Catatan Kebencian Si Penulis Baru


“Cuih, ceritanya biasa saja!”

Aku berpikir kalau dia sebenarnya punya hubungan dengan pemilik, atau mungkin dengan redaksi, atau yang biasa dipanggil dengan editor itu. Sementara aku, entah sudah berapa kali kukirim cerpenku, tapi belum juga dilirik.

Kurasa dia sudah menemui orang-orang yang sebenarnya adalah temannya dan meminta mereka untuk memuat ceritanya. Paling dia akan memohon, dan berkata dengan kebohongan, “Tolong! Sekali ini saja! Aku hanya ingin lihat bagaimana pembaca menanggapi ceritaku.” Padahal nanti dia akan mengemis lagi, lagi, dan lagi. Jadi karena namanya sudah dikenal orang, tentu saja dengan berbagai siasat dan segala cara yang telah dia lakukan, maka cerpennya akan berkali-kali muncul, itu berarti tidak ada jalan untuk penulis baru macam aku ini untuk maju.

Aku bukannya cemburu atau apa, aku hanya ingin mengungkapkan unek-unekku. Setiap kali membaca cerita pendek yang tidak membuatku berdecak kagum—maksudku cerita biasa seperti yang baru saja aku baca ini, membuatku sedih memikirkan nasib tulisanku sendiri yang hanya mendekam di dalam folder. Kupikir punyaku lebih bagus dibanding cerita-cerita yang sudah lebih dulu muncul. Setidaknya, ceritaku bisa dikatakan sejajar dengan punya mereka.

Sama halnya juga cerita yang panjangnya sampai sepuluhribu kata, entah siapa yang akan bertahan lama-lama dengan bacaan sepanjang itu. Kalau aku, tidak mungkin kubaca sampai akhir, bikin mata selimpingan. Penglihatanku bakalan kabur ke mana-mana.

Kalau kukasih tahu mereka begitu, mereka nantinya akan bilang aku ini tidak mengerti sastra. Ya, kalau begitu, pembaca itu bakalan begitu-begitu saja. Tidak ada pertambahan. Hanya yang suka sastra saja yang akan menikmati, yang akan membaca. Meski memang cerpen ini termasuk karya sastra, tapi kalau harus bersusah payah untuk mengerti, pakai cara atau pemikiran ini-itu untuk bisa paham, maka sama saja kalau ini matematika. Sama-sama sulit, bedanya matematika ini lebih jelas karena punya akhir.

Tidak hanya sampai di situ, beberapa dari mereka nampaknya asal masukkan kata yang disukainya, sampai tidak jelas kenapa harus diikutkan. Sepertinya merasa kalau ada kata asing hasilnya akan membingungkan pembaca, dan pastinya akan disukai editor karena membuat penasaran.

Tidak hanya tentang alirannya, tapi juga tentang penerimaannya. Sok ikut penulis ini atau penulis itu. Hei, kenapa kau tidak bongkar saja isi kepalamu itu, luapkan semua idemu, tunjukkan gayamu sendiri. Sederhana bukan? Ah, aku harus katakan ini pada rekan sesama penulisku. Mereka mungkin tidak kenal aku yang belum punya cerita dimuat di surat kabar, dan yang jelas bikin aku kesal sama media-media yang hanya terbuka pada orang-orang lama, yang sudah terkenal.

Bagaimana pula juga waktu kukirimkan mereka surat elektronik, tidak ada yang membalas. Apa tidak ada yang menjaga kotak suratnya itu. setidaknya buatlah surat balasan. Bayangkan saja betapa menderitanya melakukan sesuatu yang sudah disungguh-sungguhi, tapi malah diabaikan. Kudengar alasannya karena cerita yang masuk itu ratusan, jadi tidak ada jalan bagi mereka untuk memberi kepastian pada penulis. Padahal aku ini tidak bisa tenang begitu saja. Apa aku harus mengirim seratus cerita, agar semua email yang terpampang itu menampakkan namaku? Bikin seratus cerita itu sama dengan menghitungi helai-helai rambutku.

Lah, waktu tunggunya pun terlalu lama dan aku tidak boleh mengirim ke tempat lain. Tidak ada waktu pasti untuk aku, tapi tidak bagi mereka. Aku tadinya mau bilang satu bulan saja, nanti kalau tidak ada balasan dari mereka, akan kukirim ke koran atau media lain. Tapi bagaimana kalau kutarik, lalu kukirim ke tempat lain, sebulan menunggu, kutarik lagi, kukirim lagi ke tempat lain, kutarik lagi, kukirim ke tempat lain, dan kalau begini, tidak ada yang akan baca tulisanku. Hanya menunggu saja. Jadi sama saja kalau mereka minta aku melupakan cerita yang sudah kukirim, untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Jika sudah menunggu, mereka akan mengatakan waktunya berurutan untuk membacanya. Lalu saat editor sudah berhadapan dengan naskah-naskah yang masuk, mereka hanya akan membaca bagian awal saja, dan tidak melanjutkan lagi. Kalau begitu kenapa tidak saat menerima email saja mereka menentukan lolos atau tidaknya cerpen itu. Katakan saja, “Oh ini untuk sementara OK.” 

Kudengar memang seperti itu. Ada kalanya editor akan melihat paragraf pertama saja. Jadi coba saja jika aku bisa memberi ide ini pada mereka, walau aku sudah bisa menebak, bagaimana mereka akan membenciku karena coba mengoreksi pekerjaan mereka.

Tapi kudapat dari teman seperjuanganku, mereka bilang jawabannya hanya satu, menulis lagi saja. Lalu bagaimana jika nasib ceritaku itu harusnya bersinar bulan ini, tapi karena ditahan-tahan malah jadi menghilang cahayanya.

Dan bagaimana juga kalau editor itu sebenarnya adalah penulis, bagaimana jika dia mengambil ideku, lalu menuliskannya dengan cara lain dan lebih panjang. Aku curiga pada setidaknya satu atau dua orang yang sebenarnya berada di balik surat elektronik. Kemungkinan dia tidak meloloskan ceritaku, lalu mencomot satu dua fragmen dan mengirimnya ke tempat lain. Atau mungkin saja, kalau sampai dimuat, akan ada yang bilang ceritaku ini mencontek dari penulis sebelumnya, Baiklah, nanti akan kubuktikan dengan banyak bukti.

Temanku ada juga yang bilang begini: tulis saja di tempat yang bebas seperti blog atau media pribadi. Cuih, memangnya gampang menarik pembaca. Memangnya ada yang mau baca. Ceritaku meski kusebar di berbagai tempat kalau tidak ada penggemar ya tidak mungkin kedatangan pembaca.

Alurnya kan begini, kita cari pembaca dulu dari media besar, lalu bawa mereka ke mana pun kita mau pergi, seperti menerbitkan novel atau kumpulan cerita. Tapi mereka yang sok-sok-an mau menentangku bilang, aku hanya mengharapkan uang saja dari media ini.

Padahal ada yang lebih besar dari uang: nama. Sudah kubilang kan namaku harus jadi besar untuk menjadi penulis yang sesungguhnya. Macam… siapalah itu aku lupa namanya meski ceritanya biasa kubaca karena namanya sudah besar. Kata orang, kalau mau belajar menulis, baca karyanya. Sayangnya, jalan pikiranku tidak sesuai dengannya. Aku tidak suka membaca tulisannya. Aku lebih cocok dan lebih bisa memahami cerita-cerita yang muncul di media online terkenal itu.

Ya, kurasa begitu saja. Catatan ini nanti akan kuketik ulang di komputer kalau aku sudah kembali bersemangat. Akan kutulis apa adanya, tanpa perlu lagi memikirkan untuk mengedit atau menghapus kalimat mana yang harus kubuang. Soalnya semuanya kurasa penting. Setidaknya dibanding tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Tapi kalau misalnya aku ingin mengirim catatanku ini, apa ada yang akan memuatnya ya?



Bagikan:

Penulis →

Jelsyah Dauleng

Alumni Universitas Negeri Makassar, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Karya-karyanya telah dimuat di beberapa media. Tinggal di Siwa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *