Tatkala Kesedihan Bekerja

Kau merayap perlahan di tengah semak-semak bunga arum dalu yang tumbuh rimbun di halaman rumah seorang perempuan. Dari balik jendela kau mengintip sedang apa perempuan yang hendak kau temui. Perempuan berwajah kuyu itu sedang merenung di dekat pendiangan, udara dingin memanglah sedang menjilat-jilat menunggangi angin malam. Kau terpana, benarkah perempuan itu yang akan menjadi sarang dirimu selama beberapa minggu ke depan nanti. Kau menimbang-nimbang, kapan waktu yang baik kau bertandang singgah di hatinya, tapi tunggu dulu, kau begitu khawatir melihat wajah itu.

“Aku bahkan belum sempat menyapa dirinya, tapi dia sudah demikian terluka.” Bisikmu kelu. Kerosak daun-daun arum dalu mengacau pendengaran. Dan kau masih sibuk berpikir.

Kau paham benar, tak ada yang peduli akan keberadaanmu kecuali jika kau sudah bertandang dan bersarang di dada seorang manusia. Seperti beberapa pekan lalu, tatkala kau melihat seorang pemuda yang gemar bercanda, menebar tawa dan seolah tak akan pernah menyentuh dilema di hidupnya harus kau datangi. Di pesta seorang kawannya, kau melihat bagaimana pemuda itu demikian bahagia. Tawanya membuncah mengalahkan busa di gelas bir yang selalu berulang dituang. Tak ada kecemasan di mata yang masih bersorot cerlang. Tak ada kurangnya dari pemuda itu. Tetapi, tatkala pesta mereda dan satu per satu dari mereka membubarkan diri, kau mengikuti pemuda itu. Perlahan kau merayap di punggungnya, dan kau siap bersarang di dadanya, yang kau tunggu hanya kerja sepasang mata.

Di kejauhan beberapa meter di depan sana, seorang gadis sedang bergelayut mesra di pundak seorang pemuda. Kau menebak, tentu pemuda yang bersamamu mengenal gadis itu. Kau tersenyum puas, tatkala pertengkaran pecah di tengah keheningan malam. Dua orang pemuda saling adu mulut, sang gadis hanya menatap keduanya dengan cemas.

“Brengsek! Kenapa kau bisa jalan dengan pacarku? Kau itu sahabatku, Tom!” teriakan pemuda itu melengking.

“Aku minta maaf. Tapi aku menyukainnya bahkan sebelum kau mengenalnya!” ujar Tom sembari menarik tangan gadis yang sedari tadi bermesraan dengannya.

Melihat sorot mata pemuda yang biasa menebar tawa itu, kau tahu bahwa saat inilah waktunya. Perlahan kau merayap, masuk ke dalam dada pemuda itu dan bersarang di sana. Panasnya sisa gelegak bir yang ditambah amarah membuat kau kurang nyaman. Tapi kau tak bisa memilih, saat itu juga kau harus bekerja. Kau mulai memutar kenangan di ingatan pemuda yang hatinya sedang kau jadikan sarang, tentang kisah-kisahnya bersama gadis dan sahabatnya yang bernama Tom. Air mata mulai leleh dari mata sang pemuda. Dan kau semakin bersemangat bekerja. Kecemasan dan kegalauan kau datangkan silih berganti, tak berhenti meski malam semakin larut.

Kau memilih bersarang selama beberapa hari di dada pemuda itu. Tapi ternyata cukup ringan bekerja di dada seorang pemuda yang murah tawa. Banyak waktu yang kau gunakan untuk beristirahat. Tidur atau sekadar ongkang-ongkang kaki ketika pemuda itu bertemu kawan-kawan lainnya. Tawanya yang murah meriah kerap menggelegar. Lalu di hari kedelapan kau memutuskan untuk berhenti bekerja di dada pemuda itu ketika sepasang mata milik seorang gadis manis berambut ikal bersitatap dengan kedua mata sang pemuda. Sapaan terdengar, dan mereka ternyata kawan lama yang telah lama tak bersua. Degup di dada pemuda tempat kau bersarang selama beberapa hari belakangan terasa berbeda, kau paham benar bahwa kerjamu telah usai. Perlahan kau keluar dari dada pemuda itu.

“Mendadak kesedihan di hatiku pergi setelah bertemu denganmu,” ucap pemuda itu diiringi senyum.

“Oh, memangnya kau sedang sedih?” gadis manis berambut ikal menatap dengan kedua mata menyipit.

“Iya, beberapa hari belakangan aku sedang sedih. Tapi sekarang kesedihanku sudah pergi. Lenyap entah ke mana.”

Mendengar ucapan pemuda itu kau melata pergi, di dalam daftar yang kau miliki, ada nama lain yang perlu kau datangi.


***

Kau masih menatap perempuan berwajah kuyu. Perlahan kau masuk ke ruang tengah, tempat perempuan berwajah kuyu berada. Api di pendiangan bergoyang-goyang. Tangan sang perempuan tampak gemetar, entah lantaran udara dingin yang masih berhasil menyelinap masuk ke dalam atau masalah lain. Kau berhenti beberapa langkah di depan perempuan itu. Matanya menatap api di dalam pendiangan dengan nanar. Melihat sepasang mata itu, untuk kali pertama kau pun merasa menderita. Bagaimana bisa kau merasakan penderitaan yang serupa dengan sepasang mata yang seolah telah lama mereguk luka.

“Telah lama aku bekerja untuk menggugah rasa di dada manusia dalam kesedihan. Tapi untuk kali ini mengapa aku merasa enggan bekerja dan bersarang di dadanya,” kau berbisik di tengah gemeretak kayu yang dibakar kobaran api di pendiangan.

Selama berabad kau telah bekerja sebagai kesedihan. Alam menuntunmu untuk bersarang di dada manusia guna membawa keresahan. Tapi baru malam ini kau resah dengan dirimu sendiri. Kau enggan bekerja, dan kau memilih termenung di hadapan perempuan berwajah kuyu yang tampak demikian merana.

“Mengapa Tuhan seakan tak pernah mendengar doaku. Dosa masa lalu apa yang kucipta di kehidupanku yang dulu,” perempuan berwajah kuyu mengucapkan kalimat itu dengan nada rendah yang menggelitik pendengaran.

Mendengar ucapan perempuan itu, kau tertegun. Sudah berapa lamakah perempuan di hadapanmu ini menderita? Kau ragu dan tak tahu harus berbuat apa. Perempuan berwajah kuyu itu hanya melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalam pendiangan. Kau terpana menatapnya. Wajah perempuan yang kosong itu melahirkan rasa haru yang tak pernah kau kenal sebelumnya. Kau melihat bayang seorang ibu. Kau melihat wajah seorang perempuan yang kesepian. Kau berpikir lagi, menimbang-nimbang apakah kau akan bersarang di dada perempuan itu atau melata pergi.

“Selepas kematianmu, aku sungguh menderita. Rumah ini kosong tanpa dirimu. Terkadang aku berpikir bagaimana jika aku turut bersamamu, mati dan berkalang tanah. Kau tahu? Nisan dengan namaku pun sudah kusiapkan jauh hari yang lalu.” Perempuan berwajah kuyu itu berbicara sembari menatap sebuah wajah dalam bingkai foto.

Kau mengamati foto pria itu. Pria berbadan gempal dengan kumis melintang, senyumnya yang tampak demikian ramah dan menyenangkan mengembang seperti sapaan akrab untuk siapa saja yang memandang foto dirinya. Kau kembali mengamati perempuan berwajah kuyu. Perempuan yang demikian kesepian, ada lara yang selalu bermain di kedua matanya yang bersorot sendu tak bersemangat itu.

Kau mulai menebak-nebak, kesepian yang bagaimana pula dirasakan perempuan berwajah kuyu itu. Betapa mengerikannya kesepian bagi seorang manusia. Kau menimbang lagi apakah kau perlu bekerja atau tidak. Perlahan kau mengintip daftar nama di catatan kerjamu, benarlah perempuan ini yang harus kau pilih untuk bersarang di dadanya. Kau heran, bagaimana bisa bekerja jika keresahan-keresahan dan kepedihan sudah diteguk perempuan ini bahkan sebelum kau bekerja.

“Anak-anak kita itu, seakan tak peduli lagi dengan diriku setelah kepergianmu. Beberapa waktu lalu, putri sulung kita itu bertandang ke sini. Kau tahu apa yang dia tawarkan kepadaku? Sebuah panti jompo yang mungkin bisa kujadikan pilihan. Dia dan anak-anak kita lainnya terlalu sibuk bekerja. Mereka tak hendak merawatku. Dulu aku tak pernah menyangka, betapa menjadi tua adalah sebuah kemalangan yang menyedihkan.” Perempuan berwajah kuyu itu meraba wajah pria di bingkai foto.

Mendengar ucapan perempuan berwajah kuyu, kau demikian terluka. Betapa mengerikannya memiliki anak-anak yang tak peduli seperti itu. Kau memilih menunda kerjamu. Di sisi lain pun kau tampak bingung dengan keadaan di hadapanmu. Di daftar catatanmu, perempuan inilah yang harus kau jadikan sarang. Sebagai kesedihan kau harus bekerja mengoyak perasaannya, tetapi bagaimana bisa sebelum kau bertandang saja dia sudah terlalu menelan luka. Kesedihan seperti dirimu bukan hal baru lagi baginya. Kehilangan suami yang teramat setia, lalu serangkaian pengabaian dan penolakan dari anak-anaknya cukup melahirkan kesakitan yang teramat di hidupnya.

“Lalu, perlukah aku bekerja? Bahkan sebelum aku memulai, kesedihan lain seolah sudah bertandang lebih awal di hatinya.” Kau duduk di bawah kaki perempuan itu. Keresahanmu bertambah sangat, saat waktu yang mengharuskan kau bekerja berdentang di telingamu.

Perlahan kau merayap ke kaki perempuan berwajah kuyu itu. Dengan lembut kau masuk ke dadanya, dan kau mulai bekerja. Ingatan-ingatan yang seolah hendak ditenggelamkan perempuan itu di kepalanya, kau munculkan begitu saja. Sebenarnya kau pun terkejut, tak sengaja kau memunculkan kembali ingatan-ingatan kelam di kepala perempuan itu. Tapi bak air bah yang datang, ingatan-ingatan menyedihkan itu menyeruak di ingatan sang perempuan. Upacara kematian di tengah gerimis di satu hari Minggu kembali bertandang di ingatannya. Bagaimana dia meratapi kepergian lelaki yang teramat dicintainya. Lalu penolakan-penolakan dari anak yang dilahirkan dari rahimnya, melahirkan kesedihan yang teramat sangat di hatinya.

Kau mengawali pekerjaanmu dengan teramat mulus. Tangis perempuan itu pecah, air matanya bercucuran mengalir di pipinya yang cekung keriput. Kau mulai resah melihat bagaimana perempuan itu meratapi kesedihan yang kau cipta. Dengan tangan gemetar, perempuan itu melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalam pendiangan. Api berkobar mulai keluar dari pendiangan. Kau terkejut melihat bagaimana perempuan itu menjejalkan potongan-potongan kayu ke dalam bara.

“Aku tak bisa lagi menahan kesedihanku, Simon. Aku akan turut bersamamu. Serta kenangan di rumah ini pun akan turut bersamaku untuk bertemu denganmu.” Ucap perempuan itu sembari mendekap foto suaminya.

Kau tertegun. Api menjilati apa saja dan mulai membakar rumah. Tapi perempuan itu tak beranjak meski lidah api telah membakar ujung gaun tidurnya. Tak lama kemudian api mulai menjilati dirinya, dan kau terlambat untuk keluar dari dadanya.[]

Salatiga, Januari 2019




Bagikan:

Penulis →

Artie Ahmad

lahir dan besar di Salatiga, 21 November 1994. Saat ini menulis prosa adalah hobi yang digemari. Novel barunya Sunyi di Dada Sumirah’ terbit Agustus 2018 di Penerbit Buku Mojok. Kumpulan cerita pendeknya baru terbit ‘Cinta yang Bodoh Harus Diakhiri’ terbit Januari 2019, di Penerbit Buku Mojok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *