Bayang-Bayang Seakan Menjauh


Namamu

namamu mungkin dalam bentuk hujan pagi
yang mengabur dan bergetar di rumput
tapi burung-burung menangkap suara
dari mimpi, dan menghindari terbang tanpa arah

beberapa daun telah jadi lembar demi lembar
seperti tahun yang tak pernah tutup
mencatat musim, dan dalam kelopak bunga
sekuntum keriangan yang mati lebih banyak lagi
tempat-tempat yang kosong, pot hatimu
tak pernah lengkap tanpa warna
seperti kamar seperti nganga paling liar
dari jiwa

dan namamu selalu jatuh di benakku
tak mengenal waktu, ia terbawa mengalir
dan membeku entah di mana
seperti ceceran darah perang jaman dulu
seperti permaianan peluru yang mengirim neraka
pada detik-detik penghabisan nyawa, dan efek jam
selalu menggugurkan kelabu namamu
yang sekian saat cuma tersisa
sebagai pemandangan batu

2020



Insomnia VI

langkah-langkah sepanjang usia
mengukur suhu yang kabur
di jendela kaca

yang kedinginan wajahmu, terpantul
mengadu kepada diri sendiri
seperti orang lain yang pernah
meninggalkan rumah
dan menjadi semakin asing
ketika bertemu kembali

lalu pada saat jam menunjukkan
betapa di luar harapan masih ada
warna yang gelap mengental
seperti membusuknya daun-daun
seperti matamu yang kurang tidur

2020


Melayati

di dalam detik tak kau dengar lagi
suara rintik hujan yang mati
di jalan subuh, di ujung daun
embun meranum
hanya tinggal sisa mimpi yang membersit
di sudut kaca jendela
ketika kau dengar angin mengerat kayu
dan rupanya hari telah menunggu
di luar tidur

di perjalanan pintu yang hampir mati
di sayap kupu-kupu yang memburu
bunga rekah di atas pusara, lalu seseorang
mungkin terjaga di ranjang
ditatap dinding yang cuma hitam
bayang-bayang seakan jauh
terpisah seseorang dari tubuh, begitu sendiri
rasanya jasad mengenang yang pergi
begitu dingin tanpa arti

2020



Menuju Melancolia

hari demi hari kecemasan seakan
tak pernah berhenti berlari
di dalam diriku lukisan biru
mewarnai dinding tidurku
dan mimpi masih saja hitam
tak mau bangun menuju kota
menuju kesunyian agung

di sebuah gerbang
seluruh rajah yang terukir
seperti telah menumbuhkan akar pasi
yang pandai menjuntai mimpi
menganga dalam lubuk hati
bungkam ruang mengurung
daun-daun kepalaku, dan demi tidur
yang senantiasa mimpi kau
akan membiarkan ulat
menggeligiti jantung

2020

Sebuah Pemandangan Jantung

ada yang pernah memungut tulisan seperti bunga
yang belum layu dilemparkan tangkai-tangkai
ke tanah kering, saat angin memelan bagai pisau
menyayat harum dan wangi itu

kembaramu seperti merah
yang telah ke mana-mana
seakan tidur, seakan waktu menyegarkan
seluruh harapan, lalu apakah yang tersisa
dari lanskap sebuah lukisan
yang ditinggalkan pelukisnya?

Dari kesendirian yang tersudut
tak dikenal, dan tak akan pula selalu berwarna
cuma sansai, tapi ada yang pernah memungut
tulisan seperti bunga di halaman kubur

namamu seperti puisi yang ditulis oleh angin
dilemparkan tangkai pohon bunga
yang wanginya mengembara
meninggalkan sesuatu yang mirip jantung
tapi itu masih meneteskan darah
masih tertusuk seruncing ranting yang patah

2020


Bayang-Bayang

kita terpisah dari kota-kota
mengapa jarak seperti maut
yang meriap di mata
dan meruja batin dengan siksa

lebih dari rindu rerumputan
sesalku tumbuh di pekuburan
menjulang hendak intip kekasih

hidupku jadi kutukan di batu sungai
yang mengalir lesu ke dada

jika segala telah menjadi takdir
cuma kegetiran pertemuan
dan perpisahan ini mengundang neraka
menghukum diriku dengan kecaman angin
yang gigil

dan sudah berapa malam menjelang aku
terus menantikan kau datang
tapi pulang melemparku kembali ke mimpi
ke bayang-bayang kecemasan

2019

Membayangkan Masa Depan

angin mengesek daun-daun
sehening sungai di kedalaman hatiku

kau hidup di dalam dan di luas diriku
seperti udara, namun tak pandang wujudnya
kau teramat dekat, namun tak kusentuh
kau begitu jauh bagi tanganku merengkuh

jika benar kaulah angin itu
kan kuhirup kamu dalam jantung
dan berdegup gairah melengkapi hidup

mengalirlah darahku dalam urat waktu
rinduku karenamu memburuku

kau hidup di dalam dan di luas diriku
tapi jarak namun terasa jauh
seperti lamun yang kian jatuh lusuh
membayangkan masa depan

2019

Bagikan:

Penulis →

Khanafi

Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 4 Maret 1995. Tulisan-tulisannya berupa puisi, cerpen dan esai tersiar di beberapa media massa baik daring maupun cetak, seperti: Detik.com, Langgar.co, Tukang Puisi, Koran Tempo, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyuwangi, Radar Banyumas, Utusan Borneo, Pos Bali, Majalah Pewara Dinamika Universitas Negeri Yogyakarta, Koran Dinamika News, dll, serta terikut dalam berbagai buku antologi bersama. Beberapa puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penulis berkhidmat di Forum Penulis Solitude. Sehari-harinya bekerja sebagai editor lepas dan penjual buku lawas. Buku kumpulan puisi yang akan cetak bertajuk Akar Hening Di Kota Kering (FPS: 2021) diterbitkan secara indie, dan sebuah buku kumpulan cerpen yang sedang disiapkan. Sekarang tinggal di Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *