Hari Minggu yang tidak menyenangkan bagi Kalila. Ia demam setelah permintaannya untuk ikut ayahnya pergi ke kota ditolak keras-keras: tangan kecilnya yang berusaha memegang erat-erat ujung lengan kemeja laki-laki di depannya dikibaskan begitu saja, lalu bocah itu dibentak, “Menyingkirlah!” Padahal seharusnya hari ini ia bisa menabung cerita hari libur banyak-banyak agar besok ketika sekolah ia bisa menjawab pertanyaan teman-temannya, “Pergi ke mana saja kemarin?” atau “Diajak ke mana oleh ayah ibumu? atau “Bermain apa saja kemarin?” tapi agaknya keinginan itu harus lesap seperti uap bubur nasi yang dibawakan oleh ibunya pagi ini setelah selesai mengompres Kalila sambil sesekali menyeka matanya. Bau santan menguar di kamar itu. Di luar seseorang mengecat langit dengan warna biru cerah, tapi rumah bocah itu itu dipenuhi awan murung.
“Besok aku tak ingin ke sekolah,” rengek Kalila sebelum membuka mulut dan membiarkan sesendok bubur yang baru saja ditiupi ibunya berkali-kali masuk.
“Kau boleh tidak ke sekolah jika demammu belum turun.”
Ibunya terus meniup-niup sesendok bubur sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya, sedangkan bocah itu membiarkan uap santan menusuk hidungnya dengan lembut, meski perutnya merasa sedikit mual.
“Aku ingin pergi dengan Ayah di hari Minggu, Bu.”
“Kau bisa pergi dengan Ibu, Sayang.”
“Aku ingin punya cerita tamasya bersama Ayah, seperti teman-teman yang lain.”
Kalila tak mendapat jawaban dari ibunya. Ia ingin mengulang kata-katanya tadi, tapi ibunya buru-buru menyuruhnya minum obat lalu segera tidur. Ia tetap tidak bisa tidur meski sudah berusaha memejamkan matanya rapat-rapat dan memeluk boneka beruang cokelat. Kepalanya berisik sekali: ia ingat keributan di rumahnya semalam, ia takut saat teriakan dan bentakan menabrak-nabrak cuping telinganya, sedangkan ia tidak suka bunyi sesuatu yang dibanting keras-keras seperti yang sering dilakukan ayahnya. Ia membayangkan ayahnya berubah menjadi monster berkulit hijau yang buruk rupa dan siap menyiksanya kapan saja.
Keributan-keributan itu terus terjadi sejak Kalila berumur tujuh tahun tujuh bulan dua belas hari, dan berakhir ketika ayahya membentak dan menolak keinginan bocah itu di sebuah Minggu pagi. Setelah demam yang menjakiti dirinya pergi, satu peristiwa yang paling tak bisa ia lupa adalah ketika ayahnya pergi mengabaikan tangisnya sambil menyeret kopor hitam besar dan masuk ke dalam taksi.
***
Ini sudah satu minggu tapi ayahnya tak lekas pulang. Tiap Kalila bertanya pada ibunya, “Kenapa Ayah belum pulang?” ibunya akan memberi penjelasan bahwa ayahnya sedang tugas ke lain kota sampai entah kapan, atau kadang-kadang mengatakan sesuatu yang sama sekali tak dimengerti bocah itu, “Barangkali Ayahmu sedang dipinjam pekerjaan, atau mungkin kesenangan.”
Senin kemarin Kalila berhasil selamat dari pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya seperti yang terjadi di tiap awal pekan sebelum-sebelumnya karena demamnya masih betah berlama-lama tinggal di tubuhnya, tapi tidak dengan besok. Besok adalah hari Senin dan ia harus memakai seragam merah putih lengkap dengan dasi dan topi untuk mengikuti upacara bendera. Ia tak begitu menyukai upacara karena hanya akan membuat dirinya pusing dan mimisan akibat anemia, tapi ia tidak pernah diizinkan untuk tidak mengikuti oleh gurunya selagi terlihat baik-baik saja.
Kalila memasukkan buku-buku pelajaran yang harus ia bawa ke sekolah besok dengan malas sambil mencoba menawar pada ibunya, “Besok aku tak ingin ke sekolah, Bu.”
“Kau bertengkar dengan temanmu?”
Ia menggeleng.
“Lalu?”
“Aku tidak ingin diejek teman-teman karena tidak punya cerita bagus di hari Minggu.”
“Kau bisa bercerita pada mereka bahwa kau telah menghabiskan hari Minggumu untuk bersenang-senang bersama ibu.”
Kalila merasa tidak puas dengan jawaban ibunya. Ia pikir ia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya sampai tamat sekolah nanti. Kalaupun ia bicara seperti yang disarankan ibunya, itu sama saja dengan berbohong karena memang ia tidak bersenang-senang bersama ibunya di hari Minggu, padahal kata guru mengajinya jangan sampai ia berbohong kalau tidak ingin dimakan ular yang menyimpan api di perutnya.
Ia pikir pekerjaan yang harus diselesaikan ibunya saat libur kerja di hari Minggu terlalu banyak: membersihkan wastafel, mengepel lantai, mencuci dua keranjang baju, menyetrika pakaian-pakaian yang mulai menggunung, membikin sarapan, berbicara dengan para tetangga, dan hal-hal lainnya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan bocah itu untuk mendapatkan cerita berlibur di hari Minggu bersama ayahnya.
***
Kini ia tak lagi mendapati teman-temannya di sekolah dasar yang sering mengejeknya. Tidak ada lagi drama akhir pekan bersama ibu yang harus ia lakukan. Ia tumbuh menjadi gadis lima belas tahun dengan baik bersama ibunya. Kalila lelah menghabiskan masa kecilnya untuk memaksa, marah, atau menangis, tapi tidak sekalipun ia mendapatkan keinginannya: memiliki cerita berlibur menyenangkan di akhir pekan bersama ayah yang bisa ia banggakan di depan teman-teman. Ia mulai pandai membenci ayahnya yang tidak pernah datang, bahkan untuk sekedar mengajaknya berlibur di akhir pekan selama ia duduk di sekolah dasar.
Suatu ketika, di sebuah pagi di akhir pekan yang biasa saja, Kalila mendengar keributan di ruang depan dari kamarnya. Ibunya terdengar meneriakkan sesuatu, lalu terdengar meja atau semacamnya dipukul keras-keras. Ia bergegas keluar, tapi langkahnya terhenti ketika dari jauh ia mendapati seorang laki-laki yang sudah tak lagi ia tunggu datangnya. Segala sesuatu yang terjadi sepeninggal ayahnya ke kota pun berenang dan menyembul-nyembul di kepalanya.
“Pergi!” teriaknya dari kejauhan.
Pertikaian dan adu mulut terhenti. Ibunya masih terisak. Laki-laki itu berlutut menghadap ke arahnya.
“Ayah mohon, Kalila.”
“Tidak ada yang bisa dimohonkan lagi. Pergi!”
Kali ini teriakannya makin kuat, tapi hatinya makin sakit.
Laki-laki itu berdiri dan pergi. Langkahnya seperti orang yang tidak makan sehari, tapi Kalila tak lagi peduli. Pikiran dan hatinya ditusuk-tusuk ingatan buruk. Suara ejekan teman-temannya di sekolah dasar kembali terngiang dan berenang-renang di kepala. Ibunya datang dan buru-buru memeluknya. Mereka tak saling bicara, tapi agaknya peluk itu melegakan sesak di dada keduanya.
***
Tidak ada yang berubah setelah dua minggu sejak kedatangan laki-laki itu ke rumah Kalila. Ia sekolah seperti biasa, dan ibunya berangkat kerja tiap pagi dengan wajah seterang warna bunga matahari. Uap panggangan roti tawar juga tak pernah terlewat setiap pagi. Ia pikir semua sudah kembali baik-baik saja, sedangkan peristiwa tempo hari sudah menguap begitu saja.
Ibunya berpesan sebelum berangkat ke kantor pagi ini: ia akan pulang terlambat karena urusan kantor dan meminta Kalila untuk tidak tidur terlambat. Pagi ini ibunya terlihat lebih cantik dari biasanya: rambutnya sengaja digerai, setelan kemeja biru muda dan celana hitam, sepatu hitam dengan heels pendek yang lusa Kalila pilihkan untuknya saat pergi belanja, serta warna bibir seperti kulit buah stroberi yang mereka makan akhir pekan kemarin di Taman Mekar Sari.
“Ibu berangkat, Kalila. Jangan lupa mengunci pintu dan jendela nanti malam.”
Perempuan itu berlalu setelah sedikit mengacak rambut Kalila. Sepatunya meninggalkan bunyi seiring langkah kakinya. Bau parfum ibunya masih tertinggal dan membuatnya sedikit mual. Kalila menggelengkan kepala dan mengangkat kedua bahunya. Ia pikir ibunya sedang ingin gaya baru.
***
Agaknya semua anggapan Kalila salah. Ibunya tidak ingin gaya baru, tapi ingin kesenangan baru. Malam itu, ibunya dipinjam kesenangan dan lupa cara menyeberangkan dirinya untuk pulang. Pukul tiga dini hari ibunya pulang dengan wujud yang berantakan: dua kancing atas kemeja yang terbuka, rambut kusut, bau alkohol, dan aroma parfum lain yang menempel di tubuhnya. Kalila mendapati ibunya pulang selepas dari kamar kecil.
Berawal dari kejadian itu, Kalila membiarkan dirinya dimiliki kesedihan. Ia tak lagi bicara dengan ibunya sampai hari ke dua lima—hari ulang tahunnya. Pada hari itu, Kalila bercerita pada ibunya dengan tiba-tiba: bahwa ia ingin segulung ombak melalap dirinya cuma-cuma.
Magelang, 2021
===================