Bersedekap di Keheningan

Seperti Musafir
*) obituary Mas Iman

Seperti juga para musafir yang selalu dahaga, kau selalu sibuk bertanya sambil membolak-balik kitab, mungkin buku puisi tentang rahasia waktu yang konon lenyap bersama amblasnya buah-buah kuldi saat dijarah para khianat yang memburu peta-peta rahasia tempat kotak-kotak wasiat penyimpan kalkulator penghitung usia disingitkan.

Seperti juga para musafir lain, engkau pun gagal menghitung uban di kepalamu sendiri. Setiap kau buka kitab keramat itu maka burung-burung berterbangan, ikan-ikan berenangan. Burung-burung dan ikan-ikan bertubrukan, sayap dan siripnya lantas dikubur di palung antara langit dan samudera. Waktu sebentar lagi dikuburkan dalam-dalam, desahmu.

Para musafir seperti engkau selalu ingin sendirian bersedekap di keheningan sambil memandangi kalender-kalender kuno yang wingit sambil sesekali menghirup aroma kopi di cangkir seraya menyenandungkan serat dan suluk yang memanggil-manggil segenap roh untuk jadi juru tafsir menunjuk mana musim paling suci dan mana cuaca paling terkutuk.

Seperti para musafir lainnya, engkau selalu lupa tempat-tempat yang pernah kau singgahi dan selalu menggigil saat meriwayatkan para malaikat bermata ungu yang berkeliling membagi-bagikan kalender yang sarat bilangan-bilangan penat yang harus diterka dan ditafsir. Betapa lunglainya!

Para musafir seperti engkau selalu memburu sunya ruri yang tanpa jejak namun seperti firdaus tempat angin, hujan, musim kering, abu-abu, hijau, ungu berkelindan dan kau menyebutnya sebagai meditasi yang sesuci puisi yang sanggup luput dari dusta.

Seperti musafir yang lain, kau begitu rindu pada sebuah mata air atau telaga untuk mencelupkan tubuhmu kuyup-kuyup hingga rambutmu yang klimis menuliskan aksara-aksara yang membebaskan dari detak arloji yang memburu.

Duh, musafir engkau telah bebas dari waktu!

(ngawi, 2021)




Bersepeda Seperti Kura-Kura

Berkayuh di aspal basah. Pelan seperti pelancong menghikmati arah, langit dan peta
biarkan aku seperti kura-kura, berjalan gontai di pesisir susuri musim
sebab dengan merayap bisa kuhirup sisa-sisa jejak dan larik sajak
barangkali tapak terompah sang khidir yang menakwil semesta

Berkayuh, berayun khusuk mengalun ringan seperti bulu-bulu blengur si anak angsa
yang rontok lantas diterbangkan angin bersama serbuk bunga-bunga bougenvil
nyangkut di ujung rambut dara-dara perawan sehabis keramas

Aku tak mau bergegas seperti kuda. Apalagi genjik yang lintang-pukang
tersesat di tengah pasar, nabrak keranjang, nubruk pedagang, nendang lapak
lantas berakhir mendengking-dengking dlosor sebab pantatnya ditusuk besi membara.

Ah, segala yang begegas, segala yang tergesa selalu tersesat di neraka!

Berkayuh di aspal basah, serupa kura-kura merambat menghikmat debu
sambil merapal kidung dan jampi-jampi tolak balak. Aku hanya sekedar
membaca dan menafsir waktu. Menghayati segala yang basah menetes
lantas merembas ke tanah bergelayut di serabut akar-akar
menjadi saksi biji-biji yang pelan menjulang jadi tanaman, lantas membunga lantas lunglai

Seperti kura-kura aku berkayuh pelan dan mengalun
Lihatlah kuresapi irama, kuhayati setiap gerak yang tumbuh di titian waktu.

2021
   




Kereta Senja (3)
*) mengenang Mas Iman

kereta masih saja melengking-lengking
terperosok dalam lorong-lorong senja.
rel-rel lurus tak berkelok
abai pada stasiun-stasiun yang letih

: laju-lajulah kereta, kuucapkan sayonara pada bumi yang khianat
   kuucapkan selamat jumpa awan langit yang bersih!  

Kereta meluncur cepat melengking-lengking lintasi lorong-lorong senja

engkau menuju kota terakhir: kota cahaya sunya ruri yang putih
yang acap kali kau sebut dalam puisi!

2021




Solilokui

wahai, adakah ia? (yang bersabda tentang poci tanah liat yang retak)

andai angin itu menuntunku pada masa silam
akan kupilih menolak hari lahirku
biar waktu kecewa menungguku di ujung-ujung jalan
dan tak perlu kutelusuri jadwal matiku!

2021




Secangkir Kopi

masih tersisa senyum dan ragu yang hambar
: sejarah selalu merayap pelan untuk dilupakan.

Semalam, sehabis melarutkan malam dengan secangkir kopi
kita tak sempat berdoa agar aroma kopi bisa mengusir sepi

semalaman, kita menuduh kalender tak lagi peduli
: persis puisi pucat yang kabur dari wilayah bahasa

Secangkir kopi dan kita
saling mengintai siapa
lebih dahulu mematikan lampu
menipu cahaya menilap waktu
sebab kita adalah sepasang khianat
yang saling mengejar dan melupa kenangan
pada bibir yang pernah berciuman

: kita tak berdaya
tak sanggup mengekalkan apapun
sebait puisi atau kisah pemberontakan

yang tersisa di cangkir kopi cuma resah yang mengaduh lamat-lamat.

2020



Bagikan:

Penulis →

Tjahjono Widarmanto

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa. Menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016.
Buku puisinya antara lain: Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016). Mata Air di Karang Rindu (2013) Di Pusat Pusaran Angin (1997), Kubur Penyair (2002),  Kitab Kelahiran (2003). Selain menulis juga pernah bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, serta menjadi guru di SMA 2 Ngawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *