Galuh, Sang Pemikat

TERCIUM harum lulur yang menyentuh kesadaran Kodrat ketika ia menyelinap ke balik panggung. Memburu Sunti. Memikatnya. Menungguinya berdandan. Ngobrol. Mengajak bercanda. Hingga gadis itu merebahkan kepalanya ke dada Kodrat. Keringat gadis itu menggetarkan ujung jantung Kodrat. Jejaka itu senang memandangi bintik keringat di tengkuk Sunti.

Gempita panggung telah reda. Gamelan meredup. Santi, sang pemikat, yang telah menggetarkan panggung, terkulai di samping Kodrat. Sedikit basah rambut yang terurai.

Berseliweran anak-anak panggung. Tampak pula tatapan mata terbakar kecemburuan. Terhunjam ke arah Kodrat. Tertikam ke pusat rasa lelaki muda itu. Tapi mereka tak berani mengusik Sunti dan Kodrat. Cuma mendengus. Dan biyung emban, perempuan setengah baya, senantiasa melindungi Kodrat.

“Tidakkah kau lelah memburuku?” goda Sunti.

“Kalau aku lelah, tidak bakal sampai di tempat ini.”

“Kadang-kadang aku memikirkan istrimu.”

“Lupakan. Itu cuma akan merusak suasana kita.”

“Tentu dia kesepian. Tanpa anak, tinggal di desa yang sunyi, dan suami memburu perempuan lain.”

“Kamu mengutukku?”

Terjulurlah tangan Sunti yang ditumbuhi bulu-bulu lembut dan halus. Degenggamnya jemari tangan Kodrat. Kabut kesunyian melelapkan. Lengang tengah malam.

“Tak ada maksudku melecehkanmu. Aku cuma meledekmu,” Sunti menatap Kodrat. “Aku paham, kau sudah cukup menderita sejak dipindah dari kantor pusat ke daerah terpencil gara-gara memimpin protes pada atasan yang suka mengeruk keuntungan pribadi. Kau masgul, lantaran teman-teman cari selamat dan lantas menimpakan kesalahan padamu. Nasib buruk itu mesti kau tanggung sendiri.”

“Biar aku menanggungnya sendiri. Telah lama aku sadar, sulit sekali menentukan siapa kawan siapa lawan pada orang-orang di sekelilingku.”

“Begitu juga dengan aku?” Sunti merajuk.

Kodrat memijit hidung Sunti. “Ya, begitu pula dengan kau.”

Dan Sunti kian merajuk. Menyurukkan wajahnya ke dada Kodrat. Basah keringatnya terus meleleh ke tubuh Kodrat. Tiba-tiba kelincahannya bangkit. Dengan kelenturan tubuhnya, Sunti bergerak menggeliat. Seperti tertiup roh seorang dewi, menyalalah matanya membahasakan keinginan nalurinya.

“Akan kubawa kau keluar dari panggung ini, Sunti.”

Sunti tak lagi mau mendengar. Dia mencibir, meledek Kodrat. “Ini omongan orang masgul.”

“Aku akan terus memburumu, meski selalu menghindar.”

“Kau bercanda?”

Dalam satu tarikan napas yang berat, Kodrat menukas, “Aku tak mau menelantarkan Galuh, anak kita.”

Tertawalah Sunti seperti hendak menggugurkan kesungguhan Kodrat. “Omongan orang mabuk tak perlu digubris.”

Seketika bangkitlah Sunti, masih dengan derai tawa yang memecah ketulusan Kodrat. Tampak bahunya yang telanjang terguncang-guncang.

“Kelak kau bakal tersadar dari mabuk kekecewaan, dan membiarkan Galuh tumbuh sebagai anak panggung sepertiku. Nah, esok rombongan kami pindah ke kota lain. Kau masih bakal mengejarku?”

Liar tawanya menyibak sepi malam. Dia meninggalkan Kodrat. Lepas gerak tubuhnya. Tak canggung sama sekali. Tiba-tiba kesunyian menyentak kesadaran Kodrat. Lelaki itu seorang diri di belakang panggung yang temaram. Langkah-langkah kaki terdengar menghentak-hentak. Esok panggung ini bakal dibongkar. Terbentanglah kembali tanah lapang. Kosong. Tak lagi terlihat suasana panggung yang semarak serta orang-orang berduyun-duyun.

Lama Kodrat tersekap selubung suasana panggung yang bakal dibongkar. Gamelan tak bakal lagi mengalun, para penari tak lagi berkiprah, dan badut-badut tiada lagi mengguncang tawa orang-orang. Senyaplah panggung.

                                                               ***

DI barak belakang panggung itu Kodrat lama terdiam. Terhenyak. Anak-anak panggung tengah berdandan, mematut diri, memonyongkan bibir untuk dipoles gincu. Mengapung harum bedak memenuhi ruang berdinding anyaman bambu.

Geliat tubuh anak-anak panggung tampak liar dan seronok. Terkesan sembarangan. Sesekali terdengar omongan kenes. Mengumbar tawa. Lirikan seorang wanita menghunjam ke wajah Kodrat. Lalu mencibir nakal. Masih juga lelaki itu  mematung. Dan yang tergerak bangkit malah biyung emban, perempuan setengah baya berbedak tebal. Lincah gerak tubuhnya. Senyumnya masih memendam gairah, meski letih.

Menguntit di belakang pantat biyung emban itu seorang gadis yang lagi mekar kelepak kewanitaannya. Kodrat ingin meraih gadis itu dalam rengkuhan tangannya. Tapi gadis itu menghindar. Bersembunyi di belakang tubuh biyung emban. Cuma wajahnya yang sedikit nongol, menatapi Kodrat malu-malu.

Dan biyung emban itu memandangi Kodrat dengan cahaya mata yang meredakan gejolak perasaan. “Sudah kukatakan, kau tak usah mencari Sunti lagi. Biar dia menemukan kebahagiaannya.”

“Tak segampang itu dia menghindar dariku. Aku akan terus melacaknya.”

“Ia terus menghindar darimu.”

Kodrat mendengus. “Aku tak mau kehilangan masa laluku yang manis. Ingin kudapat kembali Sunti. Ingin kudapat anak kami.”

Tatkala Kodrat berlutut hendak meraih Galuh, gadis yang berlindung di balik tubuh biyung emban, seketika menepiskannya.

Tanggap keasingan Galuh, biyung emban segera membisik, “Jangan memaksakan kehendak. Tak baik. Galuh tak pernah tahu ayahnya.”

“Sunti tak pernah menceritakannya?” desak Kodrat menajam.

“Sssttt!” Telunjuk biyung emban tegak lurus di bibir yang dimonyongkan.

Di mata Kodrat, Galuh memancarkan kelenturan ragawi Sunti. Dialah Sunti kecil yang mekar kegadisannya, luruh dalam pusaran nasib dan zaman. Lengkung tebal hitam alisnya, bulat matanya, dan rekah bibirnya, mengingatkan Kodrat pada Sunti, sang pemikat yang senantiasa menyemarakkan panggung.

“Aku tak akan membiarkan Galuh hidup di barak ini, berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Akan kubawa dia dalam keluargaku.”

“Tidak,” biyung emban menukas lirih, penuh penolakan. “Dia bakal menggantikan Sunti sebagai anak panggung.”

“Jangan!” Kodrat hampir memekik.

“Sunti menyerahkan Galuh padaku.”

Biyung emban menatap Kodrat dengan cahaya mata membiaskan kemenangan. Tapi lelaki itu sudah berhasrat untuk kembali merenggut gadis itu untuk menebus dosa masa silam.

                                                                ***

SUARA gamelan mengalunkan isyarat anak-anak panggung untuk menuntaskan dandanan mereka. Tampak beberapa orang bangkit, menaiki panggung. Terpancar kebimbangan, bahkan keengganan dalam perangai mereka. Gairah telah sirna. Orang-orang tampak kehilangan peran, kehilangan kekuatan.

Di hadapan Kodrat, biyung emban masih saja melindungi Galuh dari renggutan tangan lelaki itu. Yang terpancar di matanya bukan lagi rasa takut, cemas, dan curiga. Tapi semburat cahaya kegeraman yang bernada berang.

“Jangan coba-coba membawa Galuh dari kami,” pinta biyung emban keras.

“Tapi kemana Sunti pergi?”

“Dia dibawa seorang juragan menuju ke suatu kota,” balas biyung emban, mengadukan kekesalannya. Diceritakannya kepergian Sunti, sang pemikat yang selama ini senantiasa menggerakkan penonton untuk memadati pergelaran.

“Rasanya Sunti tak bakal kembali lagi,” lanjut biyung emban. “Relakan saja Galuh bersama kami.”

Tegas, Kodrat menggeleng. “Tidak akan kubiarkan gadis manis itu lepas dariku.”

“Lihat, tobong hampir tanpa penonton!” biyung emban meyakinkan Kodrat. “Biar Galuh bersama kami, menggantikan ibunya.”

Menatap Galuh, rasanya seperti memandangi dan menelusuri perjalanan hidup Kodrat masa lampau bersama Sunti. Kodrat terkesima. Titisan Sunti ada pada gadis itu. Tapi Kodrat tak bakal membiarkan Galuh larut ditenggelamkan arus perjalanan hidup yang muram. Dalam  bening mata gadis itu terpancar pula harapan-harapan Kodrat.

Suara gamelan menggerakkan anak-anak panggung bangkit beranjak menuju pementasan, betapapun sepi penonton dan kehilangan gairah. Dan Galuh, gadis yang sedang mekar kedewasaannya, mestikah menanggung kesepian panggung, untuk kembali semarak seperti semasa Sunti menghidupkan pergelaran wayang orang dengan kekuatan nalurinya?

“Pulanglah! Jangan usik gadis ini lagi!” pinta biyung emban mendesak. Masih saja Kodrat berlutut memandangi Galuh. Tatkala ia mengurukan tangan dan Galuh menyambut ujung jemari Kodrat, cepat direngkuh gadis itu dalam pelukannya. Ia mengusap lengkung alis dan kelopak mata gadis itu. Mengusap lembut kulit pipinya. Ia merasakan getaran dan rasa mabuk yang lain sama sekali, yang baru kali ini dialami lelaki itu. Getarannya halus, merambat sampai pusat sanubari.

Dari tubuh Galuh tercium pula harum lulur. Kodrat menghangati tubuhnya dengan aliran darah anak gadisnya. Ada titisan darah dalam tubuh gadis itu.

“Bersiaplah ke panggung!” biyung emban mengingatkan.

Tersentaklah gadis itu. Kesadarannya kembali mekar. Dia mengurai rengkuhan tangan Kodrat yang belum rela melepaskannya.

“Aku mau naik panggung,” bisik Galuh. Matanya berbinar, bercahaya. “Nanti kita ketemu lagi, ya?”

Yang bisa dilakukan Kodrat cuma satu, melepaskan gadis itu. “Mau kau ikut aku?” bisiknya sebelum Galuh berlari meninggalkannya. Sekilas, sebelum mencapai panggung, gadis itu berpaling, mengerling dan menebarkan senyum tipis. Suara gamelan pun menenggelamkannya.

                                                               ***

LANGKAH kaki Kodrat lamban terseret hendakan kendang. Di depan panggung mulai banyak penonton duduk.  Orang-orang yang menemukan kekaguman baru, memandangi para penari, sambil melontarkan sanjungan. Kodrat mengambil salah satu kursi. Merasakan getaran yang sama seperti ketika dulu menunggu Sunti hadir ke panggung. Cuma, kali ini didorong napsu memiliki yang berbeda.

Tatkala muncul Galuh di panggung dengan gerak tari yang menjiwai seluruh getar ujung-ujung jari dan lekuk tubuhnya, hati Kodrat berdesir.

Orang-orang kelihatan mulai tertarik menatap panggung. Tak bisa diam mulut mereka. Leher-leher dipanjangkan, dijulurkan, untuk bisa menatap gadis yang tengah berkiprah di panggung, berpasangan dengan seorang lelaki berkumis tebal. Gagah. Gemerlap mata mereka.   

“Lihat!  Dia  pengganti Sunti!” kata seseorang.

“Apa? Dia memang anak Sunti!” sahut penonton lain.

“Gadis itu membuat aku jatuh hati!”

“Di mana sekarang Sunti?”

“Entah, kabur! Dibawa lari seorang juragan! Laki-laki yang dicintainya sudah beristri, dan menelantarkannya!”

“Siapa laki-laki itu?”

“Mana aku tahu?” seseorang menukas dengan berkelakar. “Jangan-jangan, dia ada di antara kita!”

Tawa tertahan, bergairah, mengguncang bahu para lelaki itu, sambil menatap lekat ke panggung. Telinga Kodrat memerah, tertampar gurauan mereka. Tak ingin lagi ia mendengar anak gadisnya dikagumi dan digunjing macam itu.

Kodrat bangkit, meninggalkan kursi penonton, dan terus ke belakang panggung. Ia menunggui Galuh sampai turun dari panggung. Tubuh gadis itu basah bersimbah keringat. Tercium lulur dan kembang melati. Terkuras sudah seluruh tenaganya. Terurai senyumnya melihat Kodrat menungguinya.

Kodrat menggamit lengan Galuh. “Ngerti kau, siapa ayahmu?”

Menggigit bibir, mata berair, Galuh mengangguk ragu. Lega hati Kodrat. Lebih mudah baginya untuk mengajak Galuh meninggalkan dunia panggung.

“Mau kau ikut aku?”

“Tinggal bersama Ayah?” suara Galuh parau.

“Kita hidup dalam satu keluarga.”

Kian tajam harum lulur yang melumuri tubuh Galuh, lantaran dia kian merapat. Kodrat merasakan wangi tubuh gadis itu menyusupkan harapan kebersamaan di masa depan.

“Rasanya aku tak mungkin meninggalkan panggung ini,” lirih suara Galuh. “Ayah bisa sesekali menengokku.”

Dalam gebyar sepasang mata Galuh yang berair, dia meyakinkan Kodrat dengan senyum. Dan suara gamelan bertalu-talu menarik Galuh ke panggung, menuntaskan lakon yang dibawakannya. Kodrat cuma bisa memandanginya.

                                                 ***

                                                                 Pandana Merdeka, Maret 2021

Bagikan:

Penulis →

S. Prasetyo Utomo

Lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolit Dodolit Dodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *