Setelah 15 Tahun Berpisah

Di satu pagi yang lembab, penulis kita berangkat ke ibukota mengenakan setelan orang kantoran. Kemeja putih, dasi, lengkap dengan jas, celana hitam dan sepatu mengkilat. Semalam, hujan lebat turun. Berjam-jam tidak mau berhenti, seperti tangisan penyair tua yang dijatuhi nasib malang. Membuat jalan-jalan menjadi becek, tanah liat menjadi lengket. Hanya satu-dua jalan saja yang sudah diaspal di kampung penulis kita. Ia berjalan dengan berjinjit dan sangat berhati-hati. Penulis kita tak mau sepatu dan celananya menjadi kotor. Ia akan malu.

Penulis kita mendapat sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal minggu lalu. Sebuah pesan yang membuat penulis kita panas-dingin. Sebuah pesan yang membuat penulis kita sangat terganggu. Tidurnya menjadi tak lelap, selera makannya hilang. Terlebih lagi ide-ide tulisannya. Berulangkali ia mencoba untuk meneruskan novel-novel yang tengah ditulisnya. Tetapi semua gagal. Penulis kita merasa geram sekali sampai memaki-maki.

“Hai, Prof. Apa kabar? Aku tahu janji ini sudah lama sekali, tetapi janji ini selalu kuingat. Karena janji itulah aku bisa mencapai posisiku sekarang. Kamu tentu masih ingat janji kita dulu kan? Setelah perpisahan sekolah, kita berjanji bahwa kita akan berjumpa lima belas tahun kemudian untuk saling bercerita mengenai kisah-kisah hebat kita. Oh, iya, jangan lupa bawa fotomu yang di Patung Liberty. Aku juga akan bawa…” demikianlah inti pesan yang menyerang mental penulis kita.

“Itu cuma ocehan bocah labil,” kesal penulis kita. “Enggak perlu dianggap seriuslah!”

Dulu, lima belas tahun lalu, penulis kita memiliki janji seperti itulah kepada kawan sekolahnya, Damario. Mereka juga berjanji bahwa mereka berdua akan pergi ke Patung Liberty—walaupun tidak bersama—sebagai wujud dari kesuksesan mereka. Penulis kita ingat janji itu. Ia berkata bahwa dirinya akan menjadi seorang yang besar, yang dikenal banyak orang karena opini-opini hebat, buku-buku bermutu. Lalu ia akan mengajar dan menjadi guru besar di sebuah universitas. Sementara Damario berkata bahwa ia akan menjadi seorang bintang model. Mereka berdua adalah dua siswa berprestasi di sekolah. Penulis kita banyak memenangkan kompetisi-kompetisi ilmiah, dari tingkat kecamatan hingga nasional. Begitu juga dengan Damario. Ia banyak memenangkan kontes foto sampul majalah dan cat walk. 

Namun, semua prestasi yang telah diraih oleh penulis kita ternyata tidak cukup untuk membuat dirinya menjadi seperti apa yang ia harapkan. Ia gagal. Ia belum pernah pergi ke Amerika atau pun Patung Liberty. Ia juga tidak terkenal. Ia bukan guru besar. Akan tetapi, syukurlah, ia telah menghasilkan dua buah novel yang penjualannya menyedihkan.

Sebelum menerima pesan Damario itu, penulis kita tahu bahwa janji itu akan terjadi minggu depan. Ia berpikiran bahwa jika Damario tidak menghubunginya maka ia pun tidak akan mencoba untuk mencari nomornya dan mengungkit perihal janji ini. Dengan begitu, walaupun mereka berdua sama-sama menjadi pecundang, setidaknya mereka berdua tidak perlu berlakon sebagai orang yang telah sukses. Namun, hal itu tidak terjadi. Bagaimana pun, ia mesti berlakon. Ia mesti memerankan tokoh itu karena pesan Damario tersebut.

Kini, lima belas tahun kemudian itu ialah hari ini. Mereka berjanji untuk berjumpa di satu restoran bintang lima pukul dua tengah hari.

Penulis kita tinggal di sebuah kampung di Kabupaten yang cukup jauh. Jarak antara kampungnya dan ibukota Provinsi adalah lima jam. Sebab itulah penulis kita telah berangkat pagi-pagi sekali menumpang taksi gelap.

Sejak seminggu lepas, penulis kita ragu. Apakah ia akan datang mewujudkan janji lama itu ataukah tidak. Apabila ia tidak datang maka tentu saja konsekuensinya adalah Damario akan mengecapnya sebagai pecundang dan si mulut besar. Tetapi, apabila ia datang, ia mesti melakonkan drama itu dengan sempurna.

“Bismillah,” pelan penulis kita mengawali dramanya—setelah merenggangkan tulang-tulangnya karena terjepit di kursi taksi bagian belakang yang sempit dan masuk ke restoran bintang lima itu.

Penulis kita menoleh ke kanan dan kiri. Mencari si Damario kawan lamanya itu. Lalu, penulis kita melihat seorang lelaki tinggi dan putih melambaikan tangan kepadanya.

Itulah kawan lamanya. Wajahnya putih-bersih bersinar-sinar. Berbeda dengan penulis kita, pakaian Damario bergaya casual yang santai tetapi memukau. Ia hanya memakai kaos polo berwarna biru muda, jeans hitam, sepatu putih Adiddas, serta jam tangan hitam yang tampak mahal.

Maka berpelukanlah penulis kita dengan Damario kawan lamanya, si model papan atas itu. Mereka mengobrol panjang lebar, dari A sampai Z. Seraya menyantap hidangan-hidangan mereka yang memukau, begitu lezat, dan tak terlupakan.

Damario bercerita bahwa karirnya cemerlang. Ia menjadi duta merk-merk pakaian terkenal. Ia melakukan fashion show dari kota ke kota, bahkan hingga ke luar negeri.

“Minggu depan aku pergi ke Singapore, ada meeting sama satu brand yang baru lahir sekaligus mau fashion show,” ucap Damario dengan bersemangat.

“Wah, Kamu memang luar biasa, Mar. Saya bangga sama Kamu,” balas penulis kita menanggapi cerita mengagumkan kawan lamanya itu.

Tak mau kalah, penulis kita pun berkelakar dengan megah. Ia mengatakan begitu banyak pencapaian halusinasinya. Singkat kata, penulis kita bukan hanya bisa menulis, tetapi juga seorang aktor yang handal.

Seraya mengobrol panjang lebar bersama Damario, penulis kita sesungguhnya sedikit gentar melihat hidangan-hidangan yang silih berganti dihidangkan oleh para pramusaji. Tentu saja semua hidangan itu lezat, mantap luar biasa. Namun, yang ditakutkan oleh penulis kita adalah harga dari makanan itu semua. Sementara uang yang ada di dompetnya tidaklah seberapa. Ia yakin bahwa uangnya tak akan cukup membayar hidangan-hidangan tersebut.

Penulis kita mencoba menenangkan diri bahwa semua makanan itu akan dibayar oleh Damario, mengingat ia adalah seorang model sukses—meskipun ia sedikit heran karena ia tak pernah sekali pun melihat batang hidung Damario di televisi maupun di internet.

Damario lalu mengeluarkan ponsel mahalnya dan menunjukkan foto kerennya berpose di patung Liberty. Melihat foto itu, penulis kita menelan ludah. Kemudian setelah ditanya oleh Damario mengenai fotonya, penulis kita mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Tentu saja foto itu tidak asli. Itu hanyalah foto editan seseorang yang bekerja di jasa cetak foto.

Seorang pramusaji datang mengeluarkan tagihan makanan.

“Biar aku saja yang bayar, Prof,” tegas Damario.

Penulis kita mengangguk, diam-diam mengembuskan nafas lega.

“Eh, Prof. Maaf sekali, Kamu boleh bayar dulu enggak? Nanti aku ganti. Uang tunaiku tak cukup!”

Penulis kita kaget bukan kepalang. Ia tak tahu mesti mengucapkan dialog yang seperti apa.

“Eh, saya … saya pun lupa ambil uang tadi,” tukas penulis kita.

Dua sekawan ini ribut saling suruh untuk membayar tagihan makan siang itu. Pada akhirnya, penulis kita mengeluarkan semua uang yang ia punya. Demikian juga dengan Damario. Namun, bahkan akumulasi uang mereka baru separuh dari tagihan restoran bintang lima tersebut.

Maka mereka berdua mesti bekerja di restoran itu sampai malam—menyuci piring, menyapu, mengepel, dan membuang sampah.

Di malam hari, ketika hendak pulang, penulis kita dan Damario saling berpamitan. Mereka berdua sama-sama mampus menahan malu. Penulis kita pulang berjalan kaki ke arah Selatan. Damario pulang berjalan kaki ke arah Utara.

Johor bahru, 16 Juli 2020




Bagikan:

Penulis →

Hadiwinata

Lahir di Palembang 1998. Penulis di Perayaan Hari Puisi Makassar dan Riau 2017, Banjarbaru Literary Festival 2017, Bengkulu Literary Festival 2018, dan lainnya. Tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan online dan turut hadir dalam beberapa buku antologi, seperti Menderas Sampai Siak (2017), The First Drop of Rain (2017), Negeri Bahari (2017), dan Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (2018). Buku tunggal pertamanya: Sepanjang Jalan Kesedihan (Penerbit Kabisat, 2021).

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *