Dalam perjalanan menuju Hotel Dewi Ratih, saya kembali bercerita tentang Martin. Martin yang sering melantunkan lagu kesukaan saya, Panggung Sandiwara, dengan suara beratnya. Saya menyebut suara Martin itu sebagai suara yang lelaki banget. Saya berandai-andai tiba-tiba bertemu dengan Martin.
“Di mana Bang Martin sekarang? Ia seperti hilang dari panggung kehidupan?” tanya istri saya. Mobil melaju pelan, ada perbaikan jalan.
Dari belakang kemudi, saya mengangkat bahu dan menggeleng. Itu juga pertanyaan saya selama beberapa waktu; di mana Martin?
***
Martin datang dari Ambon. Ia merantau ke Semarang bukan untuk menjadi mahasiswa. Ia menumpang hidup di kamar Gibson, teman sekampungnya di Maluku sana. Kamar Gibson bersebelahan dengan kamar saya. Tiap malam Martin pergi ke kafe menawarkan suaranya yang lelaki banget itu.
Gibson mahasiswa Akuntasi. Karena Gibson mengambil D3, maka ia lulus lebih dulu dibanding saya. Gibson pulang ke kampungnya di Ambon, karena diterima bekerja di sebuah perusahaan tour and travel di sana. Dengan begitu, Martin tak punya tempat menumpang hidup lagi, lalu saya menawarinya untuk tinggal di kamar saya.
“Terima kasih, kawan. Nanti kalau aku ada uang, biar aku bayar sewa kamu punya kamar,” katanya.
“Jangan pikirkan itu, Bang.”
Selain bersuara bagus, Martin juga lelaki sejati. Ia menepati janjinya untuk membayar sewa kamar saya. Kehidupan Martin sudah membaik, ia sering mendapat job manggung di kafe-kafe. Alhasil, selama hampir satu tahun Martin tinggal di kamar saya, saya tidak memikirkan uang sewa bulanan.
Saya sangat percaya pada Martin. Kalau sedang pulang kampung ke Pekalongan, saya titipkan kunci kamar dan motor pada Martin. Saya lebih suka pulang naik bus.
Sampai suatu hari Martin mengatakan akan mengadu nasib ke Jakarta. Seorang kenalan mengajak Martin untuk rekaman. Malam itu Martin menyerahkan gitar kesayangannya pada saya; gitar yang selalu ia bawa tiap malam ke kafe.
“Ini gitar terbaik yang pernah aku punya. Sekarang ini milik kau.”
“Jangan bercanda, Bang.”
“Kau tak mau?”
“Bukan begitu, Bang. Berapa harga gitar ini, Bang?”
“Dulu kubeli tujuh ratus ribu. Kalau sekarang mungkin dua jutaan.”
“Ini terlalu mahal untuk saya, Bang.”
“Tapi, memberi sesuatu pada sahabat harus dengan sesuatu yang terbaik, bukan?”
“Tapi, Bang, saya tak bisa bermain gitar.”
“Bagus itu. Kau perlu gitar terbaik dan berlatih memainkannya.”
“Tetapi, bukankah gitar ini modal Bang Martin cari duit?”
“Modalku suara. Gitar ini hanya pendukung, atribut saja. Lagipula, aku bisa mencari gitar lagi sesampai di Jakarta.”
“Baiklah, Bang. Saya terima gitar ini. Terima kasih, ya, Bang. Maaf, saya tak bisa memberi kado perpisahan buat Bang Martin.”
“Sudah,” Martin menepuk bahu saya. “Kau membolehkan aku menumpang di kamar kau, itulah kado terbaik dari kau selama ini.”
“Semoga Bang Martin jadi penyanyi terkenal, Bang,” ucap saya. Itu sungguh. Sosok Martin memenuhi syarat jadi pesohor; jangkung, mata yang tegas dan teduh, ganteng, dan bersuara bagus. Itu modal yang sangat cukup untuk menjadi terkenal.
Esok hari sekira pukul 8 pagi, saya mengantar Martin sampai ke Stasiun Tawang.
Lima tahun telah berlalu dan saya kehilangan kontak dengan Martin. Lelaki itu telah mengeluarkan tiga album –saya punya semua CD albumnya. Kabar terakhir dari televisi, Martin akan mengadakan tur ke 20 kota.
Martin tentu begitu sibuk hingga tak sempat mengontak saya. Begitu pula saya. Saya tak ingin menganggu kesibukan Martin dengan dering telepon atau pesan-pesan singkat.
Pernah saya mencoba menelepon Martin, tetapi sinyal selular di sini sangat sulit. Saya harus ke lapangan dekat sekolah untuk mendapatkan sinyal. Dua kali saya berhasil menghubungi Martin, tetapi segera terputus karena sinyal yang buruk.
Pemerintah menugaskan saya mengajar di sebuah SD terpencil di lereng Pegunungan Perahu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Segalanya serba terbatas di sini. Anak-anak bersekolah tanpa sepatu; bersandal jepit, ada pula yang nyeker alias tanpa alas kaki.
Saya tidak kebagian rumah dinas, sehingga terpaksa menumpang di rumah dinas Pak Kamsun, penjaga sekolah.
Ada dua kamar di rumah yang menyatu dengan gedung sekolah itu. Pak Kamsun punya dua anak, tetapi semuanya sudah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing. Pak Kamsun gembira menerima kedatangan saya dan menganggap saya sebagai pengganti anak-anaknya. Isteri Pak Kamsun sudah meninggal beberapa tahun silam.
Kalau sore saya gemar duduk di teras bersama Pak Kamsun. Bicara tentang banyak hal berteman kopi dan singkong goreng. Saya sering bercerita tentang Martin pada lelaki yang ubannya telah merata itu.
Saya bercerita dengan bahasa sederhana bahwa, Martin seorang pengelana dari Ambon yang pandai menyanyi dan memainkan gitar.
“Orang Ambon memang pandai menyanyi. Beda dengan orang Jawa,” kata Pak Kamsun.
“Mengapa dengan orang Jawa, Pak?” tanya saya.
“Orang Jawa pandai korupsi,” sahut Pak Kamsun lantas tertawa, menampakkan giginya yang tersisa beberapa biji.
Pada kesempatan lain lelaki tua itu bertanya tentang gitar di kamar saya yang tak pernah saya mainkan.
“Saya tidak bisa, Pak. Pernah saya mencoba mempelajarinya, tetapi saya cepat bosan dengan sesuatu yang rumit. Saya menyebut gitar itu sebagai gitar tanpa nada,” kata saya.
“Sayang sekali,” sahut Pak Kamsun, lantas meminta saya mengambil gitar itu.
Saya kaget ketika jari-jari keriput Pak Kamsun memetik dawai gitar, lalu dari bibirnya yang keriput pula mengalunlah tembang Panggung Sandiwara. Serasa Martin hadir di hadapan saya.
Saya terpana dan memejamkan mata meresapi benar lagu yang dilantunkan lelaki tua itu dan ketika lagu telah usai, seketika saya bertepuk tangan.
“Pak Kamsun hebat!” kata saya.
“Belum sehebat Fatima,” sahutnya.
“Fatima?”
Pak Kamsun bercerita tentang keponakannya yang bekerja di Malaysia. “Minggu depan Fatima pulang,” kata lelaki tua itu.
“Tentu Fatima akan membawa banyak oleh-oleh untuk Pak Kamsun,” sahut saya tersenyum.
Pak Kamsun terkekeh. “Sudah dua masa kontrak dia di Malaysia. Saya memintanya pulang,” katanya.
“Mengapa, Pak?”
“Tak baik gadis lajang terlalu lama merantau,” sahut Pak Kamsun, kali ini sudut matanya mengerling, entah apa maksudnya.
Dan, Fatima pun pulang. Wajahnya manis, kulitnya coklat bersih, berjilbab, langkahnya gemulai seperti kucing dan saya kira usianya sekitar 25 tahun.
Setiap sore Fatima main ke tempat kami. Mula-mula Pak Kamsun ikut duduk di teras, tetapi kemudian dengan berbagai alasan ia memilih menyingkir.
“Saya ajari main gitar ya, Pak Rizky?” kata Fatima suatu sore.
“Sekarang?”
“Ya. Gampang, kok, Pak, asal Pak Rizky rajin latihan.”
Saya menurut saja. Sore-sore berikutnya, Fatima tekun mengajari saya memainkan gitar. Ajaib, saya mampu memainkan beberapa nada. Dulu, ketika Martin yang mengajari, saya kerap jengkel karena selalu gagal. Mm, mungkin itulah alasan mengapa banyak perempuan yang sukses menjadi guru, hehe….
“Gitarnya bagus, ya, Pak? Boleh saya meminjamnya?” tanya Fatima suatu sore.
“Kalau Dik Fatima suka, ambil saja.”
“Sungguh?”
Sekarang di kamar saya tidak ada gitar lagi, tetapi setiap sore saya bisa memegangnya ketika Fatima membawanya untuk kami mainkan bergantian.
Suatu malam ketika Fatima telah pulang –setelah kami puas main gitar bergantian—Pak Kamsun bertanya tentang gitar itu.
“Fatima masih meminjamnya?” tanya Pak Kamsun.
“Sekarang gitar itu miliknya, Pak. Saya telah memberikannya.”
“Begitu, ya?”
“Ada apa to, Pak?”
“Ah, tidak. Hanya bertanya.”
Bagi saya pertanyaan Pak Kamsun itu menyimpan misteri. Lama saya memikirannya dan terhenyaklah saya. Saya teringat pesan Martin sebelum kami berpisah: “Jaga gitar ini. Jangan kau berikan pada siapapun, kecuali pada orang yang kau sayangi.”
***
Kami dalam perjalanan kondangan ke resepsi pernikahan anak bungsu Pak Effendi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Batang. Resepsi ada di Hotel Dewi Ratih, Batang. Dari Desa Bawang tempat tinggal kami, kami menempuh rute melalui Desa Limpung, Desa Banyuputih, Desa Subah dan seterusnya. Di Desa Subah di jalur pantura inilah perjalanan kami tersendat karena ada perbaikan jalan.
Untuk mengusir jenuh karena jalanan macet, saya berandai-andai kami bertemu Martin di tempat resepsi yang akan kami datangi di Minggu siang itu. Berandai Martin kalah bersaing dengan penyanyi-penyanyi baru yang bermunculan seperti jamur di musim hujan. Untuk bertahan hidup Martin jadi penyanyi organ tunggal di acara resepsi. Siapa tahu, bukan?
“Seperti cerpen saja,” komentar istri saya.
“Anggap saja kita bagian dari sebuah cerpen,” sahut saya terkekeh.
Mobil melaju pelan. Melaju beberapa meter saja, lalu saya menginjak rem lagi. Uff, macet ini akan lama.
“Kamu sudah mencari Martin di media sosial? Facebook, Twitter, Instagram….”
“Aku hanya punya Facebook. Sudah kucari di sana, tapi belum ketemu. Mungkin Martin pakai nama samaran,” sahut saya.
“Orang terkenal nggak pakai Facebook,” tukas istri saya. “Kamu carilah Martin di Twitter atau IG.”
“Begitu, ya? Yalah, nanti aku bikin akun di Twitter dan IG,” sahut saya.
Mobil kami melaju pelan lagi hingga tiba di ujung kemacetan. Saya menambah kecepatan mobil, tetapi bukan ngebut, berharap belum terlambat menghadiri resepsi.
Di kejauhan tampak Pegunungan Perahu berselimut awan putih. Di lereng pegunungan itulah saya sering membawa cerita tentang Martin pada orang-orang yang saya kenal, hingga berakhir pada pertemuan saya dengan Fatima istri saya.
Mobil sudah memasuki kota Batang. Plang nama Hotel Dewi Ratih sudah terlihat di utara jalan dekat gapura bertuliskan: Selamat Datang di Kabupaten Batang. Mobil kami memasuki pelataran parkir hotel itu.
Dada saya berdebar. Bagaimana kalau imajinasi saya benar; Martin jadi penyanyi di resepsi itu? Bila terjadi, itu adalah keajaiban seperti cerpen. Jangan-jangan saya memang sedang berada dalam sebuah cerpen?***
Batang, 28 Maret 2021