Perkara Permanen



HAMPIR setahun lalu pemerintah mengumumkan bahwa virus corona telah masuk ke Tanah Air. Bermula dari Wuhan, Cina, lalu menjalar ke mana-mana. Di Jakarta korban pertama jatuh. Dua orang penari, anak-ibu. Membuat suasana mencekam. Tapi pemerintah memberi secercah harapan,”Badai akan cepat berlalu jika kita bahu-membahu.”

“Mereka baik sekali memberi tahu kita,” kata Imbar seolah di luar sadar. Ia sedang tidak membaca berita sebelas bulan lalu. Dalam masa “di rumah saja” yang tak menentu, dua kali ia tamatkan Penafsir Kepedihan karya Jhumpa Lahiri terjemahan Suparno. Malam itu, ia baca ulang “Masalah Sementara”, cerpen pertama di buku itu. Kalimat barusan diucapkan Shoba kepada Shukumar, suaminya—Imbar tirukan.

Ketika sadar menirukannya, Imbar merasa konyol. Tindakan pemerintah bukan perkara mereka orang baik, tapi wajib. WHO bahkan sudah wanti-wanti mustahil Indonesia belum terjangkit. Lagi pula, apa yang terjadi antara Shoba dan Shukumar adalah masalah sementara: untuk lima hari listrik akan padam selama satu jam, mulai pukul delapan malam. Sambungan terputus oleh badai salju, dan para tukang akan memanfaatkan malam-malam yang cuacanya lebih nyaman untuk memperbaikinya. Itulah persis narasi Lahiri.

Pasangan Shoba dan Shukumar menghabiskan waktu dengan cara membangkitkan kenangan dalam kegelapan. Sekali diterangi sisa lilin ulang tahun yang ditarok di bawah sulur anggur, dan empat hari dengan lilin lain yang dibiarkan redup dan padam. Mereka hikmati keadaan dengan bercerita (bukan bercinta), hanya sesekali bersintuhan tangan, tak sengaja. Suara mereka bergema di ruang hampa. Mereka bicarakan hal-hal sepele yang mulai dilupakan: pergi ke dokter gigi, kelakuan para sahabat, keadaan kampus, dan entah apalagi. Mereka memasak daging domba, berbagi tugas di dapur.

Mereka akhirnya menceritakan juga hal-hal konyol dan menyedihkan yang masing-masing pernah mereka lakukan. Shoba melarikan diri ke Gillian, menghindari ibu mertua, dan minum martini sepuasnya di sana. Ketika bayinya lahir di meja operasi dan meninggal, Shoba merasa sangat mengecewakan suaminya. Meski Shukumar mengatakan ia tetap bahagia, tapi Shoba diam-diam menyepi dengan menyewa apartemen di Beacon Hill. Ada pun Shukumar mencontek saat ujian kelulusan sarjana, memberi tips pelayan restoran secara curang demi mendapat perhatian Shoba. Ia pernah menangis mendekap jasad bayi laki-lakinya di dalam kamar mayat sebelum diperabukan. Apa pun, masalah sementara berhasil memperbaiki hubungan mereka.

***

IMBAR meletakkan Penafsir Kepedihan di lengan sofa. Sejenak ia lirik Kavisar yang masih duduk menghadapi layar laptop, entah mengerjakan apa. Ia tak yakin suaminya itu sudah dapat banyak ketikan dari gagasan yang ia pendam. Buktinya, sejak tadi tak terdengar tuts dimainkan. Mungkin ia membaca e-book atau berselancar ke grup janda dan gadis-gadis. Ah, mungkin pula ia berselancar ke tempat-tempat yang ia bayangkan: Tapaktuan, Bandar Muar, Sikakap atau Pulau Kei. Laki-laki itu sempat menceritakan tempat-tempat yang ingin ia kunjungi. Imbar memang mengenal Kavisar sebagai laki-laki pejalan. Mereka berkenalan di Bali, ketika Kavisar kehabisan ongkos dari Sumbawa, dan untuk sementara ia menumpang tinggal di sanggar kenalannya di Jalan Wahidin, Denpasar.

Merasa lega karena pasangannya tak mendengar apa yang tadi ia ucapkan, Imbar mendehem seolah kerongkongannya kering, mau basah. Ia mendehem lebih kuat, berharap komentar Kavisar,”Sana, minum air putih!” Atau,”Ada vicks di kulkas.” Aneh, ia rindukan sapaan seperti itu. Sudah hampir setahun, sepanjang masa pandemi, sapaan-sapaan itu hilang.

Dari pihaknya sendiri, Imbar ingin memperlakukan suaminya dengan sapaan dan sentuhan-sentuhan kecil. Tapi tiap kali mulai, misal hendak berkata,”Rambutmu sudah panjang, Kavisar, pergilah bercukur,” atau,”Nanti Jumatan pakai masker baru ya, masker merahmu terlalu kotor.” Tak pernah bisa ia lakukan. Rambut Kavisar makin panjang, dan ia masih bersetia dengan masker merahnya, yang sejak pandemi baru dua kali dicuci.

Kini mungkin ia harus mencoba. Imbar bangkit dari sofa. Mendekati Kavisar dari belakang. Tangan kanan lelaki itu terus men-scrolling mouse, dan tangan kirinya memegang gelas kopinya yang mulai dingin. Imbar menyentuh tangan di gelas itu, menyingkirkannya perlahan, tak jauh dari pinggangnya sendiri, lalu ia meneguk kopi. Imbar selalu berpikir seperti dulu, segelas kopi bukanlah “kopinya” atau “kopiku”, tapi kopi mereka berdua.

Ya, mereka selalu mereguk kopi dari gelas yang sama. Bahkan saat bertamu ke rumah teman, mereka minta dibikinkan satu gelas kopi saja, atau kalau terlanjur dua, hanya segelas mereka minum. Saat meneguk kopi, ia ingin tangan Kavisar yang ia tarok tak jauh dari tubir meja di mana pinggulnya menempel, akan memberi sensasi mengejutkan. Melingkari atau meremasnya perlahan. Tapi tidak. Ia melamakan bibir gelas di bibirnya, menahan nafas dari bau bacin kopi dingin, Kavisar malah memindahkan tangannya ke lengan kursi, dan melongos,”Kau bilang pemerintah baik memberi tahu kita tentang pandemi?”

Imbar terceguk. Ternyata Kavisar masih ingat kalimat yang ia ucapkan bermenit-menit lalu. Rasa lega yang tadi membuatnya tak merasa konyol, kini berganti rasa konyol yang lebih besar. “Maksudku, mereka masih memberi kita secercah harapan.”

“Iya. Mereka umumkan bantuan tunai,” kata Kavisar sinis.

“Dan sudah mereka tunaikan.”

“Dengan prosedur tak semudah waktu mereka didaftar sebagai peserta Pemilu.”

“Betul begitu. Tapi semua dapat bagian akhirnya. Kecuali kita,” Imbar terpingkal.

“Karena seniman tak tercatat di dokumen mana pun!”

“Dirjen Kebudayaan menyebarkan borang untuk subsidi seniman.” 

“Ya, pematung Ali Umar dua kali mengisi, tapi lihat status fb-nya: tak ada kabar!”

“Dinas Kebudayaan Daerah juga mendata 3000 pelaku budaya untuk disubsidi.”

“Hmm, pelaku budaya? Tiga ribu orang? Kategori apa itu, dari mana saja mereka?” Kavisar membakar rokok terakhirnya. “Apa kaudengar dana itu cair? Yang ada itu korupsi!”

Imbar menggeleng, lalu mengangguk. Ia kembali ke sofa, tapi lalu teringat ia belum memanaskan makan malam. “Kavisar sudah makan?” ia bertanya dari dapur. Ia jawab sendiri,”Eh, belum, ya? Saat keluar rumah tadi sore, daging ayam betutu ini segini juga.”

***

KAVISAR mendatangi Imbar ke dapur. Lengan mereka bersintuhan sebentar, sebelum akhirnya Kavisar mengambil pisau. “Aku melarangmu jangan sering keluar.” 

“Hanya ke rumah ibu,” Imbar membelakangi suaminya, berharap laki-laki itu akan melanjutkan sentuhan, pada pinggul, pada bahu, pada leher.

“Adikmu pasti menelepon kalau ibumu ada apa-apa.”

Ada jarak terasa ketika Kavisar mengucapkan “ibumu”, bukannya “ibu” saja.

“Iya, sih, tapi aku ada keperluan. ATM tinggal segini. Rokokmu juga yang terakhir,” ia tunjukkan ujung kukunya yang lentik.

Kavisar terbatuk seperti anak belajar merokok. Sisa rokoknya yang masih panjang ia buang. Imbar menyesal mengucapkan “rokokmu”. Buru-buru ia sebut “kita” dalam ucapan, “Kopi kita aman. Aku sudah pesan online ke Taufiq Bondowoso.”

“Aku juga sudah pesan tembakau ke Bernando. Aku akan gulung sendiri rokokku,” Kavisar merogoh rak mencari-cari sesuatu.

“Kau cari mie? Mau mie Aceh?”

Kavisar menatap istrinya dengan isyarat “ya.” 

“Biar kubikinkan. Mienya ada di lemari.”

“Terima kasih,” nada Kavisar melunak. Tapi pisau di tangannya tak dilepas. Ia kupas beberapa siung bawang putih dan bawang merah, ia puntir cabe rawit. Air kran mendesis. Lalu bunyi pisau di talenen.

Imbar mengangkat ayam betutu yang dipanaskan dari kompor. Kemudian menyiapkan wajan, sutil dan sedikit minyak. Ia ambil buncis dan sisa cumi di kulkas, ia berikan pada Kavisar. Saat mengambil bumbu hasil rajangan Kavisar, kembali bahu mereka bersentuhan. Tapi mereka diam, meski sama tahu bahwa semua itu menambah hangat dapur.

“Di mana kamu pertama makan mie Aceh, Kavisar?”

“Di Batam.”

“Kau pernah bilang ada mie Aceh rasa perlawanan?”

Kavisar tergelak. “Iya, di Selangor. Ada warung Aceh enak sekali. Semua dindingnya dicat pakai bendera Aceh. Meja, kursi hingga tempat kasir bertulisan Aceh Merdeka.”

“Merdeka itu tak selamanya enak.”

“Siapa bilang? Aku toh ingin merdeka.”

Ganti Imbar yang tergelak. “Merdeka dari pandemi…”

“Ya, minimal itu. Merdeka dari rumah.”

Hening sejenak.

“Sudah berapa lama kita di rumah saja, Kavisar?” tak ada jawaban. Ia jawab sendiri,”Sebelas bulan. Semua berantakan. Pameran virtual sulit jalan. Tak ada transaksi. Kontrak batal. Dan kamu tak pernah lagi bisa jalan-jalan,” ia menyebut nasibnya sebagai EO acara di galeri Gatot Santoso dan bersimpati pada nasib suaminya.

Kavisar mendehem seperti tak senang. Imbar yang perasa segera menyadari ucapan terakhir. “Tak bisa jalan-jalan” artinya tak bisa menghasilkan. Kavisar adalah travel writer. Ia juga mengisi workshop fotografi yang praktis terhenti sejak pandemi.  

Air menggelegak di wajan. Tak lama mie mereka masak. Kavisar membantu menyiapkan mangkok. Percakapan hangat yang tersendat-sendat seperti kompor menjelang habis gas, membangkitkan selera Imbar. Ia ikut makan menemani Kavisar yang lahap. Meski mie diberi irisan cabe, laki-laki itu masih menggigit cabe rawit. Pedas, berkeringat.

Keringat di dahi itu mengingatkan Imbar saat mereka bercinta. Tapi sejak pandemi, jarang mereka lakukan. Berita tentang jebolnya program KB karena banyak ibu hamil selama pandemi, tak terjadi di rumah ini. Wulan masih saja akan sendiri. Tanpa adik.

“SPP Wulan jatuh bulan depan,” Imbar berkabar. Wulan, anak semata wayang mereka mondok di Kajen, Pati. Pada awal pandemi, Wulan dipulangkan, tapi setelah lockdown, semua santri dipanggil masuk kembali.

Kavisar tak menjawab. Ia malah bertanya,”Apa kata ibumu?”

“Beliau bertanya keadaanmu.”

“Apa katanya?”

Imbar bingung dengan pertanyaan teknis itu. Ia pun tak menjawab, dan mengatakan yang lain. “Ibu ingin tanah di Cangkring dijual. Digadai, bakal merepotkan nanti.”

“Apa hubungannya dengan kita?”

Imbar senang mendengar kata “kita”, tapi merasa hambar soal hubungan. “Kata ibu, selain untuk pengobatannya, sebagian uangnya bisa dipakai dulu buat modal kita.”

“Dengan utang kita yang sudah menumpuk padanya?”

“Ibu tak mempersoalkan.”

“Tapi adikmu mempersoalkan.”

“Tak usah diambil hati!”

“Ibumu terpengaruh. Luka lamanya kambuh.”

“Akan kubicarakan baik-baik dengan Saiful. Ia tak boleh ikut campur urusan kita.”

“Coba saja kalau bisa,” Kavisar berdiri dan pergi ke ruang kerjanya. Ia datang lagi ke meja makan memperlihatkan hp-nya. “Lihat, bagaimana keluargamu memperlakukanku.”

Imbar baca pesan adiknya di WA. Saiful menyoal rumah yang mereka tempati sejak pindah dari Bali. Ini memang rumah jatah Saiful. Seharusnya, Saiful bisa mengontrakannya. Rumah jatah Imbar sudah dijual, sejak ia beli rumah di Nusa Dua, tapi juga terjual saat krisis moneter bertahun lalu. Kini krisis pandemi mengurungnya bukan di rumah sendiri.

Imbar gemetar. Ia geram adiknya tak berubah: menentang pernikahannya dulu dengan Kavisar yang disebut Saiful mirip “gipsi jalanan.” Ibunya terpengaruh. Baru setelah ada cucunya Wulan, perempuan itu reda. Tapi jika benar yang ditulis Saiful dalam berbalas pesan dengan Kavisar, jelas ibunya belum sepenuhnya berubah. Ibunya mendukung Saiful, padahal tadi sore ibunya tak menyinggung soal itu. Apa hanya fitnah Saiful?   

Ia berencana mencari Saiful besok. Sebenarnya, sebelum insiden perang WA ini, ia dan Kavisar bahkan punya rencana lebih dari itu. Pindah ke luar kota, mengontrak rumah di Kajen sambil menunggui Wulan mondok. Tapi rencana itu batal dihadang virus corona.

“Kita bisa segera pergi dari sini. Kita jalankan rencana awal,” Imbar melihat secercah harapan. “Aku ke Pak Gatot besok, pinjam uang, meski galerinya masih tutup.”

Hp Imbar berbunyi di lemari. Buru-buru ia lap tangannya, lalu bergegas mengambil hp.  Bunyi itu mati, tapi ia tahu siapa yang miss-call barusan: Kavisar, orang yang ada di depannya. Terasa asing. Ia menyesal hanya berbagi gelas, tapi tak pernah berbagi hp!

Mungkin Kavisar ingin memberi tahu sesuatu. Benar saja. Di WA-nya, banyak pesan masuk yang diteruskan Kavisar. Isinya berbalas kata antara Kavisar dan Saiful. Saiful juga mengutip pernyataan ibunya, mengungkit luka lama: kau menantu tanpa restu, camkan itu! 

Imbar terduduk di kursi. Ia seperti tak bisa berkata apa-apa lagi.

Di dapur, air mengucur dari kran yang diputar. Kavisar membasuh mukanya di bak cucian piring. Matanya perih. Hening. Hanya gemercik air.

“Aku menginginkan semua ini Masalah Sementara,” Imbar berkata seolah pada dirinya. Ia dekap Penafsir Kepedihan. Lekat ke dada. “Tapi yang terjadi seperti perkara permanen. Pandemi yang tak jelas kapan berakhir dan luka lama yang selalu diungkit kembali.” Tiba-tiba ia terisak. Ambyar. 

Di luar, terdengar bunyi tiiiit…tiiiit pertanda pulsa listrik akan habis. Meski baru pemberitahuan awal, dan listrik tak akan mati saat itu juga, refleks tangan Kavisar yang basah menekan stop kontak lampu dapur. Dapur jadi remang sekarang, dan dalam keremangan itu Imbar melihat Kavisar melap tangannya.

Imbar berdiri, mengambil handuk dan setengah sungkan ia lap wajah suaminya. Laki-laki itu menarik nafas panjang. Tercium aroma pewangi pada handuk. Aroma yang sejak dulu disukainya, dan Imbar bersetia, tak pernah mengganti merk pewangi cuciannya.

Dan cerita sama-sama berakhir di remang dapur. Hanya saja Shoba dan Shukumar menangis untuk hal-hal yang mereka sadari; sedang Imbar dan Kavisar menangis untuk hal-hal yang sampai kini tak mereka mengerti.

/Lemahdadi, 26 Januari 2021

________________________




Bagikan:

Penulis →

Raudal Tanjung Banua

Lahir di Lansano, 19 Januari 1975. Buku cerpennya yang terbaru, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020). Ia mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *