Perempuan itu dijumpainya pertama kali saat lelaki itu sedang duduk di atas sebuah bangku kayu, di samping lapak seorang pedagang makanan dan minuman. Perempuan yang mengaku baru pindah ke kota ini. Perempuan yang mengingatkannya pada seseorang yang jatuh ke dalam jurang. Perempuan yang bertanya: Di mana tempat beli bunga edelweis? Dan membuat lelaki dan pedagang itu kebingungan. Tak tahu jawabannya.
Sebulan setelah pertemuan pertama itu, si lelaki dan perempuan itu sudah akrab lalu menjadi sepasang kekasih.
Perempuan itu sering bercerita tentang dua ekor kupu-kupu dan seekor kumbang. Cerita yang selalu ditanyakan perempuan itu kala mereka sedang berdua; sebagai bukti apakah si lelaki menyimak ceritanya atau tidak. Dan perempuan itu jadi kesal jika lelaki itu salah menjawab. Maka, mau tak mau, lelaki itu wajib menghafal—walau tak mesti mendetail—cerita perempuan itu; meski lelaki itu sudah malas dan bosan mendengarnya.
Dan beginilah kisah yang diceritakan perempuan itu:
Ada seekor kumbang yang berkenalan dengan dua ekor kupu-kupu putih dan hitam, sewaktu si kumbang bertandang ke kerajaaan kupu-kupu; membawa jutaan tetes madu, bersama rombongannya.
Kupu-kupu hitam—yang memang lebih agresif dari kupu-kupu putih—tanpa sungkan, bertanya di mana gerangan tempat si kumbang menghisap madu. Dan si kumbang menyebut nama sebuah gunung yang penuh bunga edelweis.
Diam-diam, kupu-kupu hitam mengintai si kumbang saat menyerbuk sari dari ragam bunga dan kala mengumpul nektar. Namun kupu-kupu hitam tak tahu bahwa kupu-kupu putih menguntit aksinya.
Terkadang, ketika kedua kupu-kupu itu sedang mengintip si kumbang, mereka juga melihat ada manusia di tempat itu.
Sewaktu di hutan; kedua kupu-kupu itu pernah melihat seorang wanita cantik memanjat pohon lalu berhenti di sebuah dahan yang kokoh. Lalu wanita itu berdiri. Satu tangannya menyangga sebuah dahan dan tangan yang satunya lagi mengelus–elus bagian dadanya yang tertempel secarik kertas berisi tulisan tangan si wanita; yang tak bisa dibaca oleh kedua kupu-kupu. Lalu wanita itu membuat dua simpul dari tali tambang. Satu dikaitkannya di sebuah dahan, sedang simpul satunya yang berbentuk lingkaran dikalunginya di lehernya. Wanita itu berbicara pelan dan kecil; entah pada siapa. Entah apa yang diucapkannya. Kupu-kupu tak paham. Lantas meluncurkan tubuhnya ke bawah dahan dan membuat tubuhnya tergantung hingga tak bernafas.
Ketika di pinggir sungai; kedua kupu-kupu itu pernah melihat dua orang—pria dan wanita—bertengkar. Entah apa yang dipertengkarkan. Kupu-kupu tak tahu. Tak lama kemudian, si pria menggebuk kepala si wanita dengan sebuah balok. Darah mengalir bercampur air sungai. Si pria masih terus menggebuk. Menggebuk bagian tubuh yang lain. Dan ketika si pria melihat si wanita tak bergerak, si pria mendorong tubuh si wanita mengikuti arus sungai yang lebar itu. Sepanjang mata memandang—dari tempat kedua kupu-kupu hinggap—tak ada batu menjorok yang nampak.
Saat di lembah; kedua kupu-kupu pernah melihat seorang wanita dikejar seorang pria. Ketika sampai di tepi tebing, si wanita menunjuk si pria sambil berkata dalam bahasa yang tak dimengerti kedua kupu-kupu itu. Pria itu berhenti melangkah. Menangis. Sambil berdiri, pria itu berbicara keras, tapi tak seperti orang yang sedang marah pada si wanita. Selama itu, kedua kupu-kupu itu melihat si wanita yang lebih banyak marah. Dan selang beberapa detik, si wanita menerjunkan dirinya; membiarkan badannya dikoyak batu–batu cadas pun karang dan terbawa gelombang laut di bawahnya. Si pria memburu hingga pinggir tebing. Ia berteriak-teriak mengeluarkan sebuah kata yang kerap diulang-ulangnya. Kata yang kedua kupu-kupu tetap tak tahu artinya. Si pria, menangis sejadi-jadinya; sekeras-kerasnya.
Tapi di suatu senja yang lembab, kupu-kupu hitam kepergok si kumbang. Kupu-kupu hitam tersentak kaget. Kupu-kupu putih pun begitu. Tapi si kumbang tak marah. Ia malah nampak senang. Begitu yang dilihat kupu-kupu putih dari tempatnya mengintai.
Sejak itu, kupu-kupu hitam sering bertemu si kumbang di kala sore menyembul. Dan tak lupa berkisah pada kupu-kupu putih tentang setiap pertemuannya dengan si kumbang. Tapi kupu-kupu hitam tak pernah menyampaikan salam si kumbang pada kupu-kupu putih. Dan tak juga berkisah bahwa si kumbang selalu mencari si kupu-kupu putih.
Si kumbang tahu bahwa kupu-kupu hitam suka padanya. Meski dia lebih suka kupu-kupu putih. Kupu-kupu hitam pun tahu hal itu dan menyimpan cemburu di hatinya.
Kupu-kupu hitam pun senang kala si kumbang coba merayah hatinya. Kupu-kupu hitam tak peduli itu canda atau serius. Dan jadilah kupu-kupu hitam yang duluan bercinta dengan si kumbang. Lalu menceritakannya pada kupu-kupu putih. Kupu-kupu putih pun jadi patah hati.
Tapi di suatu senja, kupu-kupu hitam berubah muram, laksana mendung senja itu. Katanya pada si kupu-kupu putih bahwa si kumbang sepertinya sudah malas bersua dengannya. Lagipula kumbang-kumbang lain pun kayaknya bekerja sama dengan si kumbang. Sudah seminggu lebih, si kumbang tak lagi dijumpainya di tempat biasa mereka bertemu. Dan jika kupu-kupu hitam bertanya: Ke mana gerangan si kumbang?—pada kumbang lainnya—jawabannya beda-beda; ada yang bilang pergi ke sawah, ada yang bilang ke istana lalat, ada pula yang bilang ke rumah manusia, dan lain-lain. Si kupu-kupu hitam mencari ke tempat-tempat itu tapi tak mendapatnya.
Hingga di suatu siang kupu-kupu hitam melihat si kumbang dan kupu-kupu putih asyik melebur asmara. Kupu-kupu hitam sakit hati.
Kupu-kupu putih lalu diracun oleh si kupu-kupu hitam. Bangkai kupu-kupu putih ditanam si kupu-kupu hitam sejauh mungkin. Jauh dari tempat si kumbang sering bersua dengan kupu-kupu putih, jauh dari kerajaan kumbang dan kerajaan kupu-kupu; pun dari gunung yang bertabur edelweis itu.
Dan si kumbang hanya bisa selalu menunggu kehadiran si kupu-kupu putih. Menunggu dan menunggu hingga kupu-kupu hitam berganti warna menjadi kupu-kupu putih.
***
Lelaki itu tak pernah banyak tanya lagi. Tak seperti waktu awal ia mendengar cerita perempuan itu. “Kenapa begitu? Kenapa begini? Terus bagaimana? Kenapa cuma sampai di situ ceritanya?” apalagi berkata, “Jelek ceritamu.”
Oh, tidak! Lelaki itu tak ingin mengatakannya pada perempuan itu, meski menurutnya cerita si perempuan terlalu mengada-ngada. Ia takut perempuan itu akan meninggalkannya.
Namun di suatu hari, lelaki itu memutus tali cintanya dengan perempuan itu; saat tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan ayahnya juga. Perempuan yang banyak menghabiskan uangnya demi lelaki itu dan ayah si lelaki. Lelaki itu tak terima diduakan. Perempuan yang sempat melintas di halaman rumah seorang sahabat si lelaki di suatu malam saat pertandingan domino sudah masuk babak final. Perempuan yang menyebabkan lelaki itu sering salah turun kartu. Membuat kawan dan lawan mainnya sering terheran pun para penonton. Membuat ia dan pasangan mainnya mendapat juara dua, meski kesempatan untuk juara pertama sering berpihak padanya. Perempuan yang hadir di malam mappacci’ sahabat si lelaki.
Lelaki itu tak menyangka bahwa perempuan itu adalah mantan pacar kekasihnya yang jatuh ke dalam jurang. Seseorang yang dikenal lelaki itu di sebuah kelompok pencinta alam; seseorang yang pernah ingin mati bunuh diri, namun masih ada sang pencegah maut; seseorang yang pernah hanyut terbawa air sungai setelah terhantam balok, namun ajal belum menjemputnya kala itu. Seseorang yang sangat menyukai kupu-kupu dan bunga edelweis.***
Keterangan: Mappacci: Salah satu bagian dari prosesi pernikahan suku Bugis yang artinya penyucian diri bagi calon mempelai. Acara ini diadakan sehari sebelum akad nikah.