Malaikat Bermata Terang

PEREMPUAN BERMATA TAJAM
: angel

dia berlari tapi bukan ke belakang
ditembusnya kabut dari asap gas
di jalanan yang gaduh!

“segalanya (akan) baikbaik. Oke.”

segalanya baikbaik, meski
sebuah lubang peluru di kepala
telah mengantar dirinya ke keabadian
— yang lebih berkeadilan —

setelah kawankawannya dia tolong
menghapus perih di mata
dari air keran di jalan itu

siang yang kering

lalu tanda itu yang dikalungkan
pesan di selembar kertas
ditinggalkannya di jalan itu

sebab ia telah menembus aral
dikepakkan sayapnya. ia terbang
membebaskan diri dari senapan
yang tak hentihenti mengaum

di jalan yang gaduh
di depan anakanak muda
yang kelak penopang ini negara

perempuan bermata tajam
peri bagi kemanusiaan

KA, 4 Maret 2021





PULANG KE RUMAH TUHAN

ia dilahirkan tanpa luka
oleh ibu-bapaknya

ia meradang ke jalan
ketika tahu negerinya terluka

ia bawakan hati yang putih
namun peluru bersarang di kepala

ia ligat menembus kepulan asap
diinginkan hanya air air air

tapi, ia lupa, peluru tak bermata
kepalanya luka, di jalan itu ia kembali

pulang ke rumah Tuhan
pintu istana masih begitu kuat





SEBELUM HABIS KISAH
:bagi fat

jika kauterima kabar
hendaknya selisihi

di kedai ini begitu syahdu
irama hujan yang sendu
senja hampir saja rampung

kauceritakan tentang kabar
tapi, kau tahu, baiknya usah
dari seorang. cari tahu dari
lainnya; tokoh dalam kisah itu

sebelum habis kisah
kau hanya gelisah

jika kau faham betapa lidah
bagai penari; katakata meliuk
di pinggul perempuan

dan siapa pun akan mabuk!





KAU MASIH MEMILIN KATA

masih juga kau kencani katakata
padahal orangorang sudah lupa
merangkai bahasa hingga lelap
kala sampai. kau dengar kalimat
dalam iklan, ruang sidang, meja
wakil rakyat, anakanak yang
meramaikan jalan sambil teriak
dan tangan mengacung udara

kecuali, malaikat bermata terang
ia tak pernah mencuri katakata
melainkan bahasa tubuhnya
mau mengatakan; negeri ini
harus diselamatkan!

Kecuali…

kecuali…

apakah kau masih memilin kata
seperti penjahit kau pun menjahitnya
jadi pakaian indah di badan






SEBAGAI PENYAIR

kiranya kau masih duduk sebagai penyair
di depan katakata yang bagai pejantan
tak kuasa kau rayu. ia liar seperti petarung
kau tak mampu untuknya terkurung

jadi kalimat meliuk,

masih duduk sebagai penyair
kau ingin ubah katakata sekeras baja
jadi atom kecil, dan kau tiup ruh di sana
“jadilah puisi, pelangi di langit usai
hujan. anakanak terpaku menyaksikan
indahnya,” jampimu

tapi, kiranya kau masih duduk sebagai penyair
di kursi empuk, dalam ruang dingin, asbak
dikerubungi abu rokok, segelas ampas kopi,
bayangan perempuan berambut cemara

udara dingin pegunungan. botolbotol bir,
serbuk yang pernah membuatmu terbang
dengan sayap dari katakata. melepas baju,
telanjang di trotoar kota. kau muntah, puisi
yang keluar. kau teriak, nama penyair lain
mengalir di sana

kau masih duduk sebagai penyair
: ingin (benarbenar) jadi penyair
di tanah yang tak pernah gembur
selain bagi orang yang berkumur





SELAMAT JALAN

selamat jalan, bisikmu
ranjang putih
        dinding putih
aroma obat bagaikan bunga
beterbangan

tapi aku belum ke manamana
masih di sini    
             kusisir usia
                kuraba langkah

selamat jalan, katamu lagi
seperti memaksaku pergi
tapi aku belum pula mandi
tak ada jadwal perjalanan

    pesawat
         kapal laut
            kereta
               bus
(hanya beri abaaba mau jalan
namun tak juga bergerak…)





Bagikan:

Penulis →

Isbedy Stiawan ZS

Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di pelbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.

Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020), dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021).

Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi.

Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *