Jantung Nini

Setiap kali melihat liuk api menyala dalam kegelapan, degup jantung Nini berdetak lebih kencang. Seperti ingin meledak seluruh tubuhnya. Matanya nanap. Napasnya tercekik. Nini seolah terkena sengatan listrik bertegangan tinggi, yang membuatnya mati dengan beberapa getaran paling dramatis, menusuk dan menyakitkan, tepat di jantungnya. Lalu bersusah-payah hidup lagi, tersengat lagi dan hidup lagi. Begitu terus berkali-kali.

Perasaan itu membuatnya terintimidasi. Hingga merasakan semacam desakan ingin buang air kecil berkepanjangan, pada perut bagian bawah. Lalu rasa sakit itu kembali lagi.

Meskipun Nini sudah berupaya dengan berbagai cara agar ia tak tertekan setiap kali gulita menyergap dan pijar api mulai meliukkan nyala, selalu gagal. Bulir keringat dingin perlahan membanjiri dahi dan lehernya. Setelah itu degup jantungnya kembali meningkat tak beraturan. Napasnya memburu dan ujung jemarinya mendingin, pucat pasi. Tapi pandangannya enggan menunduk.

Nini menantang nyala yang berkobar kecil pada sumbu lilin di hadapannya. Tatapannya menyempit dan fokus, terarah lurus ke depan. Api itu meliuk-liuk kuning bercampur jingga kemerahan. Sesekali meninggi oleh semilir angin yang menerobos ruangan. Nini terus berdiam di pojok ruangan dan melawan nyala api di bibir lilin, sembari mengutuki PLN yang tak becus bekerja. Mengakibatkan listrik padam berkali-kali dalam sehari.

Ruangan itu tak lebih besar dari gudang tempat perempuan-perempuan desa menyimpan persediaan bahan makanan di rumahnya. Berlantai keramik tempo dulu, dengan warna hijau kuning yang memudar dan di sana-sini ada bagian yang retak, bahkan pecah. Sudut ruangan dipenuhi dengan tumpukan karung dan barang-barang plastik. Sebuah ranjang kayu dengan tilam kapas yang dilengkapi sebuah bantal dan guling, terletak di salah satu sisinya. Nini akan menghuninya selama sebulan ke depan. Tentu itu bukan keinginannya. Pemilik rumah menempatkannya di sana, atas rekomendasi kepala desa setempat. Ia berada di desa ini untuk membantu menuntaskan kegiatan penelitian yang dilakukan dosennya. Celakanya, sang dosen meminta Nini berangkat duluan, mengumpulkan bahan-bahan permulaan. Sedangkan perempuan parobaya itu dengan ringannya berkata, ia akan menyusul. Entah seminggu, atau dua minggu ke depan.

“Ada tugas bimbingan yang masih harus saya lakukan,” dalihnya.

Bisa apa Nini kecuali mematuhi? Ia hanya ingin menyelesaikan kuliahnya dengan cepat, lalu bekerja, bekerja dan terus bekerja sampai tua.

“Kamu sudah paham, kan, dengan apa yang kita butuhkan? Saya percayakan padamu, ya?” Katanya tempo hari, saat menemani Nini di peron, menunggu kereta. Ia mengangguk,

“Saya sudah menelepon kepala desa dan menitipkan kamu kepadanya. Jadi tak ada yang perlu dicemaskan. Semoga lancar seluruh misi kita, ya?”

Nini mengangguk lagi. Senyumnya dipaksakan. Nini dapat merasakan, sepotong kecemasan yang dingin mengapung di matanya, melambai-lambai memohon kehangatan. Tapi Bu Dosen yang sepanjang waktu disibukkan dengan pesan whatsapp dan dering telepon itu memilih berpaling ketimbang menangguk kecemasan Nini dan mempertaruhkan hasil penelitiannya yang tak selesai tepat waktu.

Mereka menunggu dalam carut-marut pikiran masing-masing. Nini diam-diam menghitung orang-orang yang berlalu-lalang di depannya. Kereta tiba jelang senja dan perempuan itu melepasnya dengan sebuah pelukan yang berjarak.

Deru roda kereta bergemuruh memenuhi rongga telinga dan kepala, menggilas seluruh persediaan doa yang seharusnya ia baca sepanjang perjalanan. Entahlah, ada perasaan yang menguat di dalam dirinya untuk membaca doa demi keselamatan perjalanan. Seperti yang dulu kerap diajarkan ibunya. Do’a itu menguatkan ketika kau merasa lemah dan sendirian, kata ibu. Tapi yang dilakukannya adalah menyumpal mulut dengan sebutir permen. Ia terus melumat permen dan melayangkan pandang ke luar. Sesekali cahaya lampu dari bangunan-bangunan yang seolah berlari, menerobos masuk melalui jendela kereta. Namun lebih banyak hanya gulita yang menyembunyikan sawah-sawah, tembok permukiman, lorong di bawah pilar-pilar jalan layang dan rawa-rawa.

Permen kedua menggantikan dominasi permen sebelumnya atas lidah dan geligi Nini, yang kemudian disadarinya dengan terlambat, berada dalam pengawasan sepasang mata yang seolah-olah terpejam, di bawah lindungan topi hitam. Berulangkali ia memergoki mata itu menatapnya, tapi secepat kilat memejam kembali. Jantung Nini mulai berdegup tak beraturan. Ia mencium aroma bahaya.

Nyala api terus meliuk-liuk, sesekali meninggi.  Berkilat-kilat menjangkau mata Nini. Dan gadis itu masih bergeming. Ia orang asing di desa ini. Maka dalam gulita, menetap di kamar adalah pilihan yang terbaik.

*****

Kota kecil itu seperti permukiman di daerah perang. Gelap, sunyi dan menerka-nerka takdirnya sendiri. Nyala kecil menjentik dari jendela-jendela rumah. Tak cukup terang untuk menelisik apa saja yang dilakukan orang pada setiap rumah. Pukul sebelas malam, cahaya berangsur padam. Orang-orang memilih tidur dalam kegelapan, ketimbang harus merelakan tidur mereka yang kurang nyenyak. Cemas nyala akan berkobar tanpa kendali dan membakar apa saja. Termasuk jiwa mereka yang masih tergantung di alam mimpi.

Tapi api kecil di jendela rumah Nini masih menyala. Ia menunggu ibu, ayah, Tita, Awi dan Fajar. Kata ibu, mereka tidak akan lama.

“Kalau kau takut, jangan tidur terlalu cepat. Bercakap-cakaplah dengan Paman Novan,” kata Ibu sebelum pergi.

“Apakah Paman Novan akan terus di sini?” tanyanya dengan penuh cemas.

“Tentu. Ayah sudah memintanya untuk menemanimu hingga kami pulang.”

“Apakah setan tidak akan muncul dan mencekikku?” kejarnya lagi.

Matanya berkitar memindai sekeliling ruangan dengan cepat. Menelisik sudut-sudut yang ada. Berharap seluruhnya bersih dari setan yang dipercakapkan beberapa bocah sebayanya. Bocah-bocah itu penghuni kompleks perumahan sebelah, yang umumnya dihuni orang-orang kaya. Rumah mereka selalu bersih dan terang-benderang, dengan gordyn-gordyn tipis menghiasi jendela kacanya yang bening. Kata ibu, setiap orang yang melintas di sana pada malam hari, mampu melihat apapun yang dikerjakan setiap penghuni rumah. Anak-anak perempuan yang bermain dengan bonekanya di meja belajar; anak lelaki yang memainkan robot-robotan atau mobil-mobilan di bingkai jendela dengan suara berisik berderum-derum; serta para lelaki dewasa yang membaca koran di sofa ruang keluarga. Tidak..tidak, mereka tak selalu membaca. Koran terbentang lebar, namun wajah mereka lebih sering tenggelam di tubuh para perempuannya yang susah-payah menahan geli dan meredam cekikikan nakal. Itu kompleks cahaya. Nyalanya benderang sama rata. Bukan nyala api.

“Bacalah doa dengan khusyuk. Setan-setan akan pergi dan ketakutanmu akan lenyap seketika,” kata Ibu lagi. Ia berjongkok dan mengusap sepasang mata Nini yang berkaca-kaca.

Ibu, ayah dan saudara-saudaranya pergi begitu lama. Setidaknya begitulah yang dirasakan Nini. Ia telah menyalakan dua batang lilin dan memandangi liuk apinya hingga mereka terbakar habis. Dimainkannya sisa lilin yang telah mencair dan masih panas dengan ujung batang korek api. Lilin ketiga baru saja dinyalakan. Hangat nyalanya menjilat wajah Nini.

Nini terus mengorek-ngorek sisa lilin yang mulai mengeras. Tiba-tiba ia merasakan adanya pandangan yang menusuk tepat di seberangnya, dipisahkan oleh cahaya lilin samar-samar. Sepasang mata. Sepasang mata yang akrab dengan ingatannya. Namun tatapan itu asing. Mata itu berair dan merah. Mata Nini membesar seketika oleh sebab rasa takut yang menjalar. Ia tak melihat wajahnya. Tapi mata itu terasa begitu mengancam.

Itu pasti setan!

Nini sontak menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah. Jantungnya berdegup kencang. Otaknya berputar cepat, mencoba mengingat doa-doa yang diajarkan ibu. Lupa. Nini tak bisa mengingat. Ia merutuki jantungnya yang terus berdegup kencang dan mengomeli otaknya yang bebal, tak mampu mengingat. Bahkan sebaris doa.

Setan itu masih di sana.

Nini mengintip dari sela jemarinya yang renggang. Lilin ketiga hampir lumat. Sumbunya  nyaris merupa abu. Nyalanya tiba-tiba meliuk liar. Ada angin yang meniupnya. Angin itu tak terasa hingga ke punggung tangan. Bahkan tak menyelinap ke wajahnya. Tapi Nini mendengar suaranya. Lirih. Lirih sekali.

Itu pasti angin yang diembus setan-setan. Bukankah gelap adalah kerajaan abadi mereka? Begitu dongeng-dongeng ibu menggambarkannya. Ah, doa-doa. Mengapa mereka pergi meninggalkan kepalaku di saat begini? Nini merutuk tiada henti. Rasanya ingin berlari. Namun kakinya melekat kuat ke bumi. Kaki kursi yang diduduki juga. Kakinya dan kaki kursi tengah mengalami kelumpuhan yang ganjil.

Nini memejamkan matanya dengan paksa. Tapi telinganya terbuka. Dan ia mendengar suara angin. Ia juga mendengar langkah kaki, mendekat. Jantungnya berdegup bertalu-talu. Ombak-ombak tinggi pecah di dadanya. Angin itu tiba-tiba berdesir di balik telinganya. Hangat. Seperti angin laut.

“Apakah kau tahu di mana letak jantungmu?” Sebuah suara, serak dan parau, menghampiri telinganya.

Setan itu menginginkan jantungnya.

Nini bergeming beku. Telapak tangannya membekap wajah kuat-kuat. Nini ingin berteriak sekencang-kencangnya, memanggil doa-doa yang bersembunyi di tingkap. Tapi suaranya tercekat.

“Jangan takut. Aku akan menunjukkan di mana letak jantungmu. Dan kau, akan mengingatnya selamanya.” Suara di belakang daun telinganya kini nyaris serupa bisikan. Ia mengakrabi suara itu. Entah di mana.

Nini terlempar pada suatu tempat, di suatu masa. Jauh sekali.

“Aku ingin terbang tinggi. Seperti burung.” Nini mendongak, menunjuk burung-burung yang melintas di atas kepalanya.

“Sini, kugendong.” Lelaki muda itu mengangkat tubuh Nini dengan kedua tangannya. Satu tangan pada dadanya. Satu tangan lagi pada pahanya.

“Rentangkan tanganmu! Kau akan terbang!” teriak lelaki itu. Nini melakukannya. Ia terbang. Berputar-putar. Menukik. Mencelat. Melesat.

Nyala lilin tiba-tiba memerah saga. Lidah apinya menjilat ke sana-kemari. Nini mengintip dari balik jemari. Nyala api memercik kecil, sesekali berkobar, seolah menekan kemarahan.

“Pejam terus matamu. Rasakan jantungmu, dan kau akan terbang.” Nini terhipnotis. Ia melakukan yang diminta suara itu.

Setan itu tak bicara lagi. Tapi Nini merasakan tubuh makhluk itu melekat berat di belakang punggungnya. Ia dapat merasakan irama degup jantung yang kencang di punggungnya. Sementara degup jantungnya semakin liar, tak beraturan. Ia ketakutan, namun seolah kehilangan daya. Satu tangan yang hangat membekap dada kirinya, meremasnya, tepat di dekat jantungnya yang seolah kehabisan darah. Tubuhnya dingin seketika. Gemetar. Lalu seluruh tenaganya terserap sempurna. Kesadarannya hilang.

*****

Nini merasakan dirinya terlempar cepat dan jatuh terjerembab. Ngilu sekujur jantungnya menyerang kembali, menyebar dengan cepat. Ia terduduk di bawah kursi kereta sembari memeluk tubuh erat-erat, melindungi jantungnya yang nyaris sekarat. Baru saja sebuah cengkeraman kasar merenggut daging dadanya dan permen di mulutnya mencelat ke tenggorokan, menyegel teriakannya. Telinganya masih merekam gema jejak-jejak kaki yang berlari menjauh, menuju gerbong belakang, terus ke belakang, lalu lenyap digerus deru roda kereta yang gemuruh. Bangku di depannya kosong, menyisakan satu topi hitam yang berhasil direnggutnya, dengan sisa tenaga yang dibanjiri amarah. Lamat-lamat airmatanya menitik, bergulir tersendat. Gerimis di luar, pelan-pelan mewujud hujan yang murka, menampar-nampar kaca jendela. Orang-orang mengusung mimpi hingga ke pintu surga.

Nini berjalan lambat, menuju meja di salah satu sudut kamar. Tempat di mana nyala api meliuk-liuk pada sebatang lilin yang ditopang mangkuk porselen. Jantungnya kembali bergemuruh, berketuk-ketuk kencang, seakan memuntahkan seluruh degup yang dimiliki.

Nini tersenyum lebar. Ia semakin dekat. Liuk api bergerak-gerak liar oleh angin yang menyusup dari lubang ventilasi di atas jendela. Nini mengulurkan tangannya. Dengan ibu jari dan telunjuk yang terulur berjajar, Nini mendekatkannya pada nyala api. Jantungnya semakin bertalu-talu.

Nini memejamkan mata, mencoba mendengar suara-suara. Kata seseorang –entah siapa- rasa sakit harus dilawan. Ketakutan harus dilawan. Maka dua jarinya yang terulur bersisian itu tiba di antara nyala api. Nini menarik napas panjang. Dilekatkannya ibu jari dan telunjuknya mengapit api yang menyala. Panas. Ditekannya kedua jari semakin kuat. Ia mampu mendengar jantungnya yang berdetak-detak dengan keras, merobek dada. Dan rasa sakit dari masa-masa yang sudah, seolah mengalir ke ujung jemari. Dalam satu sentakan yang kuat, jemarinya mencabut sumbu lilin dan melemparkan batangnya ke sudut ruangan.

Ruangan itu benderang dalam waktu cepat. Tapi Nini sudah menutup rapat matanya. Sembari memejam, senyum Nini terkembang, kedua tangannya terentang lebar. Ia berputar lambat di tempat, membaui asap. Udara sangit. Ia berputar lebih kencang. Semakin kencang. Sebentar lagi, ia terbang. Terbang. Dan jantungnya, akan berhenti menyiksa perasaannya.

Medan, 2020

Bagikan:

Penulis →

R. Yulia

Lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 22 Juli. Berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di Harian Kompas, Majalah Sastra MAJAS, Seputar Indonesia (SINDO), Tribun Jabar, Tabloid Nova, Majalah Anita Cemerlang, Gadis, Sekar, Lisa, Gaul, Jelita, Story, Bobo, Harian Waspada, Analisa, Jurnal Medan, Singgalang, Haluan, Padang Ekspres dll.

Buku antologi yang juga memuat karyanya adalah Antologi A Cup of Tea for Single Mom (Stiletto Jakarta, 2011), Antologi 600 Fiksi Mini (Kosakatakita Jakarta, 2011), Antologi Kasih Ibu Tak Pernah Putus (Quanta, 2013), Antologi Negeri Poci : Negeri Langit (Kosakata Kita, Jakarta 2014, Antologi Negeri Poci : Negeri Laut (Kosakata Kita Jakarta, 2015), Antologi 1000 Haiku Indonesia (Kosakata Kita Jakarta, 2015), Antologi Taman Fiksi 01 (Taman Fiksi Jakarta, 2015), Antologi Sajadah (2019), Antologi Nominator Lomba Cerpen Kosambi (2020), Antologi Lomba Cerpen Firma Haris dan BWS (2020), dll.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *