1. Kedelai yang Tumbuh di Dada
Mbah Martono memandang sejenak wajah istrinya yang sedang sibuk menyusun dua puluh lima kantong plastik berisi tempe-tempe asli buatan mereka sendiri saat ia tengah mengikatkan keranjang rotan di boncengan belakang sepeda tuanya dengan karet hitam panjang yang awalnya adalah sebuah ban dalam sepeda yang sudah bocor. Ia selalu merasa senang melihat wajah perempuan yang kini menua bersamanya itu. Meski hari ini pun ia ragu apakah tempe dagangannya akan laku atau tidak. Setidaknya ia masih memiliki semangat untuk berusaha. Apa lagi pada situasi yang terjadi saat ini. Di mana wabah corona yang sangat berbahaya itu semakin merajalela, yang mengharuskan semua orang tetap berada di rumah, menjaga jarak bertemu dan menghindari kerumunan. Hal itu sebetulnya membuat ia cemas, karena ia akan sulit menjajakan barang dagangannya.
“Sudah, Pak. Pas, dua puluh lima,” kata istrinya sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan ya, Pak. Tetap pakai maskernya.”
“Iya. Doakan saja hari ini tempe kita laku. Ya setidaknya, walau tidak habis tetap ada yang beli.”
Istrinya mengaminkan harapan Mbah Martono. Perempuan itu sangat memahami betapa sulit perkara yang dihadapi lelaki yang menjadi teman hidupnya itu. Ia ingin ikut berdagang, tapi dilarang. Karena ia juga punya tanggung jawab di rumah. Apa lagi dalam situasi yang sedang tidak baik seperti sekarang. Mbah Martono sudah tentu tak ingin melihat istrinya bersusah payah. Oleh sebab itu, keduanya memutuskan untuk mengurangi jumlah bungkus tempe yang akan dijual. Biasanya Mbah Martono menjual hingga 40 bungkus tempe. Tapi hari terakhir dengan bawaan segitu, yang laku hanya sepuluh bungkus. Sisanya dimasak sendiri dan menunggu siapa tahu ada tetangga yang mau membeli.
Namun beliau tidak bersedih meski rasa kecewa kerap menjalar di dadanya. Ia tetap semangat bersama istrinya untuk mengolah kedelai, menabur ragi, dan membungkusnya dalam daun pisang hingga nanti menjadi tempe yang bagus. Ia percaya saja pada kuasa Tuhan bahwa selalu ada jalan keluar yang baik untuk setiap masalah yang dihadapi manusia.
Mbah Martono terus mengayuh sepedanya sambil membunyikan klakson buatannya yang berdering khas. Menempuh jalan lurus dan tiap belokan yang kini semakin sepi. Padahal biasanya saat dering sepedanya berbunyi ibu-ibu akan memanggilnya untuk membeli tempe dagangannya sampai habis. Mereka bilang tempe buatan Mbah Martono itu enak dan tahan lama. Ditambah lagi ukuran tiap tempe yang dibungkus lebih besar, padat, dan harganya murah. Hanya lima ribu rupiah per kantong plastik berisi delapan bungkus tempe. Kadang Mbah Martono sampai kewalahan dan sedikit mengecewakan pelanggannya saat dagangannya sudah habis. Namun sekarang, sejak pandemi corona melanda semuanya berbeda. Bukan tidak ada yang membeli, tapi berkurangnya penghasilan yang diterima Mbah Martono itu yang membuat keadaan jadi rumit.
Para pembeli juga sering bertanya, kenapa Mbah Martono harus repot-repot berjualan keliling. Sudah tua sebaiknya berada di rumah bersama keluarga saja, biarkan anaknya yang berdagang. Apa lagi pada situasi darurat seperti sekarang. Mbah Martono sebetulnya sedih mendengar pertanyaan itu. Tapi ia pura-pura semuanya baik-baik saja. Padahal hatinya dipenuhi akar yang membuatnya gelisah.
Mbah Martono hanya punya seorang anak. Laki-laki. Berusia 37 tahun. Ia tumbuh dewasa. Tapi berbeda dari anak lelaki lainnya. Anak lelakinya itu mengidap kelainan mental dan sudah pasti tidak bisa hidup mandiri apa lagi harus sampai disuruh berdagang keliling. Tubuh anak lelakinya pun kurus dan cara berkomunikasinya tidak mudah dimengerti orang lain kecuali Mbah Martono dan istrinya. Awalnya Mbah Martono kecewa, berusaha keras ingin punya anak lagi. Namun Tuhan berkata lain. Semakin ia berusaha, semakin kecil ia memiliki keturunan lagi. Jadi, satu-satunya cara agar hidupnya bahagia adalah menerima keberadaan anak lelakinya dengan ikhlas. Dengan begitu ia memiliki alasan untuk bertahan hidup. Demikian pemikiran Mbah Martono.
Dan ketika hari sudah menjelang pukul dua belas siang, tempe dagangan Mbah Martono baru laku tujuh bungkus. Sisanya masih tertinggal dalam keranjang rotan. Dadanya mulai dipenuhi rasa tidak percaya diri dan kecewa. Tapi ia berusaha tegar dengan mengingat Tuhan lewat zikir pendek yang dlantunkan pelan. Sampai ketika waktu zuhur mulai masuk dan Mbah Martono hendak menuju masjid terdekat, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depannya.
“Kakek, tunggu sebentar.” Seseorang keluar dari pintu mobil. Perempuan berjilbab dan mengenakan masker wajah merah muda itu menghentikan langkah Mbah Martono. “Kakek dagang tempe, ya?”
“Iya, Bu.” Mbah Martono menjawab sambil mengangguk.
“Bagaimana kalau tempenya saya borong semua, Kek?” tawar perempuan itu, membuat Mbah Martono kaget. “Kebetulan saya sedang butuh tempe buat usaha catering saya. Agak susah mencarinya saat darurat corona begini. Bagaimana, Kek?”
Mbah Martono tersenyum lebar dan merasa sangat bersyukur Tuhan telah memberi jawaban atas harapannya. Ia tidak akan menolak pembeli yang mau memborong dagangannya ini. Segera ia membantu perempuan muda itu memasukkan bungkus-bungkus tempe ke dalam mobil belakangnya.
“Terima kasih ya, Bu.” Kata Mbah Martono saat menerima uang dari perempuan itu. Bahkan jumlahnya pun sengaja dilebihkan untuk sekalian bersedekah. Perempuan itu hanya tersenyum dan bergegas pergi.
Dada Mbah Martono sekarang dipenuhi rasa syukur, harapan, dan semangat baru. Seakan kedelai-kedelai dalam dadanya mulai berkecambah untuk tumbuh menyongsong matahari. Wajah istri dan anak lelakinya mengambang di langit biru cerah.
***
2. Menerbangkan Seekor Burung
Pria berseragam serba putih, bersarung tangan dan masker yang menutup sebagian wajahnya, itu mulai kesal saat mendapat penolakan keras dari perempuan muda bertampang kusut dengan rambut awut-awutan di satu halte yang kondisinya pun sama kusutnya dengan perempuan gila itu. Ia mulai tak sabar dan ingin marah. Bahkan semakin terpancing emosinya saat temannya yang juga berseragam lengkap cekikikan karena merasa dirinya melakukan hal lucu di hadapan dua polisi yang mengawal mereka.
“Kita ke sini apa hanya ingin membuatmu menertawakanku?”
“Tidak. Tidak. Maaf, aku cuma merasa lucu saja.”
“Tapi tidak lucu, kan?”
“Iya, tidak lucu. Tapi kita kan sudah sering begini. Kenapa harus marah? Perempuan itu gila.”
“Ya, sudah. Kamu coba saja!”
Akhirnya temannya mendapat giliran merayu perempuan gila itu agar mau naik ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit jiwa. Tapi hasilnya sama. Perempuan gila itu menolak bahkan marah. Perempuan itu sampai menjambak rambut temannya.
“Haha. Sudah tahu, kan, bagaimana rasanya merayu perempuan gila satu ini.” Ia menertawakan temannya yang kini tampak merana menahan sakit. Sampai akhirnya dua polisi ikut menangani, si perempuan tetap tidak mau.
Entah apa yang membuat perempuan gila ini sulit diajak kompromi. Biasannya orang gila mudah dirayu, asal rayuannya membuat nyaman. Tapi yang satu ini agak berbeda. Ia seperti ingin ikut, namun menolak karena seperti sedang menunggu seseorang di ujung jalan. Matanya selalu tertuju pada jalan itu. Padahal andai perempuan gila ini tahu kalau negeri sedang dalam masa sulit menghadapi pandemi virus corona, ia pasti menurut. Namun itu jelas tidak mungkin dapat disadarinya. Kalau ia sadar pun, tidak mungkin juga sekarang ia berpetualang sebagai orang gila, bukan? Lagi pula, siapa sebenarnya yang ia tunggu?
“Nggak mau! Nggak mau!” Begitu terus teriakannya.
“Saya nyerah, Pak!” Ia mengangkat tangan di hadapan kedua polisi yang mengawal. “Sudah, kita paksa saja.”
Karena merasa tak ada solusi lagi, kedua polisi itu memutuskan untuk main paksa. Ia menarik tangan perempuan gila itu kuat-kuat dan didorong naik ke mobil. Namun, seketika semua berbeda saat perempuan itu meledak tangisnya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah jalan yang sejak tadi ditatapnya.
Kedua petugas rumah sakit jiwa bersama dua polisi tersebut langsung menoleh dan terkejut saat melihat siapa yang sedang dilihat perempuan gila itu. Seorang lelaki tua bersepeda dengan keranjang rotan di boncengan belakangnya.
“Maaf, Bapak kenal perempuan gila ini?” tanya salah seorang polisi ketika bapak tua bersepeda itu mendekat sambil menaikkan sebelah alisnya. Sementara si perempuan gila merasa senang. Tersenyum tak sudah-sudah.
“Saya tidak kenal anak perempuan ini, Pak. Tapi orang-orang memanggil dia Sela. Namanya Sela. Dia sudah di sini sekitar lima bulan.”
“Terus, kenapa saat melihat Bapak dia begitu senang? Saya pikir Bapak adalah orang tuanya.”
“Bukan, Pak. Saya bukan orang tuanya.” Pak tua itu tersenyum sambil menurunkan penyangga sepedanya. “Tapi sudah biasa kalau dia menunggu saya.”
“Maksudnya?” tanya salah seorang petugas rumah sakit jiwa yang tadi dijambak.
“Begini, Pak,” Pak tua itu mulai menjelaskan. “Setiap saya lewat sini, saya selalu membawa makanan buat dia. Walau cuma sedikit tapi dia senang. Dia ini gila, tapi tidak mengganggu orang lain, Pak. Jadi ya saya senang juga bisa berbagi sama dia. Kasihan.”
“Oh, begitu.” Polisi itu mengangguk paham. “Kami sedang melakukan penertiban, Pak. Menjaring orang-orang gila yang berkeliaran untuk ditempatkan di rumah sakit jiwa. Mengingat persebaran virus corona meningkat tajam. Jadi kami harus membawa dia pergi dari sini.”
“Ya tidak apa-apa, Pak. Malah senang akhirnya dia bisa punya tempat yang bagus.”
“Kalau begitu, bisa tolong kami beri pemahaman kepada perempuan ini? Sepertinya dia sudah kenal sekali dengan Bapak.”
“Bisa, Pak. Sebentar.”
Pak tua itu memastikan sepedanya aman tidak roboh, lalu melangkah menuju perempuan gila yang masih saja tersenyum di mobil bak terbuka sembari menyerahkan sebungkus makanan yang tadi dibelinya. “Sela, kamu harus ikut sama bapak-bapak ini. Mereka orang baik yang akan membawamu ke tempat yang bagus sekali. Di sana ada banyak keluarga burung merpati seperti di kabel itu.” Pak tua itu menunjuk ke rentangan kabel yang kosong sambil memerankan gerakan seperti burung terbang. “Jadi, kamu harus terbang sekarang. Pergi ke sana, ke tempat yang akan jadi rumah buatmu. Menurut saja sama bapak-bapak ini.”
Perempuan gila itu menjadi lebih santai dan menurut. Ia tersenyum sambil mengangguk dan menepuk-nepuk pundak lelaki tua itu. Seolah sudah mengerti pesan yang disampaikan oleh si bapak tua. Sementara para petugas rumah sakit jiwa dan polisi merasa asing dengan pemandangan seperti itu. Sebab mereka yang telah terbiasa menghadapi orang-orang gila belum pernah menyaksikan adegan yang demikian.
“Sudah, Pak. Silakan bawa dia pergi.”
“Terima kasih atas kerja samanya ya, Pak.” Para petugas itu merasa lega mendapat bantuan. “Jangan lupa, tetap kenakan masker, Pak. Agar tetap aman.”
“Iya, Pak. Saya yang harusnya berterima kasih.”
“Oh iya, nama Bapak siapa?”
“Martono, Pak. Mbah Martono. Pedagang tempe keliling.”
3. Setiap Daun Pasti Gugur
Dadanya tiba-tiba berdebar aneh. Perasaanya mendadak berubah. Tadi ia merasa lapang dan tenang. Tapi sekarang menjadi sesak. Ia tidak tahu apa yang sedang menggelayuti hatinya. Cuaca cerah. Awan-awan menenangkan untuk dipandang. Angin juga semilir. Namun semakin ia menuju arah jalan pulang, dadanya semakin penuh oleh perasaan getir.
Sekarang ia sudah berdiri persis di depan jalan setapak menuju rumahnya. Ia turun dari sepeda. Melangkah pelan sembari menuntun sepedanya. Sampai seseorang menepuk bahunya dari belakang membuat ia terkejut dan semakin khawatir.
“Mbah, ayo cepat ke rumah. Tadi kami mencari Mbah ke mana-mana, tapi tidak bertemu. Ayo, Mbah ditunggu!”
“Ditunggu siapa?”
“Saya nggak enak bilangnya, Mbah.”
Langkah yang semula pelan, ia gegas untuk segera sampai di rumah. Akan tetapi, semakin dekat kepada rumahnya, dadanya semakin berdebar tak karuan. Sebab orang-orang ramai terlihat di pekarangan. Padahal sudah ada pelarangan adanya kerumunan. Tapi, ada apa?
“Ada apa ini?” tanyanya kepada orang-orang. “Kok, ramai betul rumah saya.”
Ia mulai tak sabar untuk masuk ke dalam rumah. Sepedanya buru-buru ia sandarkan ke pohon jambu. Dan sesaat masuk ke dalam rumah, ia langsung disambut tangis istrinya yang sedang duduk di hadapan sesuatu yang terbujur diselimuti kain batik panjang.
“Masya Allah, ada apa ini?”
“Pak,” kata istrinya lirih, “Rusdi sudah pulang, Pak. Dia sudah pergi meninggalkan kita.”
Tanpa harus membuka penutup wajah seseorang yang telah terbujur kaku di depannya, ia hanya terdiam. Menatap lekat pada wajah di balik penutup itu. Wajah anak lelaki tunggalnya. Anak semata wayangnya. Rusdi. Anak lelaki yang tidak pernah tumbuh menjadi seorang pria pada umumnya.
Namun ia lekas mengambil alih seluruh emosi jiwanya. Ia sadar bahwa kepergian anak lelakinya adalah jalan terbaik yang ditetapkan Tuhan. Mungkin Tuhan tahu semisal dia berpulang lebih dulu, maka anak lelakinya akan terlantar dan istrinya akan semakin kesulitan. Lalu ia mencoba rileks dengan memikirkan hal-hal indah selama ia bersama putra kesayangannya dan menepis semua ratapan yang bisa mengakibatkan kesedihan lebih dalam.
Setidaknya hari ini ia telah meraih beberapa hal berharga untuk belajar tidak terlalu sedih. Pertama, ia telah menumbuhkan kedelai harapan dalam dadanya saat ia pikir semuanya begitu gersang. Kedua, ia telah menerbangkan seekor burung yang tersesat di sebuah halte menuju tempat yang kelak akan menjadi sarang yang bagus untuknya. Ketiga, ia menerima kenyataan, bahwa setiap daun yang tumbuh pada masanya akan tetap gugur, termasuk daun takdirnya. Karena ia hanyalah manusia biasa yang dadanya dipenuhi keinginan, doa dan rencana. Seorang tua pedagang tempe keliling bernama Martono.
***