia meraba-raba kantong celana, mengambil sebatang rokok dan menyulut ujungnya. Jembatan yang jadi tempatnya bersandar tiba-tiba bergetar membentuk sebuah irama. Seratusan orang berlari lintang pukang demi menghindari pentungan dan semprotan gas air mata. Seketika itu juga ia ikut berlari dan membuang rokok yang masih menyala merah pada ujungnya.
Ia, bersama orang-orang tak dikenal, membelok ke sebuah gang sempit, membelok lagi dan terperosok ke sebuah selokan. Tak lama kemudian ia berlari lagi dengan membawa aroma busuk selokan, tapi ia tak peduli. Ia lalu mampir ke sebuah warung untuk sekadar membasahi kerongkongannya dengan teh tawar. Sambil menunggu situasi mereda, ia mengipas-ngipas diri di warung itu. Namun pemilik warung kemudian mengusirnya karena bau selokan di ujung celananya bisa mengganggu pelanggan yang lain. Ia tak bisa mengelak, hanya pasrah dan pergi tanpa tujuan pasti.
Langkah kakinya hanya membawanya berkitar atau sesekali menuruti trotoar. Lalu tak berapa lama ia sadar, bahwa ponselnya telah hilang, atau bisa juga dicopet. Sejak saat itu ia tak ada kesempatan menghubungi kekasihnya, juga kawan-kawan serombongan yang tiba-tiba menghilang kala ia buang air sebentar di sebuah WC umum di Stasiun Pasar Senen. Ia mencari-cari ponselnya, juga kawan-kawan serombongan yang berjumlah sepuluh orang. Tiga hari lebih tiga malam lebih tiga jam ia mencari hingga diwartakannya sebuah kabar bahwa presiden akan terbang ke mancanegara.
“Sungguh gila. Nalar pengecut begitu mengapa harus dimiliki seorang presiden?” gerutunya dalam hati.
Ia menendang-nendang kaleng rombeng di sebuah gang. Hingga kemudian terpikir di benaknya untuk bergabung ke sekretariat mahasiswa yang akan melakukan demonstrasi ke gedung parlemen. Maka bergabunglah ia, disusul beberapa aktivis yang dikenalnya baru-baru saja. Mereka mengatur sebuah metode demonstrasi yang massif dan terstruktur sebagaimana yang diajarkan di buku-buku yang memuat cerita para demonstran. Tanya-jawab dan diskusi berlangsung hingga hampir pagi. Dan begitu pagi memasuki pukul tujuh, mereka semua bangun dengan muka pucat dan mengantuk. Tapi peduli apa, mereka tetap berangkat ke gedung parlemen tanpa memerlukan mandi, hanya cuci muka dengan air ledeng yang sering mampat.
Halaman gedung parlemen telah penuh sesak kala mereka tiba. Puluhan polisi berjaga dengan senjata lengkap, juga pagar kawat berduri yang melintang sepanjang puluhan meter. Ada keangkuhan di sana, tapi ratusan pendemo itu tak surut sedikit pun. Mereka tetap menuntut pimpinan parlemen membawa pulang presiden, menjemputnya, atau bila perlu menyeretnya. Hidup atau mati. Pimpinan parlemen mengiyakan tuntutan itu, lalu menandatangani sebuah surat perjanjian bermaterai. Namun tak berapa lama kerusuhan pecah, tak diketahui sama sekali apa pemicunya. Puluhan demonstran yang dianggap bikin rusuh langsung dihajar dan dipukuli tanpa ampun. Seorang polisi yang berbadan paling besar mampu melawan tiga orang sekaligus, dan kerusuhan itu merembet hingga melibatkan seluruh demonstran.
Burhan Suseno yang tak ada andil bikin rusuh sempat terkena pentungan di rahang kiri, membikin dua biji gerahamnya rontok. Dan beberapa meter dari tempatnya, seorang terinjak-injak hingga sesak napas dan mesti dilarikan ke klinik. Kerusuhan bertambah seru, serupa film berlatar waktu masa perang Sparta melawan Athena. Panas yang membakar dari atas turut membikin hati jadi panas mendidih. Satu-satunya yang menghentikan perkelahian itu adalah adzan Dzuhur yang bergema dari masjid Istiqlal. Adzan yang terlantun merdu sekira lima menit itu pula yang kemudian membikin para polisi dan para pendemo sadar, bahwa mereka telah diadu domba oleh kekuasaan yang korup dan despotis. Timbul pula penyesalan dari kedua belah pihak, sebab kemudian mereka mendapati dua puluh tiga orang meregang nyawa saat perkelahian itu mencapai titik klimaks
“Kita semua bersalah, Pak Pulisi. Kita membikin dua puluh tiga orang mati sia-sia,” ucap Burhan Suseno sambil memegangi rahangnya yang ngilu.
“Tidak, anak muda. Ada yang tiba-tiba bikin rusuh di barisan belakang. Perusuh itulah yang bersalah,” jawab si polisi yang bertubuh paling besar, yang di dada kanannya bertulis nama A.Suwandi.
Tak lama setelah berucap demikian, mereka kemudian berdamai. Demonstrasi dilanjutkan keesokan harinya dengan suasana lebih tertib. Juga keesokan harinya, hingga total tiga hari itu semua dapat dikatakan baik-baik saja. Namun presiden yang dinanti dari safarinya di mancanegara belum juga menampakkan batang hidung. Pimpinan parlemen dibikin bingung, lalu tak berapa lama ia melarikan diri dengan helikopter.
Di antara ratusan masa yang jengah, Polisi A.Suwandi secara mengejutkan menarik lengan Burhan Suseno. Di bawah pohon ketapang mereka bicara empat mata sebelum kemudian polisi berbadan gempal itu berbisik, “Dengar, anak muda, kalian sudah berdemo tiga hari. Sekarang saya punya tawaran untuk kalian. Siapa tahu kita sama-sama bisa untung.”
Burhan Suseno dibikin heran sesaat, namun A.Suwandi melanjutkan bicaranya, “Sesungguhnya saya sudah jenuh mengawal dan mengawasi demo ini. Anak buah saya juga. Bagaimana jika mulai besok kamu dan teman-temanmu menduduki gedung parlemen itu? Duduki saja. Tujuh puluh orang saya rasa cukup.”
“Tapi…”
“Pikirkanlah baik-baik. Saya menawarkan itu demi kebaikan kalian juga. Jangan gusar, saya akan kasih tahu cara melewati pagar tinggi itu. Dengan demikian kamu bersama tujuh puluh orang bisa menguasai kantor parlemen sembari menunjukkan pada Pak Presiden bahwa negara ini memerlukan angin segar, bukan pemimpin yang korup.”
“Tidakkah itu akan merepotkan Anda, Pak Pulisi?”
“Tidak sama sekali. Saya bisa berkompromi dengan anak buah-anak buah yang setia itu, lalu melapor ke atasan bahwa kekuatan polisi tak cukup membendung aksi mahasiswa. Dengan laporan macam begitu atasan saya pasti percaya. Sekarang saya serahkan padamu.”
“Baik, Pak Pulisi. Saya terima tawaran itu. Saya akan kabarkan ke kawan-kawan.”
“Bagus. Saya salut dengan perjuanganmu dan kawan-kawan mahasiswa. Semoga berhasil.”
Tak lama setelah itu para demonstran membubarkan diri menuju markas masing-masing. Tak ada satu pun tersisa di halaman gedung parlemen, kecuali pagar kawat berduri dan sampah-sampah sisa makanan dan puntung dan abu rokok yang diterbangkan angin. Burhan Suseno berjalan dengan gembira dan bersiul-siul di sepanjang jalan menuju halte.
Selagi menunggu angkutan, ia memakan sisa rotinya tadi malam. Ia lalu membagi roti itu dengan seorang peminta-minta. Mereka mengobrol tanpa memperkenalkan diri masing-masing. Si peminta-minta yang tua itu kemudian memberinya sebuah peringatan yang justru lebih mirip teka-teki
“Saya dapat lihat dari matamu bahwa kamu sedang menempuh sebuah perjuangan berat, anak muda. Jangan buru-buru senang, mungkin cita-cita perjuanganmu baru akan terwujud dua tahun lagi! Dan jangan kaget jika dalam waktu dekat ini ada orang yang mengkhianati perjuanganmu!” ucap si peminta-minta tanpa memandang lawan bicaranya.
Burhan Suseno merenungi kata-kata itu cukup lama, namun nihil saja yang ia peroleh. Ia hendak meminta penjelasan, namun si peminta-minta telah berjalan cukup jauh. Ia dibikin bingung dan terus berpikir, bahkan hingga angkutan yang ditunggunya datang dan membawanya hingga depan kantor sekretariat mahasiswa. Kepada siapa saja yang ada di kantor sekretariat itu ia hendak sampaikan gagasan menduduki gedung parlemen yang ia terima belum lama tadi. Namun tak seorang pun menampakkan batang hidung hingga tengah malam. Dengan demikian ia batal berdiskusi dan menyusun rencana pendudukan gedung parlemen.
Di atas karpet ia berbaring seorang diri, menerawang langit-langit yang dicokoli sarang laba-laba. Tak berapa lama terdengar sebuah ketukan yang kemudian menjelaskan semua kegusarannya. Ia digelandang oleh tiga orang berkacamata hitam. Ia mendapat pukulan di bagian kepala dan ulu hati. Ia tak sadarkan diri dalam beberapa menit, sebelum akhirnya tersadar dan merasa terganggu dengan suara derum mobil dan klakson yang menyayat hati. Mulutnya yang terbekap dan matanya yang terliliti kain hitam tak dapat mengetahui sedang berada di mana dirinya. Ia hendak memaki, namun urung. Dalam sengkarut dan bau minuman keras yang membikin mual ia sempat tersenyum beberapa bentar, sebab setidaknya ia telah menulis sebuah catatan di secarik kertas mengenai rencana pendudukan gedung parlemen. Barangkali kertas itu masih berada tak jauh dari rak sepatu di dalam ruang sekretariat mahasiswa.
Sejurus mobil itu membunyikan klakson, kemudian berhenti dan memaksanya keluar. Tiga orang yang belum lama memukulinya itu lalu menendang-nendang tubuhnya, memaksanya berjalan dalam arahan mereka. Sambil berjalan terseok ia teringat pada si tua peminta-minta sambil bergumam dalam hati, “Anda benar, Pak Tua. Ada orang-orang yang berusaha mengkhianati cita-cita perjuangan.”
…
Ia membawa Cakil, lalu menyuruhnya menunggu di gerbang tempat pemakaman. Pitbull yang makin gemuk itu menurut sambil mengibas-ngibas ekornya yang diserang sekawanan nyamuk. Si gadis dengan dandanan biasa menyusuri nisan-nisan yang bisu dan tampak lembab di Sabtu pagi itu. Langkahnya yang lambat tiba juga di makam lelaki yang ia tolak cintanya. Tanpa air mata setetes pun ia menaburkan bunga di atas makam itu, berdoa sekadarnya, dan melontar kata-kata
“Saya telah tepati janji saya sendiri, mengunjungi kuburmu dan berdoa. Sekarang saya harap kamu memperoleh ganjaran yang setimpal di alam sana. Kamu telah mengkhianati kekasih saya. Kamu suruh dia berangkat demo, sementara kamu sendiri tak berangkat. Ah, alangkah licik pikiranmu, senior tengik! Sekarang saya pun tahu, kamu juga adalah pendukung presiden itu. Kamu sama sekali tak menghendaki presiden itu diganti, sebab salah satu anaknya adalah sahabatmu, yang dengannya kamu pernah berfoya-foya dan berpesta hingga lupa pada penderitaan. Saya menderita. Kekasih saya menderita. Orang-orang menderita. Tapi kamu kelewatan. Sungguh saya kecewa padamu. Tapi saya bisa apa? Kamu sudah mati, dan mulai sekarang jangan ganggu saya lagi dengan mimpi-mimpi buruk itu! Saya akan tenang, setenang saat Burhan Suseno menemani saya. Saya akan tenang menunggunya kembali.”
Seusai berucap demikian ia pergi, membiarkan makam itu membisu seperti seharusnya.
…
Ia yakin bahwa Burhan Suseno belum mati, seyakin ia pada mimpi bahwa kekasihnya itu akan pulang hari ini. Ia telah siapkan apa saja yang diperlukan demi menyambut kedatangan kekasihnya. Dandanannya yang anggun, ditambah bau parfum yang tak putus-putus membikin ayah dan ibunya bertanya, tapi ia tak serta-merta menjawab, kecuali dengan sebuah senyum yang terus merekah seperti bunga-bunga.
“Satu jam lagi,” ucapnya selepas menengok arloji yang melingkar di tangannya.
Ia bernyanyi-nyanyi bahagia selagi menunggu, menyembunyikan hatinya yang haru-biru sambil sesekali memikirkan kata apa yang ia ucapkan untuk menyambut kembalinya sang kekasih. Dirangkainya kata demi kata sebagaimana ia pernah membikin novel di malam-malamnya yang sempat diisi mimpi buruk. Semakin berpikir, ia semakin tak tahu kata-kata. Maka ia abaikan pikirannya dan duduk tenang di ruang tamu sambil terus memperhatikan halaman depan rumahnya. Tak ada siapa-siapa, dan kedatangan kekasihnya membutuhkan setengah jam lagi. Ia tersenyum, tertawa kecil, menangis, dan mengulang-ulang tiga hal itu tanpa peduli pada sekeliling. Ia bahkan lupa memberi makan untuk Cakil di sore hari itu. Ia lupa, atau belum sempat, dan itu sama saja bagi Cakil.
Lalu lamat-lamat terdengar suara mobil memasuki halaman rumahnya, membikinnya buru-buru bangkit dan membuka pintu. Mobil berwarna putih dengan garis merah-biru itu datang tepat pukul empat.
“Betulkah ini rumah Nona A?” tanya seorang yang keluar dari mobil.
“Betul, Pak.”
“Saya mau mengantarkan …eee…”
“Kekasih saya, Pak?”
“Kekasih Anda?” tanya si kurir, merasa dibuat bingung.
“Jawab saja, Pak. Bapak sedang mengantarkan kekasih saya?”
“Saya tidak kenal dengan kekasih Anda. Saya kemari hanya mau mengantarkan itu,” tunjuknya ke arah mobil yang terparkir.
Tak berapa lama keluar seorang lelaki memanggul sekardus besar yang entah apa isinya. Dua kurir dari perusahaan jasa antar paket itu pun sama tak tahu. Dan si gadis tak kurang dibikin penasaran.
“Tolong tandatangan di sini, Nona!” ucap si kurir pembawa kardus.
Gadis itu membubuhkan tandatangannya sebagai tanda terima. Tak berapa lama dua kurir itu pergi, membiarkan si gadis mengangkat kardus sekira tiga puluh kilogram itu seorang diri. Lalu tanpa memberitahu ayah dan ibunya, gadis itu merobek-robek kardus sehingga menemukan sebongkah patung setengah badan yang berbahan batu pualam. Dengan kecermatan tinggi ia meneliti wajah patung itu, memang benar bahwa wajah patung itu nyaris persis dengan wajah Burhan Suseno. Ia meraba-rabanya, mengelus-elus bagian bibir dan hidung dan pipi, hingga kemudian memutuskan untuk memeluk patung itu tiap malam. Dan semenjak kedatangan patung itu, ia sering telat makan dan sering terdengar mengobrol seorang diri.
Sesungguhnya sayalah yang punya ide mengiriminya patung itu, bukan tanpa alasan. Saya menaruh iba padanya, sebab ia terus menerus menunggu kekasihnya yang sebenarnya telah mati di sebuah kamar penyiksaan, tepatnya dua hari setelah diculik tiga orang tak dikenal itu. Saya tak bisa membiarkannya merana dan linglung oleh perasaan kehilangan yang kelam. Maka kemudian saya memasuki mimpi seorang pematung terkemuka, menguasai alam bawah sadarnya, dan memberinya ruang untuk memahat batangan batu pualam hingga membentuk wajah manusia, wajah Burhan Suseno. Dengan demikian saya merasa terbebas dari beban moral yang menakutkan itu, juga beban moralnya, yakni beban moral menunggu kekasih yang selama dua tahun tak pulang dan tak berkabar apa pun.[]