Kematian Datang, Kemarin


Aku Hidup

Aku sentuh batu
Dengan tangan puisiku
yang tidak berubah menjadi air.
Aku sentuh duri
yang tidak berubah menjadi bunga.
Aku sentuh sebuah kata
yang tidak menjadi luka.
Hanya cinta,
kusentuh
dan kuubah jadi sarang.





Besok

Besok
Akan aku temui perempuan yang aku cintai
dan mengembalikan sayapnya.
Besok
Dia bukan lagi
sangkarku.





Tidak Lagi

Kubur aku
Sejauh mungkin
dan sendiri.
aku tidak ingin
berbaring di antara orang mati.





Aku Berjalan dalam Puisi Ini

Aku berjalan dalam puisi ini.
Judul yang berani menyambutku
dan memintaku untuk lebih mendekat,
Bahwa dia bukan satu-satunya judul di halaman kosong.
Kalimat pertama kesal,
karena aku memburunya dari lautan bahasa
untuk kutancap di atas kertas.
Kalimat kedua takut
bahwa kalimat pertama akan menolak dia masuk.
Kalimat ketiga tidak yakin
jika dia cocok dengan yang pertama dan kedua.
Kalimat keempat sedih,
karena puisi itu cukup jelas tanpa dia.
Kalimat kelima hilang,
karena dia datang setelah puisi lengkap dan kalimat berlebihan.
Kalimat terakhir mengubah penaku jadi peti mati,
karena dia terlahir mati.





Puisi Ini Menyelamatkanku

Kematian memanggil, kemarin, dan berkata,
“Aku suka bakatmu, aku ingin mengenalmu.”
Aku berkata bahwa aku akan mengiriminya salah satu bukuku,
tetapi dia berkata, “Bukan bakatmu dengan kata-kata yang kumaksud,
tapi dengan lukisan.
Seringkali aku begitu dekat,
Lalu kau mengira aku adalah pohon
dan kau melukisku dengan warna hidupmu.”
Kematian datang, kemarin, ke telingaku,
dan meninggalkanku melalui puisi ini.





Bunga

Lihat bunga itu
seolah-olah dia pun menatapmu.
Sodorkan perasaanmu
bahwa kau bukanlah sepasang gunting.
Bayangkan dirimu berdiri
Di tepi mimpi.
Dan sekarang…
Konsentrasi pada detak jantungmu,
dengarkan suara kehidupan.
Lupakan waktu
dan jangan mulai
jika lebah
mendarat di dadamu.





Pelabuhan

Ibuku pelabuhan,
ayahku sebuah perahu.

Ibuku perahu,
ayahku sebentang layar.

Ibuku layar,
ayahku angin.

Ibuku angin,
Ayahku cakrawala.

Pelabuhan, perahu, layar, angin, perjalanan dan cakrawala
dimana ibuku
dan ayahku, juga aku
adalah pelancong;
Yang datang dari dunia luar
Mendiami dirinya,
Yang ada dalam dirinya
Meruak menjenguk dunia.





Tolong

Biarkan kukejar mimpiku.
Tapi bangunkan mimpi lebih dulu,
Lalu aku.




Bagikan:

Penulis →

Rodaan Al Galidi

(lahir 1971) seorang penulis Belanda keturunan Irak. Seorang insinyur terlatih, meninggalkan negara asalnya Irak dan datang ke Belanda pada tahun 1998. Al Galidi menulis prosa dan puisi dalam bahasa Belanda, bahasa yang ia pelajari sendiri. Novelnya De Autist en de Postduif memenangkan Hadiah Sastra Uni Eropa. Dia juga penulis buku Two Blankets, Three Sheets, yang merupakan cerita fiksi tentang pengalaman emigrasinya. Puisi puisi ini diterjemahkan oleh Muhary Wahyu Nurba dan diterbitkan dengan persetujuan Rodaan Al Galidi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *