Menggugat Antroposentrisme Melalui Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang

Judul Buku   : Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Penulis      : Luis Sevulpeda
Penerbit     : Marjin Kiri
Cetakan      : Pertama, Oktober 2020
Halaman      : vi + 90 halaman 
ISBN         : 978-602-0788-06-7

Zorbas panik, bagaimana seekor kucing bisa mengajari piyit camar agar dapat terbang? Kepanikan itu mendorongnya menemui Kolonel, kucing restoran yang memiliki asisten bernama Secretario; si Profesor, kucing ensiklopedis yang tinggal di sebuah apartemen mirip museum berisi barang-barang unik, antik, dan penuh buku-buku; Matias, simpanse penjaga; dan ikut melibatkan Banyubiru, kucing peliharaan seorang penyair tidak jauh dari gedung Zorbas tinggal.

Misi mereka cuman satu yakni merawat Fortune, anak camar yatim yang ditinggal mati ibunya, dan inilah janji utama Zorbas kepada ibunya: mengajari Fortune terbang.

Semua itu dimulai dari Kengah, seekor burung camar yang mati karena justru bertindak ingin mengisi kehidupannya dengan sarden-sarden. Seperti tabiat camar ketika berburu, dengan cara terjun menyambar ribuan ikan di bawah lautan bak anak panah, Kengah melakukannya dengan bahagia meskipun ia tak menduga itu adalah penerjunan terakhirnya. Di bawahnya, ia disambut lautan minyak bekas, membuatnya bermandikan minyak hitam menjadikan bulu-bulunya bak dilumuri lem korea super.

Setelah kehilangan tenaga di penerbangan terakhirnya, Kengah jatuh di sebuah balkon dan di situlah ia bertemu Zorbas, seekor kucing pelabuhan hitam gemuk. Sebelum mati Kengah menelurkan satu biji telur dan membuat Zorbas berjanji agar merawat anaknya sampai ia bisa diajari terbang.

Dari sinilah kisah para binatang peliharaan itu dimulai, jauh dari amatan mata manusia, yang sedang menyiapkan misi penyelamatan seekor anak burung camar.

Tidak membutuhkan waktu lama  bagi para membaca buku ini, untuk meniris apa sesungguhnya nilai belakang di balik novel Luis Sepúlveda ini. Sama dengan novel sohornya Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, kisah seekor camar dan sekawanan kucing ini juga menceritakan dampak negatif pencemaran lingkungan ulah bejat sebagian manusia.

Menggugat Antroposentrisme

Kisah Seekor Camar dan Kucing yang mengajarinya Terbang bukan diktat laiknya buku berbau filsafat. Ia novel mini ditujukan khusus kepada pembaca anak dan remaja, yang sebaliknya menjungkal imajinasi filosofi antroposentris yang kadung menjadi keyakinan selama ini.

Falsafah antroposentrik mengandaikan model pemahaman bahwa manusialah spesies pusat dan penting dibanding makhluk lain di muka bumi ini. Akar keyakinan ini juga mendudukkan seluruh keberlangsungan kehidupan mesti ditolokukurkan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan manusia.

Antroposentrisme juga bercokol dalam modernisme, yang menaruh kepercayaan penuh terhadap kekuatan akal budi manusia. Perkembangan pandangan dunia ini juga menyokong geliat industrialisasi dan pembangunan berskala gigantik, seperti yang telah menjadi tren global saat ini.

Di atas keyakinan inilah manusia membangun seluruh kegiatan kebudayaannya, yang  tanpa disadari banyak melahirkan risiko kehidupan. Salah satunya adalah krisis ekologi yang mengubah iklim dan habitat keanekaan satwa menjadi tidak tertolong lagi.

Dari ceruk inilah, novel Sepúlveda relevan ditempatkan sebagai kritik mendasar terhadap pandangan antroposentrik yang mensubordinat kehidupan selain manusia. Dengan cara ”menghidupkan” narasi yang bertolak dari sudut pandang dunia hewan, Kengah dan sekumpulan kucing diketuai Zorbas, adalah pembalikan narasi humanistik yang menjadi inti dari antroposentrisme.

Perlu diketahui antroposentrisme mengimplikasikan kebebasan setelah meneguhkan kepemilikan akal budi yang tidak dimiliki makhluk lain. Itu artinya, dengan sendirinya kebebasan adalah kualitas ekslusif yang membuat manusia bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya, termasuk dalam  hal bagaimana mereka memberlakukan alam beserta isinya.

Kebebasan manusia ternyata bukan satu-satunya. Zorbas adalah contohnya. Siapa yang selama ini membayangkan bahwa binatang juga ingin hidup bebas, setidaknya berdasarkan naluri alamiahnya tanpa harus dipenjara di balik konsep binatang peliharaan.

”Selama empat minggu ia akan menjadi tuan dan penguasa apartemen…Empat minggu untuk bermalas-malasan di sofa, di ranjang, atau pergi ke luar balkon, naik ke atap, dari sana melompat ke dahan-dahan pohon sarangan tua, dan menuruni batangnya ke teras sebelah dalam, di mana ia biasa bertemu kucing-kucing lain dari sekitar situ. Ia tak bakal bosan. Tak mungkin” (h.11).

Tidak jarang para pecinta binatang luput menempatkan peliharannya di dalam dunia seperti tabiat aslinya. Kerap tindakan memelihara hanyalah bentuk lain dari eksploitasi hewan dengan membajak kecerdasannya seperti burung beo dalam sangkar, simpanse dalam laboratorium, lumba-lumba dalam wahana pertunjukkan air, atau kucing dalam trend gaya hidup masyarakat urban.

Sesayang-sayangnya pecinta kucing, misalnya, sering kali masih terjebak di dalam paradigma antroposentrik dengan menjadikan peliharaannya sebagai alat pemuas dirinya. Kebebasan Zorbas, dalam hal ini adalah antitesis penting menyangkut perlunya pemahaman yang setara menyangkut posisi manusia dan makluk hidup di sekitarnya.

Secara global, dunia yang hanya ditafsirkan berdasarkan kebutuhan manusia, menyebabkan hilangnya kesetaraan antar makhluk hidup yang bersifat relasional, membuat alam kehilangan keseimbangannya.

Melawan tabiat alam

Kucing disebut-disebut sangat menyukai ikan, gulungan benang, dan telur. Film-film kartun di masa kecil banyak menceritakan itu dan ini satu pengertian yang sudah menjadi tabiat alami mereka. Tidak ada kucing yang menolak ikan sebagaimana betapa inginnya mereka mencicipi sebiji telur yang memiliki bau amis yang khas.

Namun, penggambaran demikian menjadi permainan Sepúlveda dalam menunjukkan tarik ulur hasrat bawaan seekor kucing dengan janji yang sudah terlanjur ditepati.

Ya, Zorbas, si kucing gemuk hitam, sama seperti seluruh kucing di mana pun, sangat ingin mencicipi telur jika keberuntungan itu datang. Tapi, dikisahkan, ia sudah berjanji kepada Kengah, si burung camar, agar tidak memakan telurnya dan malah mesti merawat dan mengajari anaknya terbang.

”Berjanjilah kepadaku kau tidak akan memakan telur ini nanti.”

”Aku berjanji tidak akan memakan telur itu.”

”Berjanjilah kau akan menjaganya sampai si piyik lahir.”

”Aku berjanji akan menjaganya sampai si piyik lahir” (h.19).

Itulah percakapan terakhir si malang Kengah dan Zorbas, sebelum camar itu meninggal, membuat Zorbas satu-satunya kucing di dunia yang mengikat janji setia meskipun itu bertentangan dengan hasrat bawaaannya.

Janji adalah janji, dan kucing pelabuhan tidak pernah ingkar dari meongannya, kata Kolonel kepada Zorbas (h.38). Otomatis ini bakal membuat Zorbas menjadi kucing yang bakal melawan tabiat alamiahnya sendiri, membuatnyaa seperti seorang zen yang setiap waktu berperang melawan hasrat bawaannya.

Sigmund Freud, scholar psikonalisis, di fajar abad 20 mengetengahkan perwatakan dasar manusia distel id, yakni sisi irasional yang sulit diatur dan berkeinginan agar senantiasa dipuaskan. Keadaan ini  membuat manusia, seperti dinyakan Erich Fromm beberapa tahun kemudian, sebagai pertarungan abadi manusia melawan sisi gelap dirinya, yang ia analogikan sebagai serigala.

Sisi gelap ini kerap tidak dapat ditampung hasrat manusia yang bertolak belakang dengan prinsip moral universal. Secara ekskalatif hasrat ini hadir dalam setiap perilaku manusia terhadap alam berupa kegiatan ektraktif dan pencemaran lingkungan besar-besaran.

”Kerap kali, dari ketinggian, ia melihat kapal-kapal tanker minyak besar mencuri-curi kesempatan pada hari-hari yang berkabut di pesisir untuk pergi menguras tangki-tangki mereka di tengah lautan. Ribuan liter cairan kental nan bau ditumpahkan ke lautan, yang lalu terbawa ombak (h.13).

“Hal-hal mengerikan terjadi di laut. Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa. Aku baru pulang mengeduk di mulut Sungai Elbe, dan kalian tak bisa bayangkan berapa banyak sampah yang terseret arus ke sana. Demi batok penyu! Kami mengangkut keluar tong-tong insektisida, ban bekas, dan berton-ton botol plastik sialan yang ditinggalkan manusia di pantai” (h.62).

Fenomena ini bukan fiksi meskipun ia diungkapkan melalui medium cerita. Tindakan ini jamak ditemukan, terutama di jalur-jalur kapal pengangkut minyak sering lewat. Lautan menjadi tempat sampah. Bukan saja sampah plastik melainkan minyak kental berwarna hitam yang membuat lauatan biru menjadi kehitaman, yang disebut Sepúlveda menjadi sampar hitam yang mengundang maut bagi para binatang laut (h.13).

Kekuatan di balik komunitas

Kekuatan mencolok dari tindakan Zorbas adalah ketika ia mengandalkan kesetiakawanan dari teman-teman kucing lainnya. Meskipun masing-masing berbeda pembawaan, mereka bisa saling mendukung dan bekerja sama untuk memecahkan persoalan yang semula adalah masalah Zorbas sendiri.

Coba bayangkan jika Anda di posisi Zorbas,  yang tiba-tiba ketiban masalah dan mesti bertanggung jawab terhadap Kengah yang bukan siapa-siapa. Zorbas dan Kengah dua spesies berbeda, tapi perbedaan ini tidak membuat Zorbas dengan enteng berkata ”itu urusanmu, dan silakan selesaikan sendiri masalahmu!”. Ungkapan yang sering diucapkan manusia jika menghadapi masalah orang lain, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya.

Zorbas justru memilih terlibat dan membawa masalah pribadinya ini ke dalam masalah kelompoknya. Dengan kata lain, masalah yang tidak bisa dipecahkan Zorbas akan ia pecahkan melalui pendekatan komunitas.

Dan, untungnya kawan-kawan Zorbas mendukungnya. ”Masalah satu kucing di pelabuhan ini adalah masalah semua kucing di pelabuhan ini,” ucap Kolonel kepada Zorbas (h.24).

Mestinya, pernyataan di atas diucapkan Anda, atau sahabat Anda, atau orang-orang yang selama ini dipisahkan status sosial, agama, atua ras, yang secara moral berkewajiban membantu satu sama lain, tapi terlanjur dikoyak-koyak perbedaan dan permusuhan.

Itulah kritik lain terhadap konsep antroposentris, yang mengekslusi kemampuan manusia hanya kepada kemampuan individualitasnya, sehingga ketika menghadapi masalah selalu dipandang melalui respon individual daripada respon komunitas. Manusia masa kini terlampau mengyakini bahwa hanya melalui kemampuan diri sendirinyalah setiap masalah dapat dipecahkan.

Padahal tidak demikian kenyataannya. Zorbas menunjukkan setiap masalah mesti melibatkan orang lain, kita mesti berdiskusi, bertukar pikiran, dan dari situ memecahkan masalah secara bersama-sama.

Syahdan, novel pendek dengan judul panjang ini, adalah buku kedua Luis Sepúlveda yang menjadi buku kegemaran saya. Meskipun ceritanya singkat, gaungnya bakalan lebih panjang di masa-masa akan datang.


Bagikan:

Penulis →

Bahrul Amsal

Penikmat film dan bergiat di Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *