Sejuntai Kelabu, Sejuta Haru


Memorabilia

Di penghujung teluk yang kikuk,
Aku duduk bersama himpitan ombak yang beranak pinak.

Menanam kelam dalam-dalam,
Pada sebuah palung yang linglung,
Yang bingung tentang nasib sebuah bangsa.

Kau akan duduk disana,
Pada sebuah gubuk kecil yang gugup,
Sembari merajut mimpi-mimpi bekas belas kasihan karang-karang.

 Darimana datangnya taufan dan rayuan?
 Darimana datangnya petir dan ketir?
 Darimana datangnya gelombang dan bimbang?
Lalu kita kan menimbang semuanya,
 Bersamaan dengan pasir yang hitam,
 Bersamaan dengan anemone-anemon yang terlantar,
 Bersamaan dengan botol surat yang terbuang.

Darimana datangnya petir dan ketir?
Darimana datangnya gelombang dan bimbang?
Lalu kita kan menimbang semuanya,
Bersamaan dengan pasir yang hitam,
Bersamaan dengan anemone-anemon yang terlantar,
Bersamaan dengan botol surat yang terbuang.

Dengan harapan kita bisa memberikan persembahan
kepada mercusuar tua yang selama ini kita sembah.

Kasihku,
Mari sembahyang di hadapanNya,
minta petunjuk melalui cahayaNya yang redup,
kemana kita akan pulang?
Ke palung?

1 Januari 2020


Kabar Perang

Pada suatu masa yang hitam kelabu
Dan langit yang abu-abu
Aku menantimu dalam parit-parit rindu
Ragu dalam hati
Kelu dalam sunyi

Aku menantimu dalam parit-parit itu
Bersama semak belukar
Pagar kawat yang beradu
Para serdadu melenguh, pesakitan dan berdesakan
Sama-sama menanti kabar baik,
Perang yang berakhir,
Ramai-ramai menyalakan api
Menolak berita duka
Menyeka air mata

12 Oktober 2019



Perihal Kepulangan

Aku tidak ingin pulang,
Dengan lamun,
Dan bertemu patung-patung
Yang bergelantungan disepanjang pohon besi,
Yang hanya akan sadar
Dari teguran lampu petromax

Aku tidak ingin pulang,
Dengan cemas,
Akan rasa lunglai yang menjalar
Dari alis yang tipis,
Hidung yang tak beranjak
Dari bayang-bayang khayangan

Aku tidak ingin pulang,
Dengan rasa kalut,
Lalu takut yang berbunga-bunga,
Mirip picisan receh yang cuma-cuma
Bergelut dengan gincu dan cumbu

Aku tidak ingin pulang,
Dengan rindu,
Karena rindu takkan lagi disambut oleh petang,
Sudah tak punya tempat di tiap sudut ruang,
Tidak ada nyali di tiap jengkal kenang.

Aku hanya ingin berpulang,
Tinggal tuk meninggal.

23 Februari 2019



Menjinjing Masa Lalu

Kujahit rasa pahit
Kusulam masa kelam
Entah dimana kan berhenti parit
Karena malam sudah terlanjur padam

Kuselam langit kosmik
Kutanggung awan cabik
Yang mengandung tanda tanya besar
Sampai mana kan berserah rasa gusar

Kupijak tanah gembur
Kupegang lamunan kabur
Menjinjing masa lalu
Menjunjung harapan pilu

9 Agustus 2019



Kamar Gelap

Hari ini aku mengecat
Kamarku yang putih,
Wajahku yang pucat,
Senyumku yang palsu,
Dengan cat warna gelap kelabu

Sejuntai kelabu yang bau
Sejuta haru yang baru
Bekas noda-noda yang tabu
Lekas ku koyak tanpa ragu

Kotoran pada dinding yang miring
Kau bisa bilang;
Air mata yang penuh tanda tanya,
Air ludah yang penuh tanda seru,
Air kencing yang penuh tanda kutip

Bersama warna gelap kelabu
Aku harap bisa menenggelamkan diri
Ke dalamnya
Dan menjadi abu
Surat bisu untuk kekasihku

22 September 2020



Pada Sebuah Pekarangan

Menggali tubuhku
Di pekarangan rumah yang penuh lumpur
Di dapur,
Panci berisi lumpur sudah mendidih
Begitupula bapak dan ibu di ruang tamu
Menyeduh kopi
Membiarkan api
Membakar dapur
Mereka sengaja membenamkan aku di pekarangan
Meninggalkan segelas air
Mewariskan segenggam tanah

 “Kami tak sengaja menanam kamu”

Aku tenggelam di dalam pekaranganku
Api sudah di ruang tamu.

22 September 2020



Bagikan:

Penulis →

Ida Bagus Uttarayana Rake Sandjaja

Biasa dipanggil Uta. Lahir di Singaraja, 24 Maret 1996. Menghabiskan masa kecilnya di Madiun. Sekarang berdomisili di Bandung. Bersama beberapa kawan mendirikan Teater Titik Universitas Telkom pada tahun 2014. Sekarang aktif di Teater Samana, sebuah kelompok teater independen yang diprakarsai pada tahun 2019. Beberapa puisinya termuat di media daring seperti Penakota.id. Puisinya yang berjudul “Pada Malam Yang Tinggal Separuh” terpilih dan dimuat dalam buku antologi Narasi Baru, Festival Literasi Tangerang Selatan 2018. Pada tahun 2021 nanti, salah satu puisinya yang berjudul “Di Pasar Ria” akan diterbitkan dalam sebuah antologi puisi oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *