Memahat Ornamen Cinta



Aku Merasakan Pertemuan Itu

Sesungguhnya jarak itu sudah ada
mungkin hanya belum nampak garis batasnya
selalu hadir setiap senja pertanyaan di ingatan
sesulit melupakan kata cinta dan kematian
dalam baris-baris sajak dan tembang rindu

Seperti engkau yang selalu membawa kesabaran
mengingatkan selalu rahasia di balik waktu
aku merasakan semakin dekat dengan pertemuan
sebagaimana tanda-tanda yang menyalakan cahaya
meredupkan seluruh tubuh dan meluruhkan sunyi

Aku merasakan pertemuan itu
serupa rabaan jemari angin menggigilkan malam
lembut mengetuk pintu sambil berucap salam
membiarkan yang lain terselimuti kisah di mimpinya
sedangkan aku gelisah menunggu pertemuan waktu

Hanya tak ada keganjilan menggenapi sesak di dada
suara detak jarum jam diam-diam menguji sunyiku
entah bermakna cinta atau kematian
mungkin hanya kenangan yang meluruh
meski masih ingin menimbang jawaban.

Parepare, April 2021      


Lengkung Malam

Seberapa lamakah aku mampu membilang waktu
di lembar almanak sambil melingkari angka-angka
sekedar meletakan ingatan dengan prasangka
pada usia yang hendak rebah mengaburkan batasnya

Entah di kordinat berapa pada ujung lengkung malam
aku tak kunjung bisa menanyakan angka terakhir
di tubir lengkung sambil memberi tanda untuk bergegas
dengan senyum meninggalkan waktu dan ribuan suara
mengamini mengantar menuju pedalaman paling hening

Aku selalu merasa tak pernah utuh merajut rindu
bahkan saat subuh menggelar sajadah di genangan air mata
malam terlewati begitu saja dari lembar almanak masa lalu
bergegas ikut berarak bersama rumbai-rumbai kabut
menambah subur gelisah tanpa ada yang menuntun
melintasi di balik kelopak mata yang selalu ingin terpejam.

Parepare, April 2021


Sesungguhnya Pintu Itu Akan Diketuk

Aku selalu mengingat bila suatu saat akan ada
suara ketukan halus di pintu yang tak mampu kutolak
namun aku percaya bahwa hidup bukanlah kata-kata
serupa rindu dibakar kesunyian dari api masa lalu
tak perlu merasa ganjil sebab hanya penantian
meluruhkan segalanya pergi sendiri menempuh sunyi

Bila ada tangis hanya akan menjadi tanda kesedihan
karena sesungguhnya pintu itu akan diketuk, waktu
hanya sekedar monumen kesetiaan
dituliskan dan ditinggalkan menelan kegelapan
sendiri, menyusupi tanah-tanah yang basah
mungkin melintasi sungai berair senja

Pintu itu akan diketuk tanpa mengenal waktu
lalu meraba, mencium, dan menuntunku menuju arah
seperti lorong penuh cermin ketiadaan
mulutku menjadi pintu-pintu yang tak berengsel
mataku menjadi api tanpa cahaya
sesungguhnya aku menunggu merawat gelisah.

Parepare, April 2021




Pada Malam yang Ditunggu

Bahkan telah kulingkari di almanak berpuluh tahun lalu
pertemuan yang melupakan waktu, ingatan
berkali-kali kuhancurkan di sebagian tubuh kesabaran
merapuh sambil menengok kecemasan, sementara aku
belum mampu mengendapkan suara azan

Malam selalu bercerita tentang dunia yang kutimbang
bandulnya seberat samudera bertakar kilatan badai
tak mungkin kupinta selembar kain pembalut luka
atau memadamkan rasa yang dibakar api gelisah

Pastilah malam yang ditunggu itu akan tiba
memantulkan cahaya sunyi lalu meluruh
di sebatas waktu yang tersisa
sambil memahat ornamen cinta di batu pualam
tempat sandaran yang mengekalkan tidur.

Parepare, April 2021




Bagikan:

Penulis →

Tri Astoto Kodarie

Lahir di Jakarta, 29 Maret 1961. Mengikuti berbagai kegiatan sastra di berbagai daerah. Buku puisinya yang telah terbit: Nyanyian Ibunda (Artist, 1992) Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (Akar Indonesia Yogyakarta, 2007), Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing Yogyakarta, 2008), Merangkai Kata Menjadi Api (Akar Indonesia Yogyakarta, 2017), Kitab Laut (YBUM Publishing Parepare, 2018), dan Tarian Pembawa Angin (YBUM Publishing Parepare, 2020) serta puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota.
Masih aktif sebagai guru serta aktif di berbagai kegiatan seni. Kini tinggal di Parepare, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *