Dia memperkenalkan namanya yang aneh. Mioli. Mirip merek minyak goreng. Tak pernah kudengar nama ini sebelumnya. Barangkali diambilnya dari jenis tumbuh-tumbuhan, atau mungkin benda luar angkasa. Tak juga kutanya lebih jauh, tentang apa arti nama Mioli. Aku baru mengenalnya dua puluh menit yang lalu, dan tentang hal itu akan kutanyakan saat besoknya dan besoknya lagi, jika kami masih bertemu di taman kota ini.
Dia memilih untuk mati dalam keadaan tertidur, katanya seusai menyebut namanya yang aneh itu. Dan aku yang sesekali memperhatikan wajahnya dari arah samping : ada banyak bekas jerawat dan senyum yang manis dengan gingsul kanan kiri berjejalan di sana.
“Ayahku mati dalam keadaan tertidur, dan aku tidak pernah lupa hari itu, saat aku membangunkannya keesokan hari dan ruhnya yang ternyata sudah tidak bersatu dengan raganya.” Hening sejenak, kutunggu kelanjutan ceritanya dengan debar yang tak bisa kugambarkan.
“Padahal ayah masih sempat bercerita banyak di malam harinya, bercerita apa saja, tentang bayi yang baru lahir yang ternyata tidak mengeluarkan air mata saat menangis, juga pria yang kehilangan 40 helai rambut setiap hari dan wanita 70.” Dia masih mendominasi pembicaraan, dengan mata yang menerawang, amat dalam. Sesekali diselipkannya di telinga, ujung rambut yang lebih sering menutupi matanya.
“Dari situ, aku menyadari satu hal, tak ada tempat paling damai di dunia ini selain di kamar dan sendirian, tak ada siapa-siapa, kemudian mati dalam keadaan tertidur.”
Selebihnya, kami larut dalam pikiran masing-masing. Atas dasar apa, kenapa dia menjadi seterbuka itu. Hingga kemudian dia bungkam setelahnya, barangkali baru sadar telah bercerita terlalu banyak dengan orang yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Dan aku yang tak juga mengatakan apa-apa, selain namaku yang sempat kusebut pada saat perkenalan tadi.
Lato’ berpulang pagi kemarin. Kepulangan yang mendadak. Hanya sakit kepala sebagaimana umumnya dia memang sering mengeluhkan kepalanya sejak dulu, memintaku memijitnya, dan dia yang kemudian tidak bergerak lagi setelah itu. Napasku seolah ikutan lepas saat itu juga, bahkan untuk keluar sepatah kata pun, semua tertahan rapat di kerongkongan. Segala sesuatunya menjadi serba buru-buru. Lato’ dibawa ke rumah sakit. Dan pecahlah yang dari tadi tertahan, saat dokter keluar masih dengan seragamnya yang lengkap, membawa kabar yang tidak baik itu. Lato’ sudah tidak ada lagi di dunia.
“Kamu mau mati dalam keadaan apa?”
Aku baru sadar, telah dari tadi mendiamkan pertanyaan Mioli. Pertanyaan yang jelas ditujukan kepadaku seorang. Dan aku yang sama sekali tidak siap untuk memberi jawaban apa-apa. Belum pernah terpikirkan sebelumnya. Bagiku, hidupku mungkin masih seribu tahun lagi, dan berharap lebih dari itu, jika boleh.
“Kamu mau mati dalam keadaan apa?” Pertanyaan yang kembali diulang.
“Membaca buku,” Jawabku ragu. Pun atas dasar apa, kenapa cuma kalimat itu yang terlintas saat ini.
“Membaca buku?” Dia menatapku dengan tawa yang sulit kujabarkan. “Duduk? Berbaring?”
“Apa saja … duduk atau berbaring, bagiku sama saja, aku ingin mati dalam keadaan membaca buku.” Kali ini, berangsur-angsur keraguanku menguap.
“Buku apa?”
“Buku apa saja, selama itu buku yang baik-baik …”
“Memang ada buku yang tidak baik?”
Mata kami bertatapan, sepersekian detik. Tak ada jawaban, karena sebenarnya dia pun tak butuh itu. Tapi menarik, sepertinya akan mulai kupikirkan buku apa yang harus kupersiapkan setelah ini. Barangkali Novel karangan Haruki Murakami akan menjadi salah satu kandidat terkuat, setelah menamatkan 1Q84 dan aku jatuh cinta dengan karakter Aomame.
Lato’ sering kudapati bangun tengah malam, terduduk lama di ruang tengah di bawah temaram lampu pijar yang cuma satu-satunya di dalam rumah yang akan menyala sampai pagi. Menekuri tumpukan-tumpukan buku yang sudah tidak beraturan di sana. Ada banyak buku, kata Lato’, hanya buku-buku yang bisa dia wariskan untuk keturunannya. Dan itu cuma aku, seorang. Pernah sekali dua kali kusampaikan, bahwa aku sepertinya tidak butuh buku. Bagiku, buku-buku hanya akan menambah sampah kertas yang membuat sesak isi bumi. Dan Lato’ yang mengacak rambutku dengan gemas, dengan umpatan kasarnya yang tak pernah benar-benar serius kumasukkan dalam hati.
“Tapi ada juga orang yang mau mati dalam keadaan sujud.” Mioli kembali mengoceh, menyadarkan kepalaku yang sudah bergerilya tak beraturan. “Biar dekat dengan Tuhan, katanya.”
“Benarkah orang yang mati dalam keadaan sujud sudah pasti masuk surga?” Dan mata kami yang kembali bertatapan, sepersekian detik. Dan lagi tak ada jawaban, karena sebenarnya dia pun tahu, aku tak tahu sama sekali hal itu.
Lato’ punya satu-satu anak di dunia, Emma’, ibuku, dan saban hari Lato’ sudah menganggapnya tak ada di dunia. Sudah kupertanyakan, bagaimana mungkin dia tidak menganggap ada kehadiran ibuku, sementara anak yang dilahirkannya dia rawat dengan baik. Katanya, kehadiranku bukan atas permintaan siapa-siapa, dan tak ada kesalahan sebesar biji zahrah pun yang kuperbuat atas apa yang telah dilakukan ibuku. Emma’ melahirkanku di usianya yang masih 14 tahun. Dan aku tak pernah mengetahui siapa bapakku. Kata Lato’, anggap saja aku terlahir sebagaimana halnya Nabi Isa dilahirkan. Tentu saja aku tak menerima itu, andaikan seperti Nabi Isa, kenapa Lato’ tak juga menganggap ada Emma’ sebagaimana halnya Maryam yang tetap dirawat penuh cinta oleh ayahnya, Imran. Dan lagi, Lato’ yang akan kembali mengumpat dengan kasar setiap ada dalil yang kuakui kebenarannya, dan tentu saja tak pernah benar-benar kuseriusi untuk memasukkannya kembali dalam hati. Baru belakangan ini, tiba-tiba saja kepalaku menjadi penuh, menebak-nebak bagaimana hubungan ayah dan anak antara Lato’ dengan ibuku. Karena sudah begitu lama, tak sekali pun kutemui kerinduan Lato’ terhadap ibuku, setidaknya mencari tahu dimana kini anak semata wayangnya berada. Sebagaimana halnya dia yang seringkali menyebut-nyebut nama nenekku yang sudah berpulang terlebih dahulu, bahkan mendapatinya menangis diam-diam dengan sebuah foto yang kadang dipeluknya begitu dalam seperti memeluk manusia.
“Aku mau pulang, tadi siapa namamu? Besok jika berkenan kau datang lagi ke sini.” Mioli kembali mengacak-acak isi kepalaku, buyar seketika itu.
Bahkan namaku tak sempat kuulang, dia sudah beranjak pergi dengan ujung rambutnya yang berlomba diterbangkan angin sore paling nanar kala itu.
***
Seketika itu, aku dan Mioli menjadi pencerita dan pendengar yang saling melengkapi. Di taman kota yang tak pernah benar-benar ramai oleh pengunjung. Lebih seringnya mengakhiri perjumpaan dengan keheningan yang cuma kita bisa memaknainya masing-masing. Perjumpaan yang tak juga benar-benar bisa dikatakan panjang, hanya kisaran tiga puluh menit, mungkin sedikit lebih dari itu.
“Kemarin pagi, seorang penyair berpulang.” Sore itu dia membuka perjumpaan. “Kematian yang dijejali ucapan bela sungkawa dengan mengutip puisi-puisi ciptaannya, aku juga ingin mati dengan ingatan baik orang-orang kepadaku.”
Kembali hening, kali ini dia mengikat rambutnya hingga leher jenjangnya terlihat dengan sempurna.
“Dia masih sempat meneguk sedikit teh sebelum akhirnya pulang, dan itu teh terakhirnya di dunia.”
Tentang teh, akan sedikit kuceritakan bagaimana Lato’ begitu mencintainya. Baginya, pembuka hari yang baik adalah secangkir teh panas dengan camilan apa saja, atau tidak ada sama sekali tidak mengapa yang penting ada teh. Aku menjadi pembuat teh terbaik bagi Lato’. Takaran gulanya pas : tawar tapi manis, rasa yang sulit kujabarkan bagaimana Lato’ selalu memuji teh buatanku. Pada hari kepulangannya dia masih sempat meneguk habis teh buatanku, memujinya berulang kali, pujian yang sama setiap hari, dan aku tidak pernah tahu bahwa itu menjadi teh terakhirnya di dunia.
“Nanti sebelum aku mati, ingin kunikmati secangkir coklat dan roti bakar isi selai mentega.”
Kembali hening menyelimuti.
“Kamu sendiri? Makanan apa yang ingin kamu makan sebelum mati?” Mioli menangkap ekor mataku, penuh rasa penasaran, kira-kira jawaban asal apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
“Jambu merah dengan cocolan kecap pakai garam dan tiga cabe rawit.”
Tawanya pecah. Tawa pertama yang terdengar semenjak pertemuan kami. Barangkali dia sudah menebak akan muncul kata-kata seperti itu. Pun dari mana kutemukan ide tentang makanan yang akan kumakan sebelum mati. Kutertawai diriku sendiri, dalam hati.
“Andai saja kita bisa meminta macam-macam … “ Dia masih berusaha menormalkan nada bicaranya, setelah diguncang tawa hebat beberapa saat lalu. Dan setelahnya, dia kembali mendominasi pertemuan-pertemuan, bercerita apa saja. Kali ini tentang langit yang lebih biru dari biasanya.
“Aku mau pulang, siapa lagi namamu? Besok jika berkenan kau datang lagi ke sini.”
Dia sudah beranjak pergi dengan nama yang lagi-lagi tak sempat kuulang. Kuamati tubuhnya sampai benar-benar hilang. Tinggal aku sendiri, dengan orang-orang di sekitar yang juga punya kesibukannya masing-masing.
Aku dan Mioli kemudian menjadi teman yang aneh. Berjumpa kemudian berpisah, meninggalkan obrolan receh yang sebenarnya tak pernah benar-benar disebut obrolan. Yang sering malah hening yang membersamai, agak lama. Kemudian bubar begitu saja. Kemudian Mioli yang tak lagi muncul setelah hari itu. Berhari-hari. Terakhir pada hujan gemericik pada sore kala itu, di bawah pohon dan dia yang lebih sering dari biasanya menyelipkan ujung rambut di telinganya karena sudah mulai tumbuh panjang.
“Jika besok aku tak lagi datang, barangkali aku telah pulang.”
“Pulang kemana?”
“Pada Tuhan.”
Mata kami bertatapan, dan dia yang tertawa hebat lagi, dengan bola mata yang tak terlihat saking sipitnya. Barangkali, menertawakan wajah datarku atau mungkin menebak kata-kata asal apa lagi yang akan muncul kemudian. Dan aku yang tak menganggap lucu sama sekali semua ini. Melainkan, ada perih yang tiba-tiba saja menyeruak begitu hebat.
Lato’ pernah menyampaikan hal serupa. Persis seperti itu. Seminggu setelah kepulangannya, dan aku tak peka dengan firasat yang bisa saja menjadi alamat tentang kepulangannya. Pun Lato’ menyampaikan dengan nada bicara yang wajar sambil menyapu debu-debu yang menempel di bukunya, sambil sesekali meneguk teh buatanku yang barangkali sudah berembun dingin di sana.
Hingga berhari-hari, aku menunggu Mioli, dan selama itu pula dia tak lagi muncul. Aku menyesali, kenapa tak pernah kutanyakan alamatnya atau sedikit mengetahui latar kehidupannya. Kali ini, seperti orang gila, aku menunggu Mioli. Berharap dia tiba-tiba saja muncul, mengagetkanku, dengan menutup mataku terlebih dahulu, dan jika itu terjadi aku berjanji akan memeluknya sangat lama, menangis pun tak mengapa. Tapi Mioli tak pernah muncul. Dan rasanya, susah untuk menerima kenyataan jika Mioli benar-benar telah berpulang, dan aku yang belum pernah bercerita banyak. Tentang hari-hari kepulangan yang harus selalu dipersiapkan.
“Dia berpulang beberapa hari yang lalu, kepulangan yang memprihatinkan, menenggak racun karena telah hamil empat bulan.”
Seorang perempuan yang menggantikan kehadiran Mioli sore itu, datang tiba-tiba dengan raut wajah yang pucat. Kemudian pergi begitu saja, tanpa ada kata lagi setelah itu, meninggalkanku dengan air mata yang mulai turun satu per satu.
Beberapa hari yang lalu, kuperhatikan baik-baik foto yang selalu dipeluk Lato’ dengan tangis diam-diam yang dilarungnya sendiri. Foto yang terselip di salah satu buku favoritnya, Kitab Ihya Ulumuddin, ada foto nenek di sana, juga ternyata ada foto ibuku yang ditempelnya berdekatan. Baru benar-benar kuperhatikan, dan sadar akan hubungan seorang ayah dan anaknya, bahwa dia akan memaafkan dengan cara yang berbeda, menerima, melepas dan mendoakan teramat dalam, diam dan tangis. Karena barangkali teramat luka di hati sana, mengetahui anak kebanggaannya, yang dia siapkan untuk menjadi penceramah masa depan, ternyata hamil di luar nikah.
Mioli, ah … andai saja sempat aku menceritakan pada bagian ini saja. Bahwa masing-masing orang akan pulang dengan cara-cara yang tak bisa ditebak. Mioli, Mioli … dengan suara tertahan aku merapal nama itu dengan perih yang tak bisa kujabarkan.
“Hai … siapa lagi namamu? Aku kira kita tidak akan bertemu kembali, aku baru saja pulang dari Kalimantan, agak lama memang, mendiskusikan sesuatu dan aku tidak tahu bagaimana caranya mengabarkan hal itu kepadamu.”
Tenggorokanku tercekat. Tangis yang tadinya jatuh berderai seolah masuk kembali. Bumi berhenti berputar seketika. Di depanku ada Mioli. Mioli yang aku kenal dengan ujung rambutnya yang lebih sering menutupi matanya.
“Bukannya kamu telah meninggal?” Ragu kusampaikan hal itu padanya, dan disambut dengan tawa sebagaimana tawa-tawa di hari sebelumnya.
“Meninggal dengkulmu.” Dia mengambil tempat di sebelahku, kembali mendominasi perjumpaan, dengan cerita-ceritanya, kali ini tentang Kalimantan, dengan cerita yang lain dari biasanya, tentang rekayasa genetika yang cepat atau lambat akan menjadi penyebab serius masalah kesehatan bagi manusia. Dan aku yang mengamatinya masih dengan perasaan yang tak lagi bisa kutebak.
Aku ingin pulang sambil membaca buku, sirah nabawiyah, dan secangkir teh hijau dengan bolu gulung isi selai coklat. Akan kuralat sebagian yang pernah kusampaikan padanya, jika yang di hadapanku sekarang memang benar Mioli, dan semoga ini bukan halusinasi semata.***
Lato’ = kakek (dalam bahasa Bugis)
Emma’ = ibu (dalam bahasa Bugis)