Sesedih-sedihnya manusia yang terlempar begitu saja, lebih sedih manusia yang terpisah dari kerumunannya. Manusia terlempar masih bisa membangun keterkait-ikatan dengan sesama manusia terlempar. Bagaimana dengan manusia yang terpisah?
Heidegger mendasari filsafatnya dengan keterlemparan eksistensial. Manusia terlempar begitu saja sebagai bagian dari ‘ada dan waktu’. Manusia hanya bisa menjalani keterlemparannya tanpa bisa menundanya apalagi menolaknya. Keterlemparan melekat sebagai takdir. Bagi sebagian manusia, konsep dan gagasan keterlemparan ini membawa pertanyaan-pertanyaan penting tentang perasaan tak sempurna, serba kekurangan, dan terliputi kecemasan yang berujung pada kesedihan.
Salah satu cara yang ditempuh manusia untuk mengatasi kesedihan atas keterlemparan adalah dengan membangun kekerkait-ikatan dengan manusia lain. Tentu saja dengan sesama manusia terlempar. Manusia berkerumun dalam beragam entitas, membangun rumah bersama bernama keluarga serta masyarakat. Rumah bersama ini dibangun dengan fondasi saling membutuhkan. Manusia butuh bahu manusia lain untuk menyandarkan kepala yang berbeban.
Namun, dalam perkembangannya, masyarakat justru berubah menjadi sumber keterlemparan. Manusia melempar sesama manusia dalam berbagai bentuk dan beragam rupa. Dalam masyarakat yang sama, manusia saling melempar. Lebih menyedihkan daripada keterlemparan Heidegger, gejala saling melempar ini dilakukan oleh sesama manusia yang berada dalam ruang ‘ada dan waktu’ yang relatif sama.
Salah satu akibat saling lempar sesama manusia adalah keterpisahan. Manusia terpisah dengan sesama manusia. Keterpisahan ini terjadi dengan berbagai akar persoalan. Mulai dari persoalan politik-ekonomi, sosial-kultural, hingga psikologi-antropologi. Semua persoalan itu berjejalin dengan hiruk-pikuk keseharian manusia sehingga potensi destruktifnya menjadi samar.
Keterpisahan yang diabaikan menyeret manusia pada kecemasan, begitulah Erich Fromm melekatkan keterpisahan dengan kecemasan. Keterpisahan menumpulkan segala daya manusia mewujudkan tujuan-tujuannya. Baik tujuan hakiki seperti menemukan ruang aktualisasi diri maupun tujuan khayali seperti meraih semua mimpi masa kecil.
Tak jarang, keterpisahan menjadi penjara yang mengungkung upaya manusia menemukan kesejatian. Keterpisahan menjelma tembok tebal yang tingginya melebihi tingkat kewarasan manusia. Manusia seolah tak berdaya menaklukkan tembok penjara itu. Kewarasan pun menjadi daya manusia yang runtuh kali pertama.
Gejala keterpisahan merupakan gagasan yang layak diwartakan kepada banyak orang. Tak mengejutkan apabila banyak cerpenis mendedahkan gagasan keterpisahan dalam cerpen mereka. Tiga di antara banyak cerpenis itu adalah Faisal Oddang, Yusri Fajar, dan Agus Noor.
Faisal Oddang menulis cerpen Orang-Orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu untuk mengisahkan seorang perempuan yang tengah berdiri di simpang keterpisahan. Apabila ia menuruti bapaknya untuk mempertahankan agama di KTP, maka ia terpisah dari kekasihnya – seorang tentara. Sebaliknya, apabila ia tak menuruti, maka ia akan terpisah dari bapak. Rupanya, peraturan negara turut andil menyulut keterpisahan.
Senapas dengan itu, mahasiswa bernama Marwo harus rela hidup di negeri orang setelah keributan politik dalam negeri membuat beasiswanya dicabut. Ia melanjutkan hidup dalam keterpisahan dengan keluarga. Terpisah juga dengan negara yang selalu dirindukannya. Yusri Fajar merekam kisah Marwo ke dalam cerpen berjudul Surat dari Praha.
Sementara Agus Noor menyipratkan keterpisahan dengan cerpen Penyair yang Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya. Cerpen ini mewakili keterpisahan yang disulut oleh teknologi. Ada penyair hendak mengekalkan hubungan dengan kekasihnya. Ia membeli telepon genggam demi menutupi kedekilan. Alih-alih makin dekat dengan kekasih, penyair itu justru jatuh cinta dengan telepon genggamnya. Tak mengapa terpisah dengan kekasih asalkan tak terpisah dengan telepon genggam, begitulah sang penyair tak menyadari teknologi membuatnya terpisah dari kekasih. Sekaligus terpisah dari kewarasan.
Ketiga cerpen di atas ditulis sebagai respon sosial atas kehidupan kota besar seperti Praha, Jakarta dan Makassar. Namun, penyakit keterpisahan juga terjadi di daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur. Kita bisa menemukan bentuk keterpisahan yang bermuara pada gangguan jiwa dari cerpen-cerpen dalam antologi” Nadus dan Tujuh Belas Pasung”.
Penerbitan antologi ini digagas oleh Klinik Jiwa Renceng Mose bekerja sama dengan Yayasan Klub Buku Petra. Mereka berniat memberi gambaran nyata kepada khalayak tentang kehidupan orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Juga untuk menghimpun dana guna meningkatkan layanan kepada ODGJ di Nusa Tenggara Timur.
Tujuh belas cerpen yang termaktub dalam antologi ini ditulis oleh cerpenis-cerpenis yang berasal dari NTT. Nyaris semuanya tinggal di NTT. Ada juga nama Mario F. Lawi sebagai editor. Ini menarik karena cerpenis dan editornya bukanlah orang yang berjarak dengan realita. Setiap cerpenis menangkap interaksi mereka bersama ODGJ dengan kacamata masing-masing yang tentu saja tak seragam.
Cerpen Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya karya Marto Rian mengisahkan Nadus, pemuda gila berusia 24 tahun. Tiap hari ia berlari sepanjang jalan di tengah kampung. Ia lantang meneriaki warga yang hanya duduk minum kopi dan bermalas-malasan. Kegilaan membuatnya terpisah dari masyarakat, tetapi Nadus belum terpisah dari kewarasan.
“Kerja! Kerja! Kerja! Tuhan telah bersabda ada enam hari untuk bekerja. Mengapa kalian bermalas-malasan? Orang mati saja kerja, apalagi orang hidup.” (Lawi, 2020: 33)
Satir sekali. Orang gila mengucap sabda kerja kepada orang waras. Definisi gila dan waras barangkali hanya relativitas belaka, tergantung siapa memandang siapa dari sudut mana.
Segaris dengan cerpen itu, ada cerpen Seru Serangga dalam Diriku karya Christian Dan Dadi yang juga mencoba-dobrak pandangan umum bahwa kegilaan membuat orang gila terpisah dan tak bebas.
“Padahal, sementara kalian bergulat-gelut dengan wadak kosongku, aku sebenarnya sedang beterbangan liar di luar sana, melayah dengan kepak sayap yang bebas merdeka, sembari menyesap nektar harum wangi dari satu kelopak bunga ke kelopak bunga lainnya dengan sungut lengkungku. Bagaimana kalian pikir kalian bisa mengurungku wahai dokter bebal dan perawat cantik bak kuntilanak?” (Lawi, 2020:51)
Si ‘aku’ yang tak punya nama dan alpa usia meyakini ada serangga beranak-pinak di benaknya. Empat generasi ia mewarisi DNA ‘gila’. Ia adalah penyendiri di kamar sumpek redup. Ia berhalusinasi dalam kilatan sejarah dan filsafat. Bercakap dengan Zeus, berdebat dengan Socrates, meditasi bersama Gandhi, mendengarkan gelegar suara Soekarno, hingga berduaan dengan Nietzsche. Pun meminta bantuan Zeus ketika hendak dibawa ke klinik jiwa Sumber Waras, tempat dimana si ‘aku’ yang gila terbang bebas dan menemukan kebebasan.
Gejala keterpisahan berujung kegilaan tak hanya menghancurkan relasi individu dengan komunitas sosialnya, melainkan juga menggerogoti relasi dengan keluarga.
Cerpen Nion Ina Ema Bulakan karya Yanti Mesakh dan Membeli Ibu karya Anacy Tnunay menegaskan hal tersebut. Pada cerpen pertama, kepergian suami membuat sang istri gila. Ia dirantai karena bertindak memalukan di depan rumah orang. Akibatnya, anak lelaki mereka terpaksa jadi tulang punggung keluarga.
“Bukankah walaupun Ina mengidap kelainan jiwa, Nata dan adik-adiknya masih bisa bersekolah? Bukankah walaupun Ina mengidap kelainan jiwa, mereka semua masih bisa makan, tidur, dan berpakaian yang layak?” (Lawi, 2020:71).
Pada akhirnya, bersyukur adalah cara terbaik merawat kewarasan agar tak terhanyut dalam kegilaan. Apabila rasa syukur sudah luntur, bukan tak mungkin kegilaan akan menyeret keluarga pada kegilaan yang mengerikan. Lihatlah pergulatan dua bersaudara, Lori dan Sandri, yang masih duduk di bangku SD. Kedua ibu mereka sakit. Ibu Lori sakit jiwa, sedangkan ibu Sandri sakit raga. Kedua bapak mereka mengharapkan bisa saling bertukar kondisi. Sebagaimana kodrat para bocah sebagai peniru ulung, Lori dan Sandri diam-diam bersepakat.
“Lalu kau mau menjual ibumu?”
“Lalu ibumu, apakah kau mau juga menjualnya?” (Lawi, 2020:162)
Jual beli ibu di antara dua anak kecil sungguh memilukan. Ada keterpisahan tak terperi antara ibu dengan anak. Seandainya saja bapak Lori sanggup membangun ketak-terpisahan raga untuk menyulam keterpisahan jiwa dan bapak Sandri mau membangun ketak-terpisahan jiwa untuk menambal keterpisahan raga, dua anak kecil itu akan mengisi hari-hari dengan bahagia.
Lebih dalam, cerpen Segelas Teh untuk Ibu karya Maria Pankratia melukiskan bagaimana keterpisahan mendatangkan kegilaan lalu kegilaan mendatangkan keterpisahan berikutnya.
Seorang anak merantau hingga tersedot keangkuhan kota. Kesibukan kerja membuatnya enggan menjawab panggilan telepon ibu. Jadilah anak dan ibu terpisah lahir pun batin, fisikal maupun psikologis. Sang ibu memutuskan menjenguknya ke kota. Si anak menerima sang ibu dengan setengah hati. Entah apa yang melintasi kepalanya, si anak menghadiahi sang ibu dengan segelas minuman beracun.
“Ibu sebaiknya mati lebih dulu. Itu jauh lebih menenangkan.” (Lawi, 2020: 201)
Kegilaan yang dilakukan anak waras ini menandaskan betapa jahatnya keangkuhan kota memutus keterkait-ikatan ibu-anak. Kegilaan yang berawal dari keterpisahan lahir-fisikal bisa membukit menjadi keterpisahan batin-psikologis. Dampaknya mengerikan. Anak berani memilih terpisah selamanya dengan ibu. Padahal, sang ibu tengah mencoba menyambung kembali keterpisahan di antara keduanya.
Keterpisahan anak dan orang tua memang pedih. Obat kepedihan paling ampuh adalah kepedulian orang terdekat. Si mungil Gina dalam cerpen Gina karya Viktor Ara mencerminkan hal itu.
Gina, gadis kecil delapan tahun, menghabiskan hari-harinya di samping kios pasar. Ia selalu duduk di atas karung beras. Gina bisa menangis dan tertawa pada menit yang sama. Ia terpisah dari kenormalan orang-orang pasar yang menganggapnya gila. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri, sedangkan Gina semakin terasing dan terpisah di sela gelombang air matanya. Bersyukur masih ada kakak yang peduli.
Keterpisahan dengan orang-orang pasar bertumpuk dengan keterpisahan Gina dengan bapaknya yang tewas dalam kebakaran pasar. Gina tak menolak ketika ia terpisah dari orang-orang pasar, tetapi ia selalu mencoba tak-terpisah dengan bapaknya. Gina dan kakaknya menyalakan lilin mungil di tempatnya duduk sepanjang hari.
“Ini adalah kuburan ayah kami yang terbakar dengan kios kami satu setengah tahun silam.” (Lawi, 2020: 145)
Sementara itu, cerpen Antara Hujan dan Air Mata karya Riko Raden mengelindankan tiga keterpisahan dalam diri seorang perempuan bernama Maria. Ia pulang dari sawah dengan gelak tawa, teriakan meratap, dan tubuh berbalut sampah. Ia terpisah dari masyarakat. Sesungguhnya, keterpisahan itu hanyalah akibat. Penyebab utama keterpisahan itu adalah dua keterpisahan yang lebih menyakitkan. Pertama, Maria terpisah dari suaminya yang mati mendadak. Kedua, Maria merasa terpisah dari Tuhan yang tak jua mengabulkan doanya memohon hujan.
Komplitlah keterpisahan Maria. Setelah terpisah dengan suaminya dan Tuhan, Maria diperhadapkan pada fakta manusia-manusia yang membuang sampah di sungai. Ia terancam terpisah dari alam yang bersih. Maria pun mengacungkan parang ke udara untuk menghardik orang kampung yang hendak membuang sampah di tepi kali.
“Jangan buang sampah sembarangan. Pergi. Manusia-manusia keparat. Perusak lingkungan. Gara-gara ulah kalian hujan tak kunjung datang. Pergi!” (Lawi, 2020: 123)
Meski ada kejanggalan logika ketika ‘membuang sampah menyebabkan hujan enggan turun’, Maria mencoba merawat kewarasan masyarakat dengan mengusir orang-orang yang mengotori sungai.
Keterpisahan ternyata juga menerkam pendidik dan naradidik. Pendidik(an) yang mestinya bisa menjalankan peran mulianya sebagai pencegah segala keterpisahan justru menjadi sumber keterpisahan. Cerpen Ponakan karya Felix K. Nesi dan Laki-laki yang Mati Diam-Diam karya Afryantho Keyn menjadi narasi komplementer dimana pendidik dan naradidik sangat rentan terjangkit keterpisahan.
Ponakan bercerita tentang seorang pendidik yang menggantung leher ponakan sendiri pada pohon cemara lantaran sering menganggu konsentrasinya menulis. Sementara Laki-laki yang Mati Diam-Diam bercerita tentang Yosman, naradidik yang hidup bersama ayah seorang. Perundungan mental di sekolah membuatnya berontak dalam rupa kenakalan. Ia sering babak belur dikeroyok warga karena suka mencuri dan mabuk. Yosman merantau ke Malaysia secara ilegal. Tak lama, Yosman pulang setelah keluar masuk hutan dikejar polisi. Perahunya celaka, mayat Yosman ditemukan di pantai. Segelintir warga menguburnya dekat gelaran pesta. Semua abai, termasuk rohaniwan yang dikenal sebagai pemerhati gangguan jiwa.
Pendidikan tinggi pun memanggul tanggung jawab atas penyakit keterpisahan yang mendera mahasiswa. Laki-Laki yang Melihat UFO karya Alex Pandang layak dicermati untuk meneropong hal tersebut. Ada mahasiswa bernama Lazarus yang berasal dari golongan tau ata (keturunan hamba), kasta terendah dalam budaya Sumba. Lazarus adalah perpaduan ketampanan, kecerdasan, dan ketenaran. Namun, ia menyimpan kesulitan ekonomi. Ayahnya yang petani sirih dan pinang musiman tak sanggup mengirimkan uang bulanan.
Lazarus naik gunung bersama untuk menenangkan diri. Sial, ia jatuh terperosok. Teman-teman menemukan Lazarus dalam kondisi hilang kewarasan. Bisikan UFO memenuhi kepalanya. Keluarga menjemput Lazarus pulang. Keluarganya dicibir. Sebagian menuding Lazarus kena kutukan leluhur karena mengingkari kodratnya sebagai tau ata. Pondok kecil di kebun belakang rumah menjadi pilihan terakhir untuk memasung Lazarus.
Keterpisahan manusia dengan entitas sosial yang melingkupinya bisa jadi penanda betapa terpisahnya manusia dengan Pencipta. Pergulatan itu terentang sepanjang sejarah umat manusia. Manusia pun mencoba kembali pada kondisi tak-terpisah dengan Pencipta. Ikhtiar rohani tersebut ada kalanya ditempuh dengan memohon bimbingan rohaniwan. Tak pelak, rohaniwan sebagai pemimpin punya peran mulia mengajak manusia tak-terpisah dengan Pencipta. Namun, ikhtiar rohani tak pernah selancar seremoni.
Cerpen Orang Gila Berisik Sekali karya Yuf Fernandes dan Pasung karya Defri Ngo mengajak kita mengritisi ulah rohaniwan yang bertindak melawan panggilan rohaninya.
Dalam Orang Gila Berisik Sekali ada Maria dan Tryana, sepasang ibu dan anak. Keduanya hidup dalam lingkaran perundungan selangkangan. Maria memilih bunuh diri setelah membunuh lelaki yang menghancurkan hidup Tryana. Anak itu pun menjadi pelacur gila. Seorang calon pastor yang seharusnya menjadi payung hujan justru menjadi serigala selangkangan. Tryana melanjutkan hidup dalam pasungan di bawah pohon Ketapang depan gereja. Namun, Pencipta selalu punya cara merengkuh manusia ke dalam dekapanNya.
“Orang-orang yang melihat semua itu berkata satu sama lain, “Sungguh orang itu tidak bersalah.” (Lawi, 2020: 88).
Berikutnya adalah keterpisahan lantaran rohaniwan terpasung kesempitan berpikir. Rofinus yang terpasung dalam cerpen Pasung merasakan pahitnya lahir dari rahim ibu dalam keadaan terpasung tradisi. Si ibu tak bisa menghelat tradisi menyambut kelahiran anak karena tak punya cukup biaya. Suaminya merantau tanpa kabar.
“… saya bagai hidup seorang diri. Tidak ada seorang pun yang membantu hidup saya. Semua orang begitu jauh.” (Lawi, 2020: 110).
Rofinus tumbuh menjadi anak gila. Kerap bernyanyi dan berteriak tengah malam. Orang-orang memasungnya. Seorang pastor tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa. Rofinus mati dalam keterpisahan di bawah langit yang berubah warna oleh kembang api orang-orang yang merayakan Natal.
Dalam bahasa matematika, keterpisahan bisa dikatakan sehimpunan dengan bilangan π{\displaystyle \pi \,\!} (pi), bilangan irasional sekaligus transendental. Desimal bilangan irasional tidak akan pernah berakhir dan tidak akan pernah memiliki pola yang sama. Digit-digit desimalnya terdistribusikan secara acak. Transendensi bilangan pi mengerucut pada ketidakmungkinan mengkuadratkan lingkaran dengan hanya menggunakan jangka dan penggaris. Sejak ribuan tahun lalu sampai hari ini, tak satupun matematikawan menemukan jawaban memuaskan.
Keterpisahan pun irasional sekaligus transendental. Ia acak dan tidak akan berakhir. Ia adalah teka-teki yang membersamai garis sejarah umat manusia.
***