Judul Buku : Ulid Sebuah Novel Penulis : Mahfud Ikhwan Penerbit : Shira Media Cetakan : Pertama, 2021
Desa merupakan gambaran dari dunia yang sederhana dan sarat akan harmoni. Dari desa kita bisa mengaca bagaimana memaknai hidup, belajar tentang solidaritas dan gotong royong, serta menyemai benih-benih kesederhanaan hidup. Desa menyimpan nilai luhur yang nampak alpa di kota, semisal solidatritas dan gotong rotong yang telah disebut tadi. Namun, apakah hari di era global ini, dengan giatnya modernisasi, nilai-nilai luhur tadi masih kekal pada diri masyarakat desa? Atau desa telah bersalin rupa dengan gegap gempita yang mengambil referensi dari kehidupan di perkotaan?
Menarik, untuk terus mengulik perihal desa dan semesta kehidupannya. Bagi pengarang, desa serupa ladang ide. Karya sastra menjadi salah satu media yang turut ‘mempromosikan’ kehidupan di desa kepada khalayak pembaca. Permasalahn di desa beserta bermacam tantangannya menjadi hal yang menarik untuk disajikan pengarang ke hadapan pembaca.
Salah satunya bagi Mahfud Ikhwan, relasi Mahfud Ikhwan dan desa nampak gamblang dalam karya-karyanya. Ulid, Kambing dan Hujan, Dawuk hingga novel terbarunya Anwar Tohari Mencari Mati begitu sarat akan pembahasan tentang eksotisme desa. Nampaknya, bagi Mahfud desa serupa tempat kembali bagi jiwa-jiwa pengembara. Desa adalah lumbung inspirasi baginya. Banyak kisah yang bisa diteroka dari sebuah desa.
Mahfud selalu menyuguhkan kemanusiaan yang tidak mendayu-dayu. Kisah-kisah yang ia sajikan merupakan kisah-kisah yang membumi. Narasi-narasi hidup yang mudah kita jumpai. Namun, kisah-kisah itu membuat kita sejenak merenung dan menghayati bahwa ada hal-hal kecil dalam hidup ini yang tidak tersentuh oleh pikiran kita yang melangit.
Karya Mahfud dikemas dengan bahasa yang renyah namun penuh makna. Apa yang diangkat dalam ceritanya bukan hal yang sensasional dan fenomenal. Namun, karya-karya itu kaya akan filosofi. Salah satunya bisa kita tilik melalui novel berjudul Ulid.
Sarat akan Aroma Desa
Ulid merupakan nama tokoh dalam novel berjudul Ulid yang digarap oleh Mahfud Ikhwan. Tokoh Ulid menjadi sentral dari cerita. Melalui petualangan dan kisah yang dialami Ulid, pembaca dikenalkan pada sebuah desa bernama Lerok. Lerok digambarkan sebagai desa yang cukup terisolir dan terancam akan geliat perubahan. Lerok adalah desa yang terisolir. Pasalnya, kendaraan umum dan aliran listrik belum menjamah desa itu. Ini disebabkan letak Lerok yang dipeluk dan dikelilingi oleh perbukitan. Kecelakaan yang pernah dialami oleh kusir dokar beserta kudanya ketika mencoba menuju ke Lerok membuat mereka jera untuk kembali membawa dokar ke sana.
Lerok yang menjadi latar cerita novel Ulid adalah sebuah desa di Jawa Timur. Tempat ini begitu kental akan aroma dan nuansa pedesaan. Masyarakatnya mayoritas adalah petani yang amat bergantung pada hasil bumi. Mereka menggantungkan hidup pada hasil panen.
Dalam novel Ulid, pembaca disuguhkan realita sebuah desa yang minim perhatian pemerintah dan kalah. Kehadiran pemerintah di Lerok nampak tiada. Ini bisa ditilik dari belum adanya listrik yang mengaliri desa. Ditambah lagi keadaan jalan yang masih apa adanya. Desa itu juga tengah kalah oleh pasar dan pemodal.
Bengkoang menjadi salah satu andalan pertanian di Lerok. Ulid selalu membanggakan dan menceritakan bengkoang Lerok sebagai bengkoang yang termanis dan terenak di muka bumi. Namun, kehidupan para petani bengkoang yang menggarap lahannya perlahan dan pasti terancam. Ketika harga bengkoang turun, mereka tidak bisa berbuat banyak. Bukan hanya kalah oleh persaingan pasar, mereka juga diresahkan oleh alih guna lahan yang saat itu direncanakan pemerintah.
Selain bengkoang, Lerok juga terkenal dengan produksi gamping. Masyarakatnya banyak yang berkarya dan bekerja sebagai pembakar gamping. Namun, keadaan pembakar gamping disanapun tak kalah sialnya. Mereka belum bisa menjamin tercukupinya kebutuhan hidup. Hadirnya pabrik semen membuat harga gamping anjlok.
Keadaan yang kurang bersahabat dan perasaan tidak dapat berkembang di Lerok menjadi muasal sebagian besar warganya memilih hijrah ke kota. Sebagian besar dari mereka memilih menjadi TKI di Malaysia. Keadaan ini menyebabkan wajah lerok perlahan namun pasti berubah. Lerok yang awalnya menggantungkan diri pada genset sebagai sumber asupan listrik mulai berubah setelah tiang-tiang beton listrik berdiri gagah di Lerok. Lerok mulai berbenah dan bercahaya. Televisi berwarna yang dulunya tidak ada di Lerok semakin mudah dijumpai.
Keadaan ini banyak mempengaruhi kebiasaan hidup di Lerok. Hadirnya listrik dan gejala urbanisasi membuat sawah dan ladang bengkoang mulai sepi. Masjid yang dulunya sebagai tempat tidur kebanyakan berapa remaja Lerok mulai jarang ditempati. Mereka lebih senang hanyut dalam tayangan-tayangan televisi. Jubung sebagai tempat membakar gamping perlahan namun pasti mulai ditinggalkan dan roboh.
Ini adalah sebagian cerita yang disampaikan Mahfud Ikhwan dalam novel Ulid. Kehidupan petani bengkoang dan pembakar gamping di Lerok begitu detail serta gamblang dikisahkan. Bagaimana gamping dan bengkoang ditinggalkan dan dilupakan juga secara rinci diceritakan. Perubahan orientasi hidup di desa ini juga menjadi bahan penceritaan. Di Lerok, perlahan Malaysia menjadi tujuan.
Gejala Urbanisasi
Urbanisasi dalam arti perpindahan orang-orang ke kota adalah hal yang wajar. Ini terjadi karena kota lebih banyak menawarkan pekerjaan dan kesuksesan. Di kota lapangan pekerjaan lebih banyak tersedia. Banyak narasi-narasi kesuksesan di kota sehinnga menarik orang desa untuk pergi ke sana. Dalam novel Ulid pun terjadi hal yang demikian.
Sebagian besar masyarakat Lerok mengais rejeki di Malaysia. Masyarakat Lerok dengan narasi kesuksesannya di negara tetangga menjadi magnet tersendiri bagi warga lainnya. Mereka mencoba mengikuti jejak langkah mereka yang sukses mengadu nasib di negeri Malaysia.
Keadaan ini sontak berimplikasi pada kehidupan di Lerok. Lerok mengalami transisi besar terkait mata pencaharian. Membakar gamping dan berladang bukan lagi menjadi pilihan. Pergi ke Malaysia kini menjadi impian. Berbondong-bondong mereka pergi merantau, sejenak meninggalkan desa. Mengadu nasib di kota besar dengan ikhtiar memperbaiki finansial
Banyaknya masyarakat Lerok yang pergi ke Malaysia berbanding lurus dengan masuknya barang-barang modern ke Lerok.. Hadirnya listrik di Lerok semakin menyemarakkan desa. Lerok mulai cerah. Selain karena lampu juga disebabkan oleh kesejahteraan secara finansial.
Lerok mulai bersalin wajah. Jalan-jalan di Lerok mulai layak. Pembangunan rumah di Lerok bukan hal yang baru. Rumah-rumah disana mulai berbenah. Kini, disana mudah dijumapi rumah-rumah yang indah dan berdiri secara megah. Sepeda motor juga bukan lagi hal yang baru asing lagi. Di sana, sepeda motor dengan begitu mudah dapat dijumpai.
Lerok yang bersalin rupa menjadi lebih modern bukan tanpa cela. Ulid salah satu orang yang merasakannya. Ia merasa banyak hal yang hilang dari masa kanak-kananknya. Ulid meratapi masa lalunya yang hilang. Bengkoang dan jubung serta bukit tempat bermainnya dulu kini telah tiada.
Tetapi pada saat yang bersamaan Ulid beserta warga Lerok lainnya juga bergembira pada saat modernisasi memoles desa itu. Ulid mahfum bahwa perubahan adalah hal yang wajar. Sudah sewajarnya Lerok terus berbenah menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Gejala urbanisasi dan modernisasi yang hadir di Lerok tidak serta-merta mengubur identitas masyarakat Lerok. Modernisasi dan urbanisasi tidak menjadikan masyarakat Lerok lupa akan jati dirinya. Di perantauan, warga Lerok tetap memegang teguh identitas kedesaan mereka. Aliran dana dari warga Lerok yang merantau pun tetap ditujukan untuk kemakmuran desa. Ini dibuktikan dengan hadirnya masjid yang lebih layak dan semakin bagusnya jalan desa. Masyarakat Lerok diperantauan tetap bangga pada identitas desa mereka. Singkatnya, masyarakat Lerok tetap memenangi modernisasi dan urbanisasi yang telah mereka bawa sendiri.***