Orang yang ada di atas sana sedikit-sedikit menggebyur, sehingga guyuran air itu menghambat gerakanku. Kandung kemih orang itu mungkin sedang bermasalah sampai bolak-balik ke kamar mandi. Untung di cekung pipa tersisa sedikit ruang dan ke situlah kurapatkan tubuh setiap gelontor air datang.
Ada tiga petak di rumah kontrakan ini. Setiap petak memiliki kamar mandi sendiri dengan saluran pembuangan yang berbeda membuatku lebih mudah mencapai kamar yang hendak kutuju. Ketika aku masuk, sepertinya orang itu sedang berganti baju. Aku berharap sekaranglah orang itu sering-sering ke kamar mandi, agar aku punya banyak waktu.
Tempatnya berganti baju –mungkin pula ruang tidur—dibatasi tirai kain sebagai pemisah dari mana aku masuk sehingga menghalangi pandangannya. Ruangan yang sempit sedikit membantu, dengan mudah kutemukan satu-satunya meja yang ada di situ. Kupastikan hanya di atas meja itu tempat yang paling mungkin untuk menyimpan dan menyiapkan bahan aksinya, makanya aku naik ke situ.
Di atas meja kudapati kantong plastik pembungkus gula pasir, di dalamnya ada dua dari kami yang sedang saling menatap bingung menunggu nasib. Tidak mungkin menyusup ke dalam situ karena mulut kantong plastik seperti itu biasanya disimpul dengan karet gelang. Namun, saat kuperiksa, ternyata hanya dilipat.
Lalu semua cara yang mampu kami lakukan agar lipatan mulut kantong plastik bisa sedikit terbuka. Kami sempat berhenti, terkejut ketakutan, karena di tengah upaya kami orang itu muncul dari bilik kainnya. Orang itu ternyata tidak segera mengambil kantong plastik, menoleh pun tidak, malah pergi ke petak sebelah. Beberapa dari kami yang sudah melakukan pengamatan, mengatakan bahwa yang tinggal di sebelah itu seorang perempuan, dan menurutnya mereka mitra kerja. Jadi orang itu ke petak sebelah menemui mitranya, mungkin mengatur sesuatu dan kami pun meneruskan upaya mengutak-atik mulut kantong plastik.
Upaya susah payah kami akhirnya berhasil juga meluruskan sebagian lipatan mulut kantong plastik dan membuat sedikit celah untuk dilalui. Aku segera menyusup ke dalam kantong. Sewaktu kembali, orang itu sempat tertegun, pasti heran melihat lipatan mulut kantong plastik tidak seperti sebelumnya dan jumlah kami pun menjadi tiga. Sikapnya itu sempat mencemaskan kami. Untung saja orang itu segera meraih kantong plastik, melipat lagi ujungnya dan menyurukkan kami ke balik jasnya.
***
Beberapa dari kami telah melapor bahwa ada orang yang sudah berkali-kali memanfaatkan kami menipu sejumlah restoran, dan dari laporan-laporan itulah sampai Ketua menganggap persoalan ini perlu disikapi. Ketua menganggap kaum kami telah dilecehkan, dan tidak satu pun dari kami rela diperlakukan begitu. Makanya kami berkumpul dan merundingkannya.
Keputusan yang kami ambil harus ada pemberani di antara kami yang bersedia melakukan semacam misi pembalasan untuk memberi pelajaran pada orang itu. “Kerjai orang itu,” putus Ketua, yang usianya paling sepuh di antara kami. “Sebisanya buat orang itu tertangkap, agar tidak ada lagi yang mau meniru perbuatannya. Kalau tidak, kita bisa terus dikorbankan, dibuat mati konyol sebagai alat penipuan.”
Aku segera mengajukan diri. “Tapi ingat,” pesan Ketua, “bisa jadi ini misi bunuh diri.” Kusadari memang bertaruh nyawa; tapi di samping aku tahu diri badanku paling kuat dan besar dibanding yang lain, juga karena aku sudah sangat geregetan ingin memberi pelajaran pada orang yang telah menjadikan kami sebagai alat menipu itu.
“Beberapa dari kita sudah melakukan pengamatan di mana orang itu tinggal, demikian juga cara dia memanfaatkan kita ketika menjalankan aksi penipuannya,” kujelaskan ulang pada Ketua, sebelum mematangkan rencana misi.
Ketua manggut-manggut, menyergah menahan murka, “Laksanakan misi!”
Hasil keputusan pertemuan itulah sampai aku dan dua lainnya berada di dalam kantong plastik ini. Untung kami dikaruniai kemampuan menahan napas, bahkan bisa sampai 40 menit, dan sekitar waktu itu pula kami di dalam kantong plastik sebelum terdengar alunan musik. Berarti kami telah berada di dalam restoran. Orang yang mengantongi kami tentu pula sudah duduk, karena guncangan-guncangan tidak ada lagi. Meski sedikit lemas, kami segera berkemas menyiapkan siasat.
Tidak terlalu lama menunggu, orang yang membawa kami mengeluarkan kantong plastik, membuat kami di dalamnya jumpalitan. Begitu lipatan mulut kantong plastik diluruskan, trakea kami menghirup lega bersamaan antena kami mendeteksi aroma makanan yang amat lezat. Secepat yang aku bisa, kudorong kedua dari kami agar segera menjatuhkan diri dan secepatnya pergi. Begitu keduanya menghilang di bawah meja, aku pura-pura mati, diam memasrahkan diri ketika orang itu menjatuhkan tubuhku ke dalam kuah makanan. Ujung-ujung kakiku kuusahakan tidak terlalu dalam tercelup, menghindari panasnya kuah yang terhidang.
Orang itu sempat tertegun, pasti heran melihat hanya aku yang ada di dalam kantong plastik. Namun, karena harus memanfaatkan waktu tepat untuk mulai melancarkan aksinya, orang itu tidak bisa lagi berlama-lama memeriksa isi kantong. Berteriak kemudian ke pelayan seraya menunjuk-nunjuk hidangan di depannya, orang itu sengaja membuat teriakannya sedemikian gaduh, bermaksud memancing manajer restoran segera ke mejanya.
“Restoran macam apa ini!” orang itu menyerapah. “Restoran semewah ini, makanannya diisi yang menjijikkan!”
Dua pelayan dan di belakangnya kuduga manajer restoran tergopoh-gopoh datang. Aku melihatnya saat kukepakkan sayap, mengangkat tubuh dari hidangan. Meski memiliki empat sayap, takdir kami yang hanya bisa terbang dalam jarak pendek sudah cukup untuk membuatku sedikit berputar sebelum menukik ke bawah meja. Aksiku itu berkat mencuri waktu sesaat ketika orang itu berteriak dan wajahnya terangkat dari mangkuk makanan, menatap ke tempat pelayan berdiri.
Aku tidak ingin buru-buru pergi dari bawah meja; aku ingin melihatnya digelandang, kalau bisa menyaksikannya ditonjok ramai-ramai oleh karyawan restoran ini.
“Yang mana menjijikkan, Pak?” Sahutan itu kuduga dari manajer restoran, tapi tidak bisa melihatnya karena aku masih menyempil di sudut bawah permukaan meja.
Aku yakin orang itu hanya bisa melongo bingung dengan muka pucat, karena yang dibilang ‘menjijikkan’ itu sudah tidak ada di dalam hidangan di depannya. Kemudian ada suara lain yang sedikit berat dan tajam. Ini pasti suara petugas keamanan, yang tadi kulihat kakinya bergegas dari pintu depan mendekati meja tempatku bersembunyi.
“Heh, rupanya Anda, ya? Saya ingat … wah, Anda juga dulu yang teriak-teriak bilang ada yang menjijikkan di dalam makanan, dan keberatan minta ganti rugi. Wah, wah … waktu itu kami langsung memberi uang kompensasi, agar Anda tidak meributkan, yang bisa menjatuhkan nama baik restoran kami. Ternyata ini modus Anda saja, ya? Tadi, dari pintu depan kami amati, Anda mengeluarkan kantong plastik dari saku jas Anda, lalu menjatuhkan sesuatu ke dalam makanan ini.”
Orang itu beserta perempuan mitranya lalu dibawa ke ruang belakang restoran. Penampilannya saat beraksi yang selalu bersetelan jas dan perempuan mitranya bergaun anggun, akhirnya tamat. Laku penipuannya dengan menjadikan kami sebagai umpan yang mati konyol di dalam kuah makanan yang mereka pesan, lalu ribut komplain minta ganti rugi –ada dari kami yang bilang sering pula mengancam akan membeberkan ke media– berakhir pula hari ini. Setelah selama ini menggilir beberapa restoran, rupanya tanpa sadar orang itu memasuki restoran yang sebelumnya sudah pernah dimasuki dan petugas keamanan restoran mengenalinya.
Sukses misiku ingin kurayakan dengan mengepakkan sayap, hinggap dari meja ke meja dengan girang, tapi heboh yang ditimbulkan kejadian tadi membuatku harus tetap bersembunyi dulu. Beberapa orang berlalu-lalang, dan bila ada yang melihatku kisahku bisa jadi lain. Riwayat hidup seekor kecoak, sepertiku, bisa pula berakhir di bawah telapak sepatu orang-orang yang sedang berseliweran, bukan? ***