Di Antara

ORANG-ORANG biasa memanggilnya Pon. Jika kau bertemu dia di jalan ada baiknya kau menyapa dia dengan nama pemberian orang-orang itu, ia pasti akan memberi senyum yang paling tulus kepadamu. Senyuman yang membuatmu menyadari jika masih ada bagian dari dunia ini yang tidak tersentuh kebohongan. Bagian yang dimiliki oleh dia yang dianggap gila oleh sebagian besar orang.

Sebenarnya Pon bukanlah orang gila, tidak sepenuhnya gila. Aku sendiri juga bingung tentang kriteria apa saja yang digunakan orang-orang kebanyakan hingga mengidentifikasi Pon sebagai orang gila.

Jika kau mau memperhatikan Pon, maka kau akan menyadari siklus yang unik. Di siang hari, Pon akan dikategorikan oleh kebanyakan orang sebagai orang gila; sedangkan di malam harinya, Pon akan menjadi seorang pemikir: duduk memandang rel kereta api dari tempat yang aman. Lalu, saat ia mengantuk ia akan pergi ke pasar terdekat dan tertidur. Dan yang paling unik adalah saat sore dan senja hari, karena aku tak bisa menemukannya, meski sudah kutelusuri seluruh kota yang tak terlalu besar ini.

Orang-orang mulai menganggapku aneh. Setidaknya bukan gila. Dan aku merasa bahwa sebutan aneh lebih tepat daripada gila, terlebih untuk Pon. Memang apa yang aneh? Dan bolehkan kita menyebut sesuatu yang berbeda dari diri ataupun kebanyakan menjadi sesuatu yang aneh dan gila? Sedangkan, di sisi yang sama, orang-orang itu ingin diidentifikasikan memiliki keunikan tersendiri. Cukup aneh, kan?

Aku juga mulai disebut-sebut orang-orang sebagai keponakan dari Pon. Sebelumnya maaf karena aku lupa bercerita bahwa Pon berusia hampir sama dengan bapakku, sedang aku adalah mahasiswa semester tiga di jurusan yang bukan favorit kebanyakan orang. Namun, aku menyukainya.

Saat aku berpapasan dengan Pon, aku akan menyapanya seperti dengan pamanku sendiri dan Pon akan memberikan senyum yang sudah kuceritakan padamu. Terkadang Pon memberikan tampahan kalimat yang selalu membekas di pikiranku: Sudah berapa lama kau tidur, Nak? Lalu, di akhir kalimat tanya itu selalu Pon bubuhi tawa yang khas. Pertanyaan itu amat membekas, bahkan saat aku kuliah pertanyaan itu lebih membekas dibanding materi perkuliahan yang sedang diajarkan ataupun sudah kudapat sebelumnya.

Jadi, sudah berapa lama aku tertidur?

HARI ini aku memutuskan untuk menunggu Pon di tempat yang ia sukai, tepian rel kereta api. Aku menunggunya selepas ashar hingga magrib, waktu di mana Pon menghilang dari kota yang tak terlalu besar ini. Aku begitu penasaran dari mana Pon akan muncul. Dan dari mana Pon sebenarnya pergi.

Aku benar-benar menunggu. Mulai mendengar suara orang-orang yang berlalu-lalang, berkata bahwa aku benar-benar pantas disebut sebagai keponakan Pon. Namun, aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu.  

Langit makin jingga!

Beberapa kereta telah lewat, meniup rambutku yang cukup panjang. Membuatku teringat akan kalimat itu: sudah berapa lama aku tertidur? Saat kebingungan itu datang, hal yang sama kulakukan seperti Pon. Menatap langit!

Aku seolah melihat lautan di atas sana.

Saat kecil, aku sering ke laut. Dan di saat sekolah menengah, lautan sudah kunamai dengan kebebasan. Aku tak bisa berenang dan hanya menikmati sisa-sisa ombak yang membasahi kakiku, dan agaknya itulah sebab kenapa kunamai lautan sebagai kebebasan. Cukup sederhana.

“Sudah berapa lama kau tertidur, Nak? Hehe…”

Aku terkejut. Pon sudah duduk di sampingku.

“Menungguku ya?”

Aku seolah kembali menjadi bocah. Hanya bisa mengangguk: iya. Ia benar-benar menjadi paman sedang aku keponakan kecilnya. Sungguh aneh. Tapi, apa yang tidak aneh di dunia ini?

“Apa kamu punya cita-cita?”

“Sepertinya iya,” jawabku singkat. Mendengar itu Pon tersenyum, dan dari sana aku tahu bahwa Pon meminta penjelasan lebih. “Aku ingin menjadi manusia.”

Pon tersenyum makin lebar! Lalu Pon tertawa sejadi-jadinya. Tawa yang amat tulus dan membahagiakan, bukan tawa penghinaan.

“Kamu memang bocah yang unik. Apa sekarang kamu bukan manusia?” Mendengar itu aku tersenyum cukup aneh tanpa kubuat-buat. “Kalau itu memang cita-citamu, maka jalani dan gapailah,” tambahnya sambil menatap langit dan entah mengapa aku mengikuti apa yang ia lakukan.

Kami menatap langit begitu lama, seolah langit menunjukan sebuah film yang amat menarik. Sudah berapa lama aku tak menatap langit? Sudahlah, lebih baik tetap begini. Melihat langit tanpa tepi. Tanpa tepi…

“Apa kau tahu, kenapa rel kereta api tidak dapat bertemu?”

“Saat masih sekolah menengah, kata guruku: karena dua garis yang sejajar tidak dapat bertemu. Jika mereka bertemu, maka bukan garis yang sejajar lagi.”  Pon tersenyum lagi mendengar jawabanku. Dan entah mengapa aku bahagia. “Namun, aku tetap memiliki keyakinan yang bodoh dan konyol jika kedua garis itu dapat bertemu.”

“Jika keyakinanmu itu tidak terwujud dan terjadi, apa kau akan kecewa?”

“Mungkin iya. Tapi, rasa-rasanya tidak. Bukankah keyakinan yang membuat manusia bisa merasa hidup dan mau tetap hidup?”

“Ya, kau benar, Nak. Tapi, dari kekecewaan manusia juga belajar untuk membuat keyakinan baru. Keyakinan yang lebih kuat. Dan entah mengapa, aku setuju denganmu bahwa kedua garis yang sejajar tetap bisa bertemu di kedua ujungnya. Dan tetap menjadi sejajar.”

Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Senyum yang sama dengan Pon.

Apa aku sudah bisa jujur pada diriku sendiri?

PON mati! Jasadnya ditemukan di depan pasar saat ada yang ingin membuka gerbang. Pon berada tepat di depan gerbang. Orang yang hendak membuka tadi mengira Pon tengah tertidur, dan setelah mengeceknya ternyata ia sudah mati. Mati dengan senyum yang khas itu!

Orang-orang geger! Merasa sesuatu tertancap di hati mereka. Senyuman Pon! Senyum yang amat tulus dan jujur. Setelah pemakaman Pon, orang-orang pulang dan mengurung diri di rumah masing-masing, sampai hari menjadi malam. Lalu, orang-orang itu berjejer di tepian rel kereta api. Tempat kesukaan Pon saat dirinya tak dikira orang gila oleh orang-orang tadi.

Aku masih ingat kalau Pon berpesan padaku sebelum dirinya ingin pergi tidur di depan gerbang pasar. “Aku sudah mengantuk, Nak. Mungkin sekarang waktunya kamu bangun. Bangunlah dan jadilah manusia seperti yang kamu cita-citakan.”

Manusia seperti apa yang ingin kucapai? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Aku melihat orang-orang itu berjejer menatap rel. Barisan yang amat panjang! Bagai pagar di sepanjang rel. Aku tak tahu pangkal dan ujungnya, yang pasti sepanjang rel berisi orang-orang itu.

“Pon belum mati!” kataku pada diriku sendiri, meyakinkan. “Aku harus segera menemukannya.”  

SEMUA berjalan selumrahnya. Orang-orang kembali pada kebiasaan dan kerutinan mereka. Semua seperti bisa, kecuali ketidakhadiran Pon! Orang-orang tadi seolah lupa pada Pon. Mereka seolah tak pernah bertemu dengan Pon yang memiliki senyuman yang khas itu. Pon menghilang di pikiran dan perasaan mereka. Menghilang! Mungkin juga dipaksa mereka menghilang.

Pikiranku seolah berjalan mundur. Memutar kenangan dan ingatan yang ada di tiap sisi kepalaku. Menikmati cerita yang Pon tulis di dalam batinku. Alurnya maju-mundur, terfragmen-fragmen, tetapi aku tetap menikmatinya; terbawa oleh sebuah daya yang tak kuketahui.

Kehidupan berjalan seperti biasa, benar-benar biasa. Di saat seperti inilah aku tahu bahwa yang biasa sudah tak biasa lagi. Sialan! Kulihat wajahku di cermin, air masih menetes, dan air kran benar-benar dingin rasanya. Ke mana perginya Pon? Ia bilang bahwa ia mengantuk dan ingin tidur, bukankah seharusnya yang tidur juga harus bangun? Namun di mana dan kapan Pon akan bangun? Pon menyuruhku bangun, tapi ia sendiri malah tertidur. Sialan!

Senja! Mungkin di sana jawabanya.

Kau pun bergeges menuju sana . . . . , dan kau menemukannya!

“Ke mana saja, Paman, pergi?”

“Aku sudah bilang bahwa aku sangat ngantuk, kan?”

“Tapi, kenapa…”

“Ada baiknya setiap pertanyaan tak dijawab. Biarkan pertanyaan itu menjadi indah tanpa jawaban. Menjadi sesuatu yang dapat kau nikmati berulang kali.”

Pon menatap langit! “Kau berhasil menemukan tempat persembunyianku sepertinya. Ada baiknya kuucapkan selamat.”

“Kau tidak pernah bersembunyi, kan? Kau hanya dinafikan olah orang-orang sehingga tak ada yang menyadarimu, kan?”

“Dan kau menemukanku, Nak.”

“Tidak. Kaulah yang menemukan aku! Dalam pencarian sang pencari tidak pernah berhasil menemukan apa yang ia cari. Ia hanya ditemukan olah yang ia cari.”

Pon tersenyum!

BERITA pagi ini:

Rel kereta api di kota X dinyatakan menghilang! Kejadian yang aneh ini membuat kereta api yang hendak melewatinya terpaksa mencari jalan lain. Diduga rel kereta api menghilang sebelum pukul enam pagi. Pihak kereta api merasa beruntung karena tidak ada kecelakaan yang terjadi. Kereta yang memiliki jadwal melewati rel kota X secara mendadak bisa sampai di tujuan masing-masing.

Orang-orang berjalan seperti biasa. Kehidupan bergerak selumrahnya. Dan Pon mengutukku menjadi anomali bagi semua itu.

Dan aku tersenyum!

(2021)




Bagikan:

Penulis →

Polanco S. Achri

lahir di Yogyakarta, Juli 1998. Menetap pula di kota yang sama. Lulusan jurusan sastra. Menulis prosa serta drama. Dapat dihubungi via FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *