Dadanya berdesir. Salvador José Maureira i Domenech takjub melihat wajahnya sendiri di potret itu, bagaikan melihat dirinya di cermin. Wajahnya cerah, berseri-seri. Setengah terpana melihat ketampanannya sendiri. Rambutnya ikal pendek, berwarna kurma majhul, berkilat, bergelung seolah ombak semenanjung Cap de Creus. Matanya bulat, berbinar-binar. Di foto itu tampak hitam pekat seperti langit malam. Diturutkannya telunjuknya, dari hulu hingga muara alisnya. Tampan sekali dirimu, ia membatin. Ia melirik ke leher yang telanjang dan hidung bangir itu. Jenjang. Putih. Mulus. Penuh aroma surgawi. Seperti hasil cakap tangan Michelangelo kepada David-nya. Tidak ada bekas luka atau lipatan apapun, katanya sembari meraba sekujur lehernya sendiri. Ya, potret itu memang mengembalikan Salva kepada kesempurnaan, di mana luka dan kenangan belum sempat memahatkan nodanya.
Ia tidak tahu ia mempunyai saudara sedarah. Ada yang ganjil. Ayah berkata bahwa itu adalah foto kakaknya. Tetapi di foto terpampang persis wajah dan perawakannya. Namanya pun sama: Salva Maureira.
“Kau dan kakakmu berasal dari rahim yang sama. Terpaut empat tahun, tetapi Dios mío! kalian sungguh serupa,” terang sang ayah, matanya yang seperti bohlam tua berpancar sedih, terpaku pada si kakak yang berbingkai kayu mahoni itu. Sudah dua dekade potret itu menggantung di dinding ruang tamu tidak jauh dari ornamen kayu Kristus yang tersalib. Nama Salva Maureira juga terukir di nisan pusara milik kakaknya di dekat Castell de Sant Ferran, Figueres, di samping kebun zaitun rindang yang dibatasi dengan dinding batu. Salva tua baru saja menjadi onggokan daging tak bernyawa. Bulu kuduknya meremang ketika ia melihat namanya sendiri terukir di nisan. Ia tak pernah bertatap muka pada sang kakak. Di tangannya tampak potret serupa dirinya yang dinyatakan sudah mati. Di pusara ia juga menemukan namanya. Tak pernah dalam hidup ia bertemu dengan lelaki yang bernama sama dengannya. Mungkin lelaki ini tak pernah ada.
“Setiap arwah gemar merasuki benda yang berhubungan dengannya sewaktu hidup. Setiap benda memiliki nyawa. Kakakmu mungkin sedang mengawasi kita dari potret itu,” ayahnya menuturkan kepercayaan orang-orang Gitano di Girona. Ia berkawan dengan para pengembara itu semenjak muda. Ketika Salva tua wafat, ayah membakar dan memusnahkan segala benda putra sulungnya, kecuali potret berbingkai mahoni ini.
“Ibumu wafat setelah melahirkanmu. Ketika kutanya nama bayi lelaki yang baru meluncur dari rahimnya, ia berbisik “Salvador” sebelum akhirnya tertelungkup tak bernyawa. Sejak itu, keluarga menganggap dirimu seorang pembunuh. Anak yang terkutuk. Di lubuk hati yang terdalam aku masih mengutuk hari kelahiranmu.”
Senja ketika Salva Maureira membunuh ibunya, Diego Arcadio Maureira, sang ayah, tengah menyandarkan kapal dengan jala penuh udang-udang di pantai Palamós, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang palem, ek gabus, bunyi falseto laut, dan tamparan angin hangat Mediterania merangkak di antara ganggang, sempreviva dan bebatuan cadas. Sepulangnya ke Figueres sejam kemudian, ia sudah menemukan istrinya setengah menjadi jasad dan berkubang darah. Bayi lelaki itu tak henti mendengking dan menangis lugu pada nyawa ibunya yang sudah tertambat di mulut. Seminggu setelah kelahirannya, ayahnya yang tenggelam dalam duka menitipkan bayi itu kepada seorang paman yang tinggal di Barcelona untuk diasuh. Kakaknya tumbuh bersama ayahnya. Ia dijauhkan dari kakaknya sebab bayi itu adalah seorang pembunuh.
Dari jendela lantai paling atas bangunan Carrer Monturiol ini tampak lanskap yang membuatnya tercenung. Teluk Rose memuntahkan kemilau biru bermil-mil jauhnya dan di seberang wilayah Emporada berdiri tegap Pegunungan Pirenia, serupa kuda yang ditarik tali kekang. Burung-burung camar beterbangan di sana sini membentuk noda-noda hitam di langit, berkoak di atas laut yang lidah putih berbusanya menjulur-julur di cadas karang dan tajam bebatuan vulkanik. Matahari terasa di kulit dan siang merayap di pohon-pohon gabus. Sayup-sayup ia mengantuk, menjadi angin teluk yang mendesah-desah, menjadi camar yang diterpa lanskap azur tak berawan. Pastinya arwah Salva tua sudah bebas berkibar seolah layar perahu nelayan gambas (1), barangkali ia menjadi salah satu dari camar. Matanya kembali meninjau potret itu. Potret seorang mati. Kini bibir Salva di dalam foto tampak merekahkan senyum. Mungkin sekarang dirinya sedang tersenyum. Cermin di belakangnya memancarkan dirinya. Atau kakaknya, ia tidak yakin lagi. Ia menghitung umurnya dari cermin. Lama-kelama rupa menawan bagai David itu memudar, lalu menghilang seperti udara yang kasat mata.
Aneh. Cermin seharusnya memantulkan rupa orang yang mematut diri di depannya. Cermin besar di atas meja itu sebaliknya. Saat memandang ke dalam cermin, yang terlihat hanyalah tempat tidur besar, lemari buku ek yang penuh sesak, gulungan permadani kusam dan lantai kayu yang sama tuanya seperti bangunan ini. Tidak ada wajahnya, atau rona kebingungannya di dalam situ.
“Kau sudah mati, Salva,” ucap ayah dari belakangnya. Bayangannya pula tak tampak di cermin.
******
Apakah memang benar, aku sudah menjadi arwah sekarang? Malam itu Salva Maureira menerawang pada langit-langit dari ranjangnya. Selembar kertas mazmur dan potret seorang mati itu masih bertengger di meja rias. Mungkin potretnya, mungkin kesepiannya. Mungkin cermin yang tak memantulkan dirinya itu rusak sehingga langit tampak menghapusnya. Tetapi bagaimana mungkin? Ia pandang kusen jendela yang terbuka itu sebab udara cukup panas. Kota kecil Figueres tampak menghilang dan sepi. Semacam ingatan yang memudar seolah lumut ditaklukan salju, dilupakan kosmos. Kota tampak tertidur dengan mimpi yang tanpa arah, dengan lelap dalam sihir orang Gitano. Seperti logat yang asing, atau angan-angan yang terbuang. Semuanya seperti pesona sihir yang sengaja ditebar menggoda dan menggiringnya ke jaring-jaring mimpi, ke taring-taring mimpi. Ia telungkup menjelma patung.
“Semua ini begitu lucu,” kata lelaki itu. Dan iapun termangu sedih. Ia pandang kembali potret kakaknya. Atau dirinya, ia tak yakin lagi. Sekonyong perlahan rupa potret itu tampak berputar, lalu meleleh seperti lumpur di tangannya. Gambar Salva Maureira sirna dan melekat di tangan. Sekelilingnya ikut meleleh dan penuh awang-awang mimpi memabukkan, seperti pemandangan Cap de Creus dan jam saku meleleh La Persistencia (2). Setelah itu potongan visualnya menghilang. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Tetapi ia menemukan seakan tubuhnya mengecil seperti sisir dan berdiri tegap di meja rias. Matanya bisa menerawang ke seluruh kamar gelap itu. Bimasakti tampak keruh di kanopi langit dan rasi salib selatan bergelantung, tampak menyentuh reruntuhan tua kastil de Sant Salvador de Verdera di atas tebing.
Di ranjang itu tampak dirinya yang menerawang langit-langit. Ia bisa menghirau dirinya sendiri dari meja rias. Ketika ia ingin bergerak maju, tubuhnya terbentur oleh dinding keras kasat mata, seakan ia sedang terkurung di dalam cermin. Ia bergidik, lalu mengetuk dan menampar pemandangan luar yang menampakkan dirinya sedang menerawangi atap, tetapi usahanya sia-sia. Ia terjebak di dalam kaca, tubuhnya tak bisa bergerak ke segala arah. Tenggorokannya menjeritkan namanya, tapi suaranya hanya gaung kosong. Ia tahu, bahwa jiwanya merasuki potret Salva Maureira di atas meja rias. Tubuhnya mati rasa, sebab jika ia memberontak, ia memberontak kepada dunia lain, kepada angan-angan orang mati, seperti memungut kertas yang lumat dalam hujan. Salva yang di ranjang lalu berdiri tegap menatap dirinya di dalam potret itu. Senyumnya bengis dan liar seperti ajak, wajahnya seputih angsa.
“Aku adalah Salva tua, hermanito… (3) akhirnya kita bertemu. Sudah muak diriku bergelut dengan kaca itu. Aku masih ingin hidup tetapi aku terkena penyakit tak bisa tidur orang Gitano. Setiap malam yang kuhabiskan untuk termenung menyedot jiwa keluar dari ubun-ubun sedikit demi sedikit. Gejolak nalarmu akan realita membuatku mampu menukar arwahku dengan milikmu.”
Ia berkata bahwa ia akan membinasakan foto itu supaya arwahnya tersemat selamanya di tubuh si adik. Ia akan menumbalkan si adik yang arwahnya terjebak di dalam foto, lalu memusnahkan seluruh benda miliknya supaya ia tak bisa merenggut kembali tubuhnya di dunia fana.
“Bukankah kita, Salva Maureira, adalah seorang pembunuh sedari lahir?” ucapnya terkekeh-kekeh pada potretnya sendiri. Tangannya sibuk menjentikkan arang dan kayu bakar di perapian, menyalakan korek api. Jilat suluh menari-nari membarakan tungku. Salva menjerit-jerit dari dalam bingkai, dan hanya menjadi gaung kosong yang lalu. Potret itu lalu terhempas ke perapian yang menyala. Potret yang dari malam ke malam makin kelabu seperti gunung sunyi, berpijaran melelehkan lava seperti kemarahan yang melabrak kaki bukit. Selama ini ayah sigap merawatnya, serupa mengganti bingkai dengan tanggul yang dibangunnya dari tanah dan batu kuburan, membendung lelehan potret Salva Maureira di dinding dari waktu yang bengis. Bau hangus dan dengus menyembur-nyembur. Kacanya mulai retak, bingkainya hangus menjadi abu. Salva melolong-lolong dijilat kobar api. Tubuhnya terpanggang di neraka yang disulut tangannya sendiri. Sekian menit berlalu, ia tak ingat apa-apa lagi. Gulita malam menyelimuti benaknya seperti dikubur. Di bingkai yang hangus menjadi abu jelaga, terpapar sebongkah jasad tak bernama. Ia telah membakar adiknya, atau ia telah membakar dirinya sendiri?
Setelah puas memantau potret dirinya yang terbakar di perapian, ia segera memandang diri di depan cermin. Cermin itu masih tidak memantulkan bayangannya. Bukankah ia seharusnya sudah kembali menjadi manusia? Tak ada yang ia rindukan di dunia manusia kecuali wajahnya sendiri, sebab ia tahu pantulan cermin itu nyata. Seperti Narkissos. Narkissos dan ia yang tidak bergerak, tidak dipantulkan. Di mana tumbuhan yang menggerogoti tubuhnya? Dan saat kepalanya akan runtuh, tenggelam, meledak, terbelah dan berpencar lagi, setangkai bunga lahir: bunga narsis (4). Tetapi ia tidak melihatnya. Hatinya meronta-ronta akan cinta matinya: wajahnya sendiri.
Malam itu ketika ia bercinta dengan dirinya sendiri penuh hasrat setelah sekian lama tidak memiliki tubuh, ia tak kuat menampung gairah sebab jiwanya sudah terserap nyaris seluruhnya. Jiwanya sudah rusak menjadi abu di perapian, kini terperangkap di tubuh fana yang tak bisa ia lihat. Ia pandang lagi bingkai dan foto yang hangus menjadi abu itu. Dari waktu ke waktu, ia berusaha melupakan potret dirinya yang terus meletus dan runtuh dalam kepung tanggul kuburan sekaligus tungku neraka. Foto yang terbakar itu kini menjadi satu-satunya yang memperlihatkan wajah tampannya. Bayangan di cermin, kamera maupun telepon genggam di seluruh dunia tidak sudi memantulkan. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia sesungguhnya sudah hidup atau masih mati.
Hanya di dalam potret itu aku tampan. Hanya jiwaku yang terperangkap di tubuh ini. Aku seharusnya tampan. Dengan atau tanpa bayangan. Dengan atau tanpa potret.
Nemesis, dewi balas dendam, pasti sedang menuntunnya sekarang. Salva Maureira memukul cermin itu dengan keras hingga pecah. Tangannya berdarah. Ia mengambil pecahan kaca, lalu menggoreskannya ke urat lehernya. Ia hanya berharap menjadi setangkai bunga di pinggir sungai seperti Narkissos, mitos yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri.
Surabaya, 09.03.2021
Keterangan:
1. “Udang” dalam bahasa Spanyol.
2. Lukisan bergenre surealisme ternama karya Salvador Dali, “La
persistencia de la memoria”(1931).
3. “Adik (laki-laki)” dalam bahasa Spanyol.
4. Kutipan puisi “Metamorfosis Narkissos” (1937) oleh Salvador Dali untuk
menyertai lukisan kanvas dengan judul yang sama.
====================
Diang Kameluh, penulis bernama lengkap Sarita Rahel Diang Kameluh ini lahir di Surabaya, pada tanggal 10 April 1997. Kini menempuh pendidikan di jurusan Teknobiomedik di universitas ilmu terapan FH Aachen, Jülich, Jerman. Beberapa karyanya tersiar di media daring dan cetak.
One Response
Keren kak Sarita