Kita Rayakan Rindu-Dendam

Kelebat Tubuhmu, Chin!

Aku ingin ketika membelah selat
kau tak menjerit walau sampan terlambung-lambung
ombak memecah di wajahmu; kita rayakan rindu-dendam

seberapa resah laut ini hingga sampanku terlambung
nyaris membentur karang

(o. aku ingin memberimu seutas sunyi yang ungu)

andai kaurasakan angin basah dalam pelayaran ini
angin basah yang kelat itu adalah bentuk setia
yang selama ini kupelihara dalam badai dan gelombang

dan selat ini seperti dugaanmu kembali berkabut
denyar-matamu juga berkabut
kukira detak jantungmu tidak lagi teratur
sampan berayun-ayun dilambung ombak
tetapi engkau berharap kita terus membelah selat
: “kayuhlah, kayuh sampai ke ujung selat!”

(gerimis ritmis segara anakan
benteng pendem basah
angin laut beraroma dangdut: sampan meluncur
ombak memercik, hati kita basah
kenapa begitu lindap tatapan matamu; chin?
kita larungkan seluruh sembilu
kita rayakan sukacita ini; bersulang cawan-cahaya-hati)

bila waktu menjadi tolok ukur kebersamaan ombak dan debur
sudah berapa lamakah engkau menerjemah gelora laut?

Sampanku masih jauh bahkan teramat jauh dari tanah tepi
tapi kelebat tubuhmu amatlah anggun di atas permukaan laut
lalu kukayuh pendayung mengucur keringat
senantiasa memeluk kelebat tubuhmu!

Jaspinka, 2021





Menyisir Selat

asap rokok terus mengepul dari rongga mulutnya
tatapannya kosong
tetapi hati dan pikirannya berkata-kata

: “senja telah menelikung bayanganku
    berapa lama lagi menunggu gerimis ini berhenti
    menemui dirinya di ujung dermaga
    untuk berbagi kilau pelangi
    dan memahami debur ombak menghempas karang”

ia tersenyum, menata hati dan pikirannya

“akan kupahami ombak, kutaklukkan gelombang!”

ia pun bergegas ke dermaga

setelah ia naik dan seharian di atas perahu
yang kayunya sudah mulai berlumut
berlayar menyisir selat
dan di kanan-kirinya tebing karang
ombak berdebur-debur
angin berdesir-desir, kelat
matahari memecah
laut berkilat-kilat

tuhan, ia melihat sepotong hati terapung-apung
membentur-bentur dinding perahu

“ou, weisku! apakah ini hatimu?”

dengan sangat hati-hati ia raih sepotong hati itu
didekapnya sangat erat
matanya berkaca-kaca

“cinta tumbuh dengan bunga luka!”

perahu meluncur perlahan
angin berdesau-desau!
 
Jaspinka, 2021




Sumur dalam Diri

pohon kebohongan yang tumbuh dalam dirimu
kian rimbun dan menjulang
dan kulihat engkau begitu renyah tertawa
setiap kaupatahkan, setiap kaugugurkan
ranting dan daun kebohongan
yang bersembilu berduri
lalu di hari-hari berikutnya
pohon itu ranggas
dan ketika angin deras menghantam
pohon itu tumbang
tercerabut akar-akarnya yang rapuh
engkau pun berjalan terhuyung-huyung
tidak bisa tidur sepanjang tahun

tanpa dendang, tanpa puisi
hanya ratap yang terdengar

sumur dalam diri yang kaugali
kian dalam kian berpasir berbatu
keringatmu menggenang
waktu melipat sejarah kecil yang pahit
zikir sepanjang tualangmu sangat sederhana
: tuhan, titah bulan dan matahari ia dustakan
  ia jatuh kian dalam  jatuh ke dalam sumur dalam diri
  yang curam berpasir dan berbatu

“gali, gali terus sumur dalam diri hingga koyak dadamu”

engkau pun terus saja menggali sumur dalam diri
hingga limbung dan terjungkal

di telapak kakiNya!

Jaspinka, 2021




Dada Bergemuruh

sampanmu deras meluncur, membelah selat
dengan ombak berdebur-debur
meninggalkan dermaga, menuju laut yang jauh
yang berpalung dalam dengan ribuan ikan-ikan
dengan ribuan kata-kata bercahaya

engkau ingin selalu memeluk gelombang laut
yang berdebur, yang berdebur

ketika engkau harus pergi jauh
meninggalkan lautku
: butir sajak serupa apa yang kaubawa
  kautimang-timang sepanjang perjalanan?
  apakah sajak yang kutulis di tengah amuk gelombang
  atau di runcing geraham karang
  atau engkau telah membuang seluruh kenangan
  seluruh sajak dan menepiskan pasir yang
  menempel di badan dan langkahmu pasti, tegap—
  sekali pun tidak menoleh ke belakang
  dengan dada bergemuruh, bergemuruh!

Jaspinka, 2021





Deja Vu

ia tidak buta, tidak tuli
ia berjalan dengan kepala menunduk
hendak bertandang ke sahabatnya; deja vu
bermuka-muka dengan masa lalunya
berdiskusi tentang masa depannya
ou, sedang apakah deja vu?
mungkin tengah membuka-buka kamus bahasa asing
menekuri buku kumpulan puisi
membaca seputar sufi dan metafisika
atau berkutat dengan filsafat dan teologi

: “ah, deja vu; hujan deras ini tak akan
   menyurutkan langkahku!”

gigi gerahamnya terdengar bergemeletuk
deja vu sama sekali tidak bergeming
diam bersila dengan kelopak mata terpejam.

Jaspinka, 2021





Anggrek dalam Pot

ia paling tidak suka pada perempuan
yang tidak menyirami anggrek dalam pot
di halaman rumahnya
hingga daun-daunnya layu
kelopak bunganya gugur, meranggas dan mati
lalu muncul pertanyaan dari dalam pikirannya
: bagaimana mungkin perempuan serupa itu bisa setia
  pada kekasihnya, bagaimana mungkin mau berkorban
  untuk orang lain?

dari anggrek dalam pot itu
ia belajar sifat dan karakter seorang perempuan
ia pun ingat kata seorang sahabatnya yang penyair
suatu hari: “memang tidak mudah menanam anggrek
sebab butuh ketekunan dan keikhlasan!”
dan engkau tahu, ia paling tidak suka
kepada sesuatu yang berlebihan?
sesuatu yang membuatnya muak
dan ia segera pergi menyisir laut, bercengkerama
dengan karang-karang, dengan ombak yang berdebur
ia akan menjauh dari dirimu.

Jaspinka, 2021




Bagikan:

Penulis →

Eddy Pranata PNP

Meraih juara 3 Lomba Cipta Puisi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017 dan 2018, Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Sejak tahun 2014 mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia.

Puisinya dipublikasikan di Horison, Litera, Kanal,  Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Singgalang, Haluan, Harian Fajar, , Tanjungpinang Pos, Solopos, Minggu Pagi dan lain-lain.

Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017),,Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019).

Puisinya juga terhimpun ke dalam antologi: Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Bersepeda ke Bulan (2014), Negeri Laut (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Seutas Tali Segelas Anggur (2017), Negeri Bahari (2018), Kota Kata Kita (2019), Semesta Jiwa (2020), Rantau (2020) dan lain-lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *