Negeri Tanpa Tawa


Alkisah di sebuah negeri yang tak terlihat dari jendela rumahmu, yang kita harus berjalan kaki tujuh hari sebelas malam untuk tiba di sana, menembus tujuh hutan dan menyeberangi tiga sungai, di kaki bukit pada tepi sungai yang tak mengalir, hiduplah seorang tukang batu dengan istrinya.

Mereka begitu bahagia karena putri yang mereka nanti-nantikan sekian lama  telah lahir ke dunia. Suara pekik bayi menangis telah memecahkan udara sunyi. Tukang batu tak menyadari betapa ia bahagia, sebab kini ia menjadi ayah, terlalu bahagia hingga ia lupa dan ia pun tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan istrinya yang telah berjuang menangis mengejan sehari semalam. Si ibu baru pun larut dalam haru hingga ia memekikkan rasa syukur dengan bersemangat. Putrinya adalah putri yang pertama lahir, setelah hampir lima puluh tahun tiada kelahiran di negeri itu. Saat suami istri tersebut menyadari, semua sudah terlambat. Kesalahan telah memberikan buahnya.

Di sini di negeri lesu nun jauh, hukum lesu pun berlaku. Tawa adalah hal yang dianggap tidak sopan, antusiasme adalah dosa besar dan bersemangat merupakan tindakan yang melanggar undang-undang. Di sini hanya boleh ada duka, nestapa dan kesunyian.

Seperti yang terjadi di negeri sana sini, semua bermula dari kesalahan sejarah. Dahulu kala ia adalah sebuah negara yang wajar. Semua orang bebas menjadi dirinya sendiri, tetapi sejak sebuah bencana kesialan menimpa sang putri raja secara bertubi-tubi. Semua menjadi berubah, budaya bergeser, kehidupan normal tersingkir dan hukum baru pun terjadi.

Semua penduduk harus menghormati putri Ego– putri raja. Sebab putri Ego terluka, semua orang harus terluka. Bila putri Ego sedih, semua orang harus berempati. Tidak pernah boleh ada kontradiksi, dari mulai hukum, adat, norma semuanya pun  berganti dan sejak itulah negeri mereka disebut dengan nama negeri lesu.

Lebih dari seratus tahun yang lalu, semua orang gembira tersingkir. Mereka semua pergi mengungsi dan terjadilah ekspansi besar-besaran. Tak ada yang datang ke negeri itu lagi, kecuali mereka yang murung, si berhati iri, atau para pemintal dengki.

Larangan tertawa diberlakukan di mana-mana. Semua orang yang memiliki antusiasme, semangat, kebahagiaan akan sesuatu apa pun, pasti dihukum pancung. Bunga-bunga tak lagi tumbuh, suara burung bernyanyi tak terdengar lagi, derap langkah prajurit pun hilang tertelan bumi, segalanya menjadi hening.

Orang-orang berjalan dengan lambat, penduduk kehilangan ekspresi, tetapi semua orang tak merasa kekurangan. Penduduk negeri lesu merasa baik-baik saja. Mereka tak merasa kehilangan tawa karena tawa sudah tak dikenali lagi.

Hingga pagi ini datang setelah sekian lama tiada kelahiran. Sejak cinta hanyalah sebuah pekerjaan, saat itulah lahir bayi perempuan dari istri tukang batu. Pasangan itu tak menyadari bahwa mereka memiliki sisa cinta murni. Tawa sang ayah baru membuat tunas-tunas muncul di sela-sela batu. Pekik semangat sang ibu membuat matahari pagi yang telah lama terbenam, terbit kembali di balik bukit.

Semua penduduk heran, hingga mereka semua gempar dan orang-orang keluar rumah, guna menyaksikan sinar matahari pagi. Wajah lesu bertanya-tanya tentang keganjilan yang ada. Namun, sebagian dari mereka merasa janggal karena mereka tak mengenal jenis perasaan baru ini.

” Apa itu?” tanya seseorang tukang kayu.

“Aku tidak tahu, tetapi ia memancarkan rasa hangat yang aneh!” sebut seorang mantri desa yang terkenal paling pandai.

“Ya, ini mengerikan, apa ia sebenarnya!” Tukang kayu masih tidak puas dan ia terus bertanya-tanya.

“Aku pun tidak tahu, aku tak pernah melihatnya, ia terlihat seperti jeruk besar yang menyesatkan, mungkin ia penyihir?”

“Tangkap saja, ya, tangkap ia telah tersenyum!” Si gembala merasa marah.

“Ya, ia telah lancang, hukum saja!” seru yang lain bersamaan.

Orang-orang yang mulai mengenali perasaan hangat atau tumbuh perasaan senang, gegas menyimpan perasaan mereka rapat-rapat, sebagian justru menangis dengan ketakutan. Tak satu pun dari mereka mengenali atau memahami situasi yang ganjil ini. Sebab yang mereka ketahui: Bahagia adalah virus.

Suasana menjadi gaduh, orang-orang memilih untuk pergi berbondong ke kerajaan. Mereka harus melaporkan kejadian. Semua orang yang tinggal di sana terus memandang ke arah bukit. Orang-orang tak kuasa menahan senyuman dan berusaha keras untuk menahan seutas otot pipinya agar tak tertarik ke belakang. Mereka berupaya menghakimi matahari dengan kebencian. Tetapi matahari tak peduli, ia terus bergerak naik, hingga mereka pun kesal. Mereka pulang bergerombol hanya untuk kembali mengambil tangga, lalu mereka berusaha memanjat.

“Tangkap penyihir jingga itu … tangkap!” teriak mereka bersemangat. Yang tak mereka sadari, semangat mereka menggerakkan aliran sungai dan membuat biru warna bukit dan menumbuhkan  bunga pink pada dedaunan.

Kerajaan berwarna kelabu itu terlihat tak sesuram biasanya. Para penduduk yang berbondong-bondong masuk telah merusak aneka jaring laba-laba dan mereka berusaha menemui sang Raja Ego IXI. Tetapi, mereka lupa, semakin mereka menginjak bumi dengan kuat, dengan cepat,  dengan setengah berlari, semakin bumi berubah. Tanah hitam menjadi coklat kemerahan, kontras dengan permadani hitam yang berubah menjadi hijau. Negeri lesu mengubah dirinya.

 Saat penduduk negeri mengeraskan suara memanggil rajanya. Angin yang telah lama tak berembus mulai menari semilir. Rintik-rintik hujan menghadirkan pelangi. Semakin mereka merasa panik, semakin banyak warna yang muncul.

Negeri lesu yang selama berabad-abad hanya kelabu, hitam, biru tua kini mulai terlihat hijau, kuning, merah muda dengan banyak warna lainnya. Semua orang menjadi panik sekaligus merasa kagum. Mereka semua tak memahami apa yang telah terjadi. Bagi mereka semuanya terasa menakutkan.

Di bawah bukit jauh dari kemegahan serta hiruk pikuk istana seorang bayi sedang tertawa. Orang tuanya yang merasa aneh ditikam kecemasan. Sebab mereka menganggap tawa adalah dosa, maka mereka pun menangis tersedu-sedu. Mereka sibuk menyesali diri karena tak sengaja telah mengajarkan bayinya tertawa. Namun, sang bayi tetap tertawa sekuat apa pun ibunya mengajarkan menangis dan ia tetap tersenyum dan ia terus menularkan kebahagiaan. Semakin lebar senyum si bayi dan semakin gempita suara tawanya, semakin takutlah tukang batu dan istrinya.

Mereka berusaha menenangkan putrinya, membuat ia menjadi lesu layaknya orang-orang normal di negeri lesu. Namun, semua sia. Sebab rumahnya telah berwarna-warni. Aneka bunga telah semarak di luar, kupu-kupu beterbangan dan segenap tetangga telah berteriak-teriak.

“Keluar tukang batu … keluar!” teriak si pemintal dengki bersama si pengadu domba.

Saat si pemintal dengki berteriak, angin berembus dan  perdu-perdu yang berubah warna–yang semula hitam menjadi hijau. Semua terlihat semarak memanjakan mata. Domba-domba dalam jerat tukang berlari meronta ke kebun sebab mereka terpukau melihat padang rumput baru.

Sang orang tua merasa kebingungan. Si Ibu semula ingin menyembunyikan bayinya di dalam lesung. Tetapi, ia tahu itu percuma. Maka, ia pun berlari ke sungai dan ia letakkan si bayi di keranjang ke atas rakit. Ia tak sanggup membiarkan bayi tertawa itu, dibunuh raja, walau ia tak suka melihat bayinya tertawa. Sedangkan si tukang batu–ayah yang lebih mengedepankan akal  berusaha sekuat tenaga menerima keganjilan putrinya, ia telah memutuskan untuk membiarkan bayi itu mati dengan sendirinya. Ia keluar dengan wajah terluka lagi lesu menghadapi kegaduhan si pengadu domba dan si pemintal dengki.

“Tak perlu berteriak, putriku pasti kini telah mati, semua akan normal kembali, kalian bisa bersemayam ambisi duka setiap hari!” ucapnya dengan tenang dalam suara yang lemah.

Tetapi, tawa telah menjadi seperti penyakit menular, begitu pula dengan pertahanan pada kekakuan. Hasutan, fitnah, asumsi mewabah di mana-mana. Kini penduduk terpecah belah. Kelompok gembira disebut aliran baru, kelompok kaku mempertahankan tradisi.

Di kerajaan kelabu rapat besar diadakan dan semua penasehat berkumpul; ahli sejarah mimpi buruk, ahli hukum asumsi, jenderal julid, mereka semua mengadakan rapat darurat, ‘Siaga virus bahagia.’ Raja Ego IXI kebingungan, ia bimbang memutuskan. Ahli sidik gosip telah menemukan sumber masalah, tetapi pertapa duka si orang paling tua di negeri lesu yang dihormati telah memutuskan untuk mengorbankan nyawanya sendiri demi mencari si bayi tertawa. Sepuh itu menyelusuri sungai dengan rakit, hanya untuk membiarkan sisa tawa tetap ada.

Pertapa duka telah menghadap raja semalam. Ia mengungkapkan rahasia pada raja yang tak dipahami oleh sang raja. Bagi raja semua rasa baru yang ia lihat adalah misteri dan ia melihatnya seperti teka-teki.

“Paduka, aku mengatakan kebenaran dari ayahnya–ayah–ayahku bahwa dahulu negeri kita sesungguhnya tak sama, tetapi dahulu semua baik-baik saja. Negeri kita pernah berada di dalam dunia ganda!” ucap pertapa duka itu dengan suara yang sangat sedih.

“Aku tak paham!” kata raja Ego.

“Dunia ganda adalah dunia sebelumnya, saat semua berada di dalam suatu kesatuan, ada tawa dan ada tangis, ada pekik dan ada pula rintihan, ada lesu dan ada juga semangat, saat itu semua perasaan rukun dalam satu kesatuan  seimbang yang apik, tak ada asumsi, semua orang bebas bertumbuh menjadi dirinya sendiri, tak ada pula persaingan, semua orang merasa satu di dalam dunia yang saling mendukung dan semua komponen bekerja sama secara selaras. Pun bahkan, saat hewan saling memakan semua masyarakat melihatnya sebagai kewajaran  yang tak menimbulkan persaingan sebab setiap komponen memiliki kesadaran diri!” jelas Pertapa itu lagi.

“Lalu, mengapa semua menjadi begini?” tanya raja Ego.

“Ibu dari ayahnya ayahmu, lahir sebagai pribadi tak cakap, ialah putri Ego–ia tak dilahirkan unggul, tetapi ia bahagia. Namun, bagi orang tua yang mencintainya, ketidakpiawaian itu adalah suatu kesialan dan perasaan tak puas itu menumbuhkan dengki untuk pertama kali dan ayah dari ayahnya ayahku telah membuat pula kesalahan. Ia menciptakan pepatah padi guna menyemangati keluarga raja!” ucap pertapa semakin tertunduk.

“Pepatah apakah yang sungguh dasyat itu petapa?” tanya Raja dan petapa itu pun berbisik di telinga sang Raja.

“Semakin berisi semakin menunduk?” tanya Raja heran, “tak masuk akal, bagaimana mungkin pepatah bagus bersalah?”

“Ya, raja seperti itulah, mulanya ia hanya terdengar sebagai pepatah yang bagus, padahal sebenarnya ia adalah pepatah yang gegabah, sebab waktu itu semua makhluk telah memiliki kesadaran diri, sehingga mengajarkan menunduk tak perlu lagi. Tiada pula satu pun yang mengolok atau tak berempati pada putri, semua orang bahagia, andai dengki tak ada. Semua orang saling membantu. Namun, raja telah tertipu hatinya sendiri, kemudian budaya menjadikan pepatah itu hukum masyarakat dan ia menjadi norma, lalu ia menjadi aturan. Sejak itu semua orang menundukkan kepala, tak ada lagi yang bersemangat, semua orang takut menunjukkan kesenangannya, takut bermimpi, takut terlihat bahagia, meskipun oleh hal-hal sederhana, lalu tawa semakin surut dan kemudian tawa sirna. Sekarang tak ada lagi orang yang bahagia.” ucap pertapa.

“Ya tetapi itu benar, seseorang yang terlalu bersemangat adalah orang yang terlihat seperti mencari-cari perhatian, orang yang antusias adalah orang yang menjijikkan , mereka sok, tak tahu malu dan kenapa pula harus menunjukkan bahagia?” tanya raja lalu ia terdiam sesaat, “itu bukan tradisi kita, negeri kita lahir karena penderitaan yang agung!”

“Tapi, yang mulia … setelah saya melihat matahari itu muncul, saya bahagia dan itu membuat antusiasme bukan ambisi. Saya rasa bahagia yang sederhana tak bersalah, begitu pun saat orang membaca, atau saat orang melihat bunga, semua orang berhak bahagia. Bukankah putus asa yang menjadi budaya dalam mencapai ilmu di negeri ini tak menghadirkan apa pun? Bukankah sungai ilmu pengetahuan kita telah berhenti mengalir yang mulia?” Pertapa mencoba melunakkan hati raja.

“Tidak bisa pertapa, tak boleh, sudah hukumnya sebuah antusiasme melahirkan sebuah kesenangan dan kesenangan saat bekerja itu mengerikan, ia melibas mereka yang menangis diam-diam, mereka orang-orang senang itu harus dihancurkan sebelum mereka mengalahkan orang-orang yang meratapi kegagalan!” Raja Ego berpegang pada ilmu pengetahuan yang diyakini olehnya seumur hidup. Baginya menjaga tradisi adalah hukum mutlak.

Sang Pertapa bertahan pada pendapatnya dan ia pun diusir dari istana, lalu raja memerintahkan siapa saja untuk mencari bayi tertawa. Di mana pun ia ditemukan, maka ia berhak dibunuh. Seluruh prajurit berkejar-kejaran dan mereka berkeliling ke seluruh penjuru negeri dan mereka beradu-pacu dengan waktu, guna mengejar pertapa yang terseok-seok berjalan sejak semalam.

Di sungai ilmu pengetahuan ikan-ikan meloncat riang. Airnya yang berwarna menghitam kini cerah berwarna turkish. Sang bayi terus tertawa di atas rakit. Pertapa berusaha meraih rakit dengan ujung tongkatnya. Ia melawan arus kebiasaan dengan sisa kekuatan. Satu tangisan panjang ia keluarkan agar arus air berhenti mengalir. Bayi itu terdiam dan secepat kilat ia menyambar keranjang dan bayi itu pun kembali tertawa lagi.  Sungai ilmu pengetahuan  kembali mengalir bersama sang pertapa yang membawa keranjang bayi. Mereka memilih bermuara di tepian batas kebajikan.

Saat menepi, pertapa menggendong sang bayi menuju pohon kesabaran di dekat air terjun. Ia menimang si bayi dalam pelukan. Ia hanya ingin menyelamatkan sisa tawa di negeri itu. Sebab, ia memiliki kemampuan menangis paling pedih, maka ia bisa membuat semua mati. Tak ada yang berani mendekati mereka dan ia membiarkan sisa tawa yang sedikit itu tumbuh. Pertapa memberinya nama anak antusias.

“Ketahuilah nak, kau akan selalu hadir di  tengah negeri lesu dan semua yang putus asa akan membunuhmu, tetapi kau tetap hidup, dan setiap kali mereka menyakitimu,  kau hanya perlu berlindung di bawah pohon kesabaran, sebab kau tumbuh dalam perawatan kebijakan. Ingat ingatlah nak, orang bijak tak pernah menganggap diri mereka terlalu serius!” kata sang pertapa.

Dan begitulah awal mula antusias hadir hanya dalam sedikit porsi di dunia yang miskin kebahagiaan.



Bagikan:

Penulis →

Afrilia

Lebih dikenal sebagai Adhe Afrilia penulis novel Hawwa, Carcajadas dan aneka cerpen. Seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Cileungsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *