Déjà Vu


Anak itu duduk menelungkup hingga dagu dan lutut bertemu. Tangannya memeluk kaki, merapatkan tubuhnya melawan dingin. Ia duduk di suatu teras toko mainan tua yang telah tutup. Aku yang saat itu sedang dalam perjalan pulang ketika hujan mendadak turun, segera membelokkan motorku ke sebuah kompleks pertokoan. Saat itulah aku tidak sengaja bertemu dengannya, anak kecil yang membangkitkan rasa getir di dadaku.

Aku bertemu dengannya di antara jeda waktu magrib dan isya. Namun karena pekatnya langit malam, diiringi deras gemuruh hujan, dan ditambah jalan yang sepi, membuatnya terlihat seperti telah lewat jam sepuluh. Kompleks pertokoan di sekitar jalan juga tutup semua. Hujan deras selalu membuat orang-orang ingin lebih cepat menutup hari. Kulihat seorang anak laki-laki duduk seorang diri, menundukkan wajahnya seolah beban dunia berada di pundaknya. Saat itu ia hanya ditemani sepeda butut yang tengah bermandikan hujan. Tidak ada seorang pun selain aku dan dia yang berteduh di kompleks pertokoan tua ini.

“Halo Dik, kamu mau kemana? Rumahmu dekat sini ya?”

Dia tidak menyahut. Menoleh pun tidak.

“Kenapa kamu menangis? Mau beli mainan tapi tokonya tutup ya?”

Dia tidak menyahut tapi kini menoleh, memperlihatkan wajahnya yang menyamar malam karena lampu tak cukup terang. Lampu toko itu terlihat begitu renta hingga aku berpikir sudah saatnya dipensiunkan. Meski aku tak bisa melihat jelas wajahnya, aku bisa merasakan ada kesal dari tatapan matanya yang samar-samar terlihat.

“Kamu ngapain malam-malam, di tengah hujan seperti ini, kok malah di jalanan? Jalanan seperti ini berbahaya untuk anak kecil.”

“Aku keluar dari tadi sore Om.”

Ketika ia menyebut Om, aku sempat tersinggung karena merasa diriku masih muda. Aku memang sering lupa bahwa usiaku telah lewat seperempat abad. Memang sudah pantas dipanggil Om. Namun setiap ada yang memanggilku Om, rasanya tetap aneh.

“Kenapa kamu di sini sendiri? Kenapa tidak pulang?”

“Hujan Om.”

Jawaban singkat itu dilakukan tanpa menoleh padaku. Sikap acuhnya membuatku agak kesal. Rasanya ia tidak menghargaiku sebagai lawan bicara. Aku melangkah mendekatinya hingga kini berdiri tepat di sebelahnya. Kuperhatikan ia memegang perutnya, sepertinya ia lapar.

“Kamu lapar?”

Ia menoleh tanpa menjawab, tapi aku tahu ia lapar. Aku tawarkan makan malamku, nasi kotak dan beberapa kue yang diberikan selesai seminar. Kuajak ia makan malam bersamaku, ia tidak menolak. Mungkin perutnya benar-benar lapar hingga ia menerima saja ketika orang asing yang tidak dikenalnya menawari makanan. Anak kecil memang hebat, orang dewasa mungkin tidak akan begitu saja percaya, mereka selalu curiga bahwa ada maksud di balik segala kebaikan orang lain.

Saat aku sedang makan malam bersama bocah kecil pemurung ini, aku merasa mengalami semacam Déjà vu. Aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya. Kutelisik ingatakanku yang mulai pudar, pelan-pelan aku tersadar bahwa semua ini pernah kualami. Bedanya aku adalah anak kecil yang ditawarkan makanan oleh seorang bapak tak kukenal di tengah hujan, ketika aku kabur dari rumah.

Saat itu aku baru saja dipukul oleh nenekku sampai sapu patah jadi dua. Aku baru saja berkelahi dengan empat orang teman adikku yang mana satu di antara mereka hidungnya kubuat berdarah. Aku emosi ketika mereka yang mengolok-olok adikku tidak punya ayah dan ibu. Aku dan adikku memang tinggal bersama kakek dan nenekku, tapi kami punya ayah dan ibu, hanya saja kami tak pernah melihatnya. Baru hari itu aku tahu bahwa keduanya sudah berpisah dan menjalani hidup masing-masing dengan keluarga baru mereka. Lucunya, aku tahu ini dari mereka yang mem-bully adikku.

Saat itu aku sudah benar-benar mematangkan niatku untuk kabur dari rumah, membuang hidupku ke jalanan. Untung Tuhan mengirimkan seorang yang bijak, menasehatiku hingga kuurungkan niatku itu. Bapak baik hati itulah yang menyadarkanku, membuatku tetap bertahan di dalam rumah yang tidak pernah menjadi surga bagi penghuninya.

“Bertahanlah dengan apa yang kamu punya saat ini, jalanan terlalu keras untuk hidup. Keluarlah saat kamu sudah merasa bisa bertahan hidup tanpa perlindungan siapa pun. Meski kamu berpikir sampai saat ini rumahmu seperti neraka, jalanan tetap jauh lebih mengerikan.”

Sayangnya sampai sekarang aku tak pernah lagi bertemu bapak itu, bahkan wajahnya pun aku tak ingat. Mungkin karena saat itu terlalu gelap. Namun sedikit kata yang berikan padaku, kuserap dan kusimpan baik-baik dalam kantong ingatan.

Tiba-tiba anak itu mengeluarkan suaranya.

“Aku tidak ingin jadi dewasa.”

Begitu mendengarnya aku kaget sekali. Rasanya aku pernah berpikir seperti itu dulu. Aku tidak ingin menjadi dewasa, aku tidak ingin menjadi tua. Kulihat orang-orang tua di sekitarku, mereka semua menyebalkan. Masa laluku diliputi oleh orang-orang tua yang sok dewasa, orang-orang tua yang perkataannya seperti cuka yang menyiram luka. Aku jadi teringat bagaimana orang tuaku yang terobsesi menjadi menjadi orang tua—menikah di usia yang teramat muda—padahal mereka sama sekali tak tahu caranya.

“Orang dewasa itu menyebalkan.”

Lagi-lagi suara anak itu menyadarkanku dari lamunan.

“Kenapa begitu?”

“Mereka egois, melakukan sesuatu tanpa meminta pertimbangan orang lain. Mengatakan bahwa ini yang terbaik, padahal tidak sama sekali.”

Aku menangkap ada kebencian dari nada bicara anak ini. Namun ada yang lebih besar dari kebencian, yakni penderitaan. Anak ini punya beban hidup yang berat, beban hidup yang seharusnya tidak ada pada anak seusianya.

“Kamu bisa kok menjadi dewasa tanpa harus egois?”

“Bagaimana caranya?”

“Seiring waktu kamu akan tahu caranya.”

Nasi kotak yang kami makan telah habis. Setelah memberikan anak itu minum air, aku pun meminum sisanya. Kulihat ada cukup kue untuk dibagi bersama, lumayan untuk menghabiskan waktu dan teman mengobrol menunggu hujan benar-benar usai. Kami terus mengobrol dan ia terus mengungkapkan perasaannya. Dari apa yang disampaikannya aku mendengar ada kebencian pada orang tuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Aku terus memancingnya, namun tidak sampai memaksanya untuknya bercerita. Aku tidak mau jadi orang dewasa yang seperti itu; orang dewasa yang sok tahu dan suka ikut campur dunia anak, dunia yang telah lama mereka lupakan. Kemudian aku mengetahui anak ini berencana kabur dari rumah tanpa tahu akan harus ke mana, melakukan apa, dan bagaimana cara bertahan hidup di luar sana. Barulah aku merasa perlu mengintervensi rencananya.

“Jalanan tidaklah sebebas yang kamu pikirkan Dik, tidak untuk anak kecil sepertimu. Para penguasa jalanan bisa jauh lebih kejam dari mereka yang berkuasa di atap rumah. Tidak ada Tuhan di jalanan.”

“Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan Om. Kamu tidak tahu hidupku seperti apa. Jangan hanya karena lebih tua, kamu merasa paling tahu.”

Seperti ditampar rasanya mendengar anak sekecil itu bicara begitu padaku. Agak tersinggung aku mendengarnya. Namun jika aku bereaksi seperti kebanyakan orang tua, maka ia akan pergi tanpa mau mendengarkanku. Persis seperti aku dulu. Aku mengerti saat ini ia sedang tidak bisa mendengar, ia hanya ingin didengar.

Aku mendengar saja dan ia terus berbicara mengungkapkan semua kekesalannya pada dunia, kekesalannya pada orang tuanya, dan kekesalannya pada orang tua dari orang tuanya—kakek dan neneknya. Kemudian kudengar nada bicaranya mulai teratur, kulihat ia mulai tenang, barulah aku bergantian berbicara. Dari semua yang diucapkannya aku tahu ia sepertiku, tidak tinggal bersama ayah dan ibunya. Ia juga memiliki adik yang merupakan satu-satunya teman di dunia. Akhirnya aku memberikan nasihat yang diberikan bapak itu dulu padaku.

Dia mulai bisa menerima apa yang aku sampaikan. Aku memberikannya kue terakhir. Dia tersenyum. Meski dalam kegelapan, senyuman dari seorang anak kecil yang menderita akan selalu bercahaya. Dia yang tadinya hanya bicara dengan nada ketus, kini kembali berbicara dengan bahasa anak-anak, bahasa yang lebih ceria. Aku turut merasa lega, seolah masalahku juga ikut menghilang.

Saat hujan mulai reda, kulihat jam tanganku telah menunjukkan hampir jam sepuluh. Terlalu malam untuk anak kecil pulang sendiri. Apalagi jalanan ini begitu sepi. Setidaknya aku akan mengantar ia sampai jalan yang kurasa aman, bila perlu sampai rumahnya.

“Hujan telah reda, aku antarkan kamu pulang Dik.”

“Aku berani pulang sendiri.”

“Tidak baik menolak tawaran orang lain.”

Anak itu kemudian mengambil sepedanya, menaiki, lalu mengayuhnya. Aku mengikutinya dari belakang menjaganya aman dari bahaya malam. Tiba-tiba aku merasa jalanan menjadi semakin tua, bangunan-bangunan sepanjang jalan terlihat semakin familiar. Bangunan-bangunan seperti ini bukannya sudah sudah tidak ada lagi? Sudah begitu aku merasa mengenal jalan dan bangunan ini. Aku mengenal toko-toko tua sejanjang jalan ini.

Tiba-tiba anak itu berhenti di bawah sebuah dari potongan kayu tua yang diukir sebuah nama jalan. Aku terkejut. Jalan ini, simpang lima ini, toko-toko tua ini, bukannya itu jalan ke arah rumahku dulu?

“Om, sampai sini saja rumahku sudah dekat.”

Aku dekati dia. Ketika dia berdiri di bawah cahaya lampu yang agak terang, barulah aku sadar dan melihat dengan jelas. Anak itu aku ingat sekali siapa dia. Aku kenal wajahnya yang pemurung. Itu kan wajahku dulu!

Ampenan, Oktober 2020



Bagikan:

Penulis →

Aliurridha Al Habsyi

Penulis dan penerjemah lepas. Menulis esai, opini, cerpen, dan cerita horor. Karyanya tersebar di beberapa media, baik cetak maupun dari, lokal maupun nasional. Aktif berkegiatan dalam komunitas Akarpohon. Tinggal di Gunungsari, Lombok Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *