Merawat Bulir-Bulir Air Mata
bulir-bulir airmata jatuh lalu menjelma anak sungai yang menumbuhkan sekian pohon-pohon yang semakin hari semakin mengakar kuat di telapak tanganmu. bulir-bulir airmata adalah butir-butir beras yang mencair setibanya ia berawal dari keduabelah matamu. bulir-bulir airmata sengaja diciptakan untuk menghidupi ikan-ikan yang berkolam di cuping telingamu. bulir-bulir airmata yang menjadikan matahujan-matahutan, mataangin-matasetia, mataapi-mataabu, saling berbagi lingkaran dunia satu sama lain. bulir-bulir airmata yang mengendapkan luap-ledak seisi dadamu yang pecah. bulir-bulir airmata mewakili keberpisahanmu pada segenap yang terkasih di alam baka.
: selalu ada bulir-bulir airmata yang jatuh
dan tumbuh dari kelopak pandangmu
Ciputat, 2020
Senja bagi Pesunyi
saya berkata kepada senja,
“kubawa nama, kaupilih satu.”
senja masih sama seperti
seorang ayah yang pendiam,
tak banyak menggerutu
“kupilih kau yang malang,” ucapnya
lalu seketika tubuh saya pecah
dan melayang-layang
pulang ke Tuhan
Ciputat, 2020
Sabda Semu Tuan Penyair
jangan sesekali mudah percaya padanan kata yang disabdakan tuan penyair yang kadang melankolik kadang pula garang; meliuk penuh intrik, merengkuh segenap strategi, pun di lain waktu sabda-sabdanya dapat menggugat dan menerabas tanpa ampun manusia pelahap tahi. sosok tuan penyair dan padanan sabdanya adalah dua hal yang, terkadang saling bersinggungan, namun di waktu yang nyaris berhampiran: sama. baginya, runcing paruh kata adalah senjata bertaring sengketa. bergelut-tengkar di ujung labuhan. puisi-puisinya sekadar ditulis tanpa maksud diperdengarkan. namun malang, betina-betina terusir dari koloninya, masih suka terjebak sabda si tuan penyair.
Ciputat, 2020
Membaca Ayat-Ayat
ayat-ayat yang dibacakan
menjadi titah dedaunan
manakala belulang
layu diterpa si
mata angin
ayat-ayat dalam rehal itu
menjadi darah senja
yang mengalir
sepanjang
waktu
ayat-ayat purba dijamak
dalam pemahaman
yang stagnan
dan usang
mati
Ciputat, 2020
Petaka Laksa Api
aku adalah laksa api yang dirudung petaka
manakala jawatan semilirmu berteluk pada angin
yang dilahirkan oleh gulma-gulma pagi
dan aku si laksa api yang malang
hanya memperhatikanmu dari kabar gulita
aku adalah laksa api yang tak sekalipun
pernah kauhirau, si pemilik mata embun
sehingga lambat laun aku mulai mengerti
tentang sebenar-benar arti kebermilikan
kukenang kau sekadar bentuk puisi
tanpa makna dan sunyi
Ciputat, 2020