Menyalakan Sumbu Fitrah

Idul Fitri

Kalau hari ini masih terdapat jiwa yang compang camping
maka pasti jiwakulah itu

Ya Allah, aku tak berani mengaku kembali suci di telaga fitrah.
Puasaku seperti sebuah kalau di dalam setiap kata bukan,
zikirku ternyata seperti aliran angka matematika
yang mencoba merumuskan desir darahku
yang mencari sesuatu seperti yang tak mungkin kutemu.

Ya Allah, puasaku cuma menghindar dari segala macam kuliner,
tapi tak menghindar dari pendar-pendar air sungai
yang membuat bayanganku seperti hantu.

Kalau aku bicara hakikat puasa, aku malu, aku malu
Aku malu kepada diriku. Dan mengapa aku tak malu kepadaMu?
Ternyata telingaku tidak puasa, karena masih mencari
kabar-kabar buruk yang nikmat untuk didengar.
Mataku masih jelalatan mengejar tingkah-tingkah tak wajar,
dan mulutku tidak membendung kata-kata yang bermuatan jarum,
      duri, paku dan peluru.

Ya Allah, orang-orang kulihat nikmat dengan takbirnya,
dengan tahlil, tahmid, karena itulah samudera kebahagiaan
Sedang bibirku masih kelu dan kaku untuk mengucapkan kalimat istighfar.
Berilah aku kemampuan untuk mengucap astaghfirullah,
Astaghfirullah
Astaghfirullah
Dan berilah aku kefasihan melakukan tindakan nyata
dalam semua yang Kau bisikkan.





Matra

Riuh gelombang itu berguna
Saat kita mencari sisa derai di ketiak pantai
Tapi aku kesusu, desir yang biru menjelma abu-abu.
Dayung patah yang terkapar
Masih memberi makna untuk sekian kegagalan
Layarku sobek, ya Allah

Tiba-tiba
Riak-riak ombak menyiratkan senyum Ramadan
Senyum yang masuk ke sendi-sendi yang lelah 
menyalakan sumbu fitrah

Gumpalan rindu beterbangan mengejar ribuan bintang di langit
Kemudian rindu itu tumpah ke laut
Menimbulkan prahara di Samudra
“Ada apa ini?” tanya seekor merpati betina kepada jantannya
Tak ada jawaban
Segumpal meteor jatuh tak jelas
hinggap di mana mana
Tangis bayi di gubuk itu menyindirku
Rinduku yang tidak ikhlas akan menjelma kutuk yang bau








Bagikan:

Penulis →

D. Zawawi Imron

Penyair asal Batang-Batang, Madura, kelahiran 1945. Ia dikenal sebagai seorang kiai, mubaligh, dan pengasuh pesantren. Puisinya dimuat pertama kali di media lokal Minggu Bhirawa ke media media lain. Ia mulai dikenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tahun 1982. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilalang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *