Mengapa Lukisan Ibu Berdebu, Ayah?

Aku berharap—seperti halnya debu-debu yang selalu kubersihkan saban hari dari lukisan-lukisan ayah—kala ragaku telah lebur menjadi remahan partikel nanti, aku akan menghambur bersama angin. Menyelimuti suatu benda dan membuatnya kehilangan warna. Mungkin itulah dendamku seumur hidup. Tetapi alih-alih melampiasakan, aku justru menjadi korban pelampiasan dendam ayahku sendiri.

Aku tak paham, alasanku terus hidup selain mengikuti bayangan ayah. Lelaki bersuara serupa gergaji itu, semenjak aku berusia lima tahun selalu menyuruhku melakukan hal-hal menyebalkan. Setiap pagi, sekira dua puluh lima menit usai azan subuh menggemakan nama Tuhan ke segala arah mata angin, aku telah berdiri di ruang tamu rumah kami, yang oleh ayah disetting laiknya galeri seni. Memegang kemoceng dengan sorot mata redup. Aku diminta ayahku menyapu debu dinding demi dinding, kursi santai, lampu-lampu halogen mini dan deret panjang lukisan yang bertengger menyelubungi dinding.

Seperti pesan ayah, aku selalu berhati-hati ketika menyapu debu dari lukisan-lukisan itu. Dia bilang debu-debu bisa memudarkan warna asli lukisan. Dan ketika wewarnanya telah pudar, lukisan akan terihat usang. Tentu saja ketika telah usang, orang-orang pasti enggan melihatnya lagi alih-alih menyelami keindahannya.

Ketika ayahku tahu—dan memang selalu tahu—ada sedkit saja partikel debu menempel di atas lukisan, maka pasti sebuah rotan akan memanggang punggungku seperti seterika di level panas maksimum. Entah mengapa aku selalu berteriak, dan memohon ampun ketika ayahku mulai memegang rotan satu itu. Kenyataannya memohon amarahnya padam, terasa seperti berdoa pada berhala.

Yang akhirnya kupahami, aku selalu tak menemukan perbedaan warna pada setiap karya ayah. Dalam pandanganku, semua sebatas hitam putih semata, sejak lahir. Jika ada perbedaan, barangkali hanya tingkat kepekatan hitam-putihnya saja. Dan tentu saja untuk menemukan perbedaan itu aku haruslah menggunakan ketelitian pengamat politik ketika kedapatan beberapa janji kampanyenya tak terealisasi.

Berulangkali, ayah menyalahkanku tersebab ketidakmampuanku membedakan warna. Bahkan, pernah pula ia menyeret nama almarhum ibu dari liangnya dan memakinya karena telah menurunkan cacat padaku. Aku tak bisa melawan, sebab ayah memang seperkasa lokomotif buatan Belanda. Sementara aku tak lebih dari rakyat jelata, yang tak akan dikasih makan bila tak bekerja rodi.

Guernica, sejauh ini hanya lukisan satu itu, yang menurut ayahku bisa kunikmati. Nuansa monochrome dari lukisan yang menggambarkan kengerian perang Spanyol tahun 1937 itu, sangat berjodoh dengan mataku. Jika, Picasso masih hidup, maka aku pasti akan bersimpuh dan berterima kasih kepadanya.

Kebiasaan-kebiasaan ayah—tak hanya membuat punggungku gosong tetapi juga membuat dadaku sempit dan perih—lambat laun membuat aku berpikir arwah Picasso telah merasuk dan mewariskan trauma padanya, yang kesemua emosinya ditumpahkan padaku. Karenanya, aku tumbuh menjadi anak lelaki yang cengeng. Aku sering menangis tiba-tiba. Bahkan ketika bermain pun, ketika telingaku menangkap seringai napas gergaji ayah dari jauh, entah mengapa air mataku meleleh begitu saja. Teman-temanku sampai menjulukiku kucing penakut, karena keseringan menangis.

Sebetulnya, keinginanku hanya satu. Aku ingin menjadi seperti teman-temanku, aku ingin seperti ayahku, aku ingin seperti para pengunjung galeri ayah. Aku ingin tahu warna langit, warna tanah—kata guruku sama seperti warna kulitku, katanya pula aku tercipta darinya—lalu gunung, air, pelangi, bendera negaraku, seragam sekolahku, dan yang paling membuatku penasaran, lukisan-lukisan ayah. Seindah apa?

Suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada ayah, “Apakah dokter bisa menyembuhkanku, Ayah?” ia malah terbahak, dan justru menyumpal mulutku dengan kegamangan, padahal kurasa tak ada yang lucu sama sekali.

“Apa kau sudah gila? Hanya Tuhan yang bisa!”

“Hanya Tuhan?” kepolosan menghalangiku untuk mengerti.

“Atau kau punya mesin waktu, sehingga aku bisa kembali dan memilih kawin dengan wanita selain ibumu. Lalu kau terlahir dari rahim yang berbeda, tanpa cacat,” tutur ayah, tangannya sibuk memegang kuas. Di atas kanvas terlihat sebuah sketsa mirip jam dinding, rambut panjang seorang wanita dan beberapa coretan lain yang belum tuntas.

“Mesin waktu? Apa maksud ayah?”

“Sudahlah, tak ada guna menjelaskannya pada orang sepertimu, kembali bekerja!”

Pada akhirnya, penyesalan dan rasa penasaranku tentangnya hanya berakhir dengan baku hantam, memperebutkan singgasana utama di alam bawah sadarku.

*

Kala usiaku dua belas, ayah memasukkanku ke suatu pesantren di Surabaya. “Biar kau lebih berguna. Buta warnamu itu masalah buatku!” katanya. Ia tak peduli pada cita-citaku sama sekali. Padahal aku hanya ingin menjadi pelukis sepertinya. Aku hanya bisa menurut. Sebab sejauh aku hidup, aku bersaksi tak ada seorang pun yang bisa melemahkan tangan besi ayah.

Di pesantren itu aku bertemu dengan seorang Kiai sepuh dengan kebersahajaan seorang wali. Beliau orang alim yang seolah tahu permasalahan hidup dan seluruh rahasia semua santri, termas aku. Tetapi beliau tak pernah membeberkannya pada siapa pun. Walau kehidupan di sini terasa seperti di penjara pada awalnya. Tetapi aku mencoba untuk tetap kerasan.

Oleh kesahajaan Mbah Kiai itu, aku merasakan ada suatu energi yang membuatku selalu mentaati setiap perintahnya. Semakin lama aku di sini, aku makin dibuatnya legawa pada kehidupan. Aku mulai mengerti bahwa kehidupan bukan tentang berapa banyak hal yang kita miliki, tetapi tentang sejarang apa kita menyesali dan beralih untuk mensyukuri. Seketika aku teringat pesan ibuku, beberapa saat belum ia kembali ke haribaan Tuhan, bersyukurlah, Nak, bersyukurlah terus betapa pun sulitnya kehidupanmu kelak, karena hanya dengan cara itulah kamu akan bahagia.

Aku kira tak ada tempat keramat di sekitarku selain sebuah akuarium mini di pojokan galeri ayah. Tempat aneh itu terasa angker, sebab ayah yang selalu menungguinya dengan pandangan iblis yang diminta minggat dari surga. Cupang halfmoon impor dari Thailand bermotif seperti langit dan berbercak awan sungsang disiikan ayah ke dalamnya. Para pengunjung sering memandanginya penuh gairah laiknya seorang maling, sebab kata ayahku pula, ikan satu itu bernilai jutaan. Aku tak mengerti daya tariknya sebab yang kulihat tak lebih hitam dan putih belaka.

Tak kusangka ada satu tempat pula, di pesantren ini yang dikeramatkan, yaitu sebuah blumbang yang menurut cerita, dahulu Sunan Ampel pernah menggunakannya sebagai jalan gaib menuju rumah Tuhan di Makkah. Aku lalu berpikir, jika aku bisa berkunjung ke rumah Tuhan, lalu bertemu denganNya di sana dan meminta agar buta warnaku disembuhkan, maka seperti kata ayah pasti akan dikabulkan, kan?

Aku telah terlampau bosan hidup dalam nuansa hitam putih. Aku ingin melihat dunia yang sebenarnya. Aku ingin melihat warna-warna. Aku ingin membantu ayahku melukis, dan membuat galerinya ramai pengunjung. Aku tak peduli, meski harus memperawani larangan pesantren.

Hingga di Jumat malam, ketika mulut sebagian santri masih komat-kamit, memuraja’ah Jurumiyah, sebelum mereka lelap dalam mimpi, tepat tengah malam aku menyelinap keluar kamar. Aku berjalan menyamarkan diri di balik kesunyian menuju blumbang. Dan tanpa meninggalkan jejak apa pun, selain bulir-bulir keringat dingin yang menetes ke tanah, aku menceburkan diri ke dalamnya.

***

Ini adalah hari Sabtu. Biasanya pengunjung galeri ayah lebih banyak dari hari-hari lain. Oleh karenanya ayah biasa membangunkanku lebih pagi guna melakukan persiapkan terbaik menyambut hari kesukaan ayah ini. Di hari ini ayah tak lagi segarang guru matematika. Ia bahkan mampu meminjam senyum tulus mahasiswa di hari pertamanya magang di institusi pendidikan.

Aku disadarkan sebuah suara: bacaan dzikir dan tahlil yang sering kubaca di pesantren. Khususnya ketika peringatan haul Mbah Nyai. Aku tak terlalu ingat mengapa tiba-tiba aku bisa berada di kamarku sendiri, bukan di kamar pesantren.

Bacaan itu kian nyaring dan terasa menyejukkan seiring tubuhku yang kian mendekat ke ruang tamu. Di galeri ayah itulah, orang-orang berkumpul mengenakan sarung dan peci. Puluhan berkat telah dijajar rapi di atas haparan permadani. Gemuruh rasa penasaran memaksaku mendekat ke ayah.

“Acara apa ini, Ayah?” tanyaku. Tetapi ayah bergeming. Kuwedarkan pandangan ke dinding ruangan, sementara ia tetap khusuk pada bacaannya. “Ke mana semua lukisanmu?” Ia tetap tak mendengar suaraku.

Akhirnya mataku terpaku pada sebuah lukisan—lukisan selainnya telah ditanggalkan dari tempat semula—di sudut galeri, di mana kelopak mawar segar mengelu-elukannya dari atas meja kecil tempat akuarium keramat ayah. Lukisan itu tak asing bagiku. Ini adalah lukisan terakhir ayah, sebelum aku ia masukkan ke pesantren. Aku terkejut karena dari setiap hal dan benda yang kulihat, hanya lukisan itulah yang berwarna, bahkan kini mulai memendarkan cahaya purnama. Menjadikan mataku sembab.

Cahaya itu seolah menghisapku. Kini setelah sekian lama, akhirnya aku bisa merasakan ada ribuan ikan cupang halfmoon aneka warna berenang di setiap lorong pembuluh darahku. Jadi, seperti ini keindahan sebuah lukisan: jam dinding menempel di perut besar seorang wanita, tempaknya sedang hamil, di pipi wanita itu, butiran permata berjatuhan, dan di belakang si wanita terlihat seorang lelaki bermata purnama, tubuhnya yang beramandikan pelangi terikat rantai besi serupa tali pusar yang bermuara di pusat jarum jam.

Aroma kasturi menyeruak ke segenap relung ruangan. Aku merasa telah mengeluarkan berliter-liter air mata, tetapi ketika kuusap pipiku tak basah sama sekali. Aku berbalik ingin mendekat pada ayah dan berterimakasih, karena telah melukis dengan sangat cantik.

Tetapi pandanganku mendadak kabur dan tubuhku terasa lemas. Ketika kulihat, kedua tanganku terasa transparan. Dan ketika menyentuh benda-benda aku merasa menembusnya. Beberapa saat kemudian, bersama dengan doa di penghujung dzikir tahlil, usai semua orang mengucap, “aamiin” tubuhku pudar, kesadaranku berantakan, aku berhamburan seperti debu hasil kremasi. Debu-debuku melayang bersama angin terhisap seluruhnya ke dalam lukisan ibu.

Klaten, Mei 2021





Bagikan:

Penulis →

Adnan Jadi Al-Islam

mantan mahasiswa yang kini hobi main bareng anak-anak SD. Pernah menjuarai lomba cipta cerpen di IAIN Surakarta beberapa tahun silam, sering menulis puisi di akun sosial media dan beberapa lomba. Karya puisi yang telah terbit berjudul “Jalan untuk Bertemu Sajak-Sajak Penunjuk Arah” yang diterbitkan oleh Guepedia (2020), dan beberapa karya lain di sejumlah antologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *