Ketika Matamu Menjanjikan Api

Aku Tahu, Kamu Pergi—

Aku sering berjalan, larut, sepanjang jalan
Menundukan pandanganku, dan buru-buru, penuh ketakutan
Tiba-tiba, dalam diam, kau masih bisa bangkit
Dan aku harus menatap semua kesedihanmu
Dengan mataku
Sementara kau menuntut kebahagiaanmu, itulah kematian

Aku tahu, kau berjalan melewatiku, setiap malam
Dengan langkah kaki malu-malu, dalam gaun celaka
Dan berjalan untuk uang, terlihat sengsara!
Sepatumu mengumpulkan para dewa memberitahu apa yang paling berantakan
Angin bermain-main di rambutmu dengan kesenangan kotor—
Kau berjalan, dan berjalan dan tak menemukan rumah sama sekali




Elizabeth

Aku akan menceritakan ini padamu
Malam sudah sangat larut—
Apakah kau mau menyiksaku,
Elizabethku sayang?

Aku menulis puisi tentang itu,
Seperti yang kau lakukan;
Dan seluruh sejarah tentang cintaku
Adalah dirimu dan malam ini

Kau tak perlu menyusahkan diri
Dan menghancurkan puisi ini
Segera kau akan mendengarkan puisi ini
Mendengar, dan tak mengerti




Untuk Gadis Cina yang Menyanyi

Kita menyusuri sungai yang tenang di malam hari
Akasia mencolok dalam warna mawar, memancarkan cahayanya
Awan pun merebah cahaya mawar. Tetapi aku jarang melihatnya
Seluruh yang terlihat adalah bunga plum di rambutmu

Kau duduk tersenyum dalam haluan kapal Jung
Memegang kecapi dengan kepiawaian tanganmu
Menyanyikan lagu suci dari negerimu
Ketika matamu menjanjikan api, dan kau masih sangat belia

Tanpa berkata apa-apa, Aku berdiri di tiang kapal, dan apa yang kuinginkan
Untuk diriku, adalah mengalah pada mata yang berkilau itu, lagi dan lagi
Untuk mendengar lagu selamanya dalam sakit yang diberkati
Untuk lagu yang menyenangkanku, terjerat di halus tanganmu




Waktu Jahanam

Kini kita terdiam
Dan tidak menyanyi satu lagu pun
Langkah kita tumbuh bahagia;
Inilah malam, yang pasti akan datang.

Berikan aku sepasang tanganmu,
Mungkin kita masih harus menempuh jalan yang panjang
Salju ini, ini saljunya
Musim dingin adalah hal menyusahkan di negeri antah berantah

Di mana waktu
Saat cahaya, sebuah tungku api terbakar untuk kita?
Berikan aku sepasang tanganmu!
Mungkin kita masih harus menempuh jalan yang panjang




Dalam Sebuah Perjalanan

(In Memory Of KNULP)

Janganlah bermuram durja, segera malam akan tiba
Ketika kita bisa melihat bulan dingin tertawa di jalan
Melewati desa-desa yang samar
Dan kita rehat, saling menggenggam tangan

Janganlah bermuram durja, akan tiba saatnya
Saat kita bisa rehat. Salib kecil kita akan bertahan
Di tepi jalan yang cerah bersama-sama,
Dan hujan turun, dan salju jatuh
Dan angin berlalu-lalang pergi.




Takdir

Dalam amuk marah dan kekacauan kita
Kita bertingkah seperti kanak, memutuskannya,
Melarikan diri dari diri kita sendiri
Terikat oleh rasa malu

Tahun-tahun merumpun lalu
Dalam penderitaan mereka, menunggu
Tak ada satu pun jalan kembali
Menuju taman masa muda kita.




Hari-Hari Melelahkan …

Hari-hari melelahkan
Tak ada api yang menghangatkanku
Tak ada matahari untuk menemaniku tertawa
Semuanya sirna
Semuanya dingin dan tanpa ampun
Dan bahkan yang tercinta sekalipun, sirna
Gugusan bintang memandang sepi
Sejak saat itu hatiku mempelajari
Cinta juga bisa mati




Tanpamu

Bantalku menatap diriku pada malam hari
Hampa seperti pusara;
Aku tak pernah mengira akan terasa sangat getir
Untuk menyendiri
Tidak merebah tidur di rambutmu

Aku berbaring sendiri di rumah tanpa kata
Lampu-lampu gantung menggelap
Dan dengan lembut mengulurkan tanganku
Untuk merangkulmu
Dan dengan lembut menekan hangat bibirku
Ke arahmu, dan menciumi diriku sendiri, hingga habis dan melemah—
Lalu tiba-tiba aku terbangun
Dan di sekitarku hanyalah dingin malam tumbuh diam-diam
Bintang-bintang di jendela bersinar terang—
Di mana rambut pirangmu,
Di mana manis bibirmu?

Kini aku menegak derita dengan bahagia
Dan racun di tiap anggur
Aku tak pernah tahu akan segetir ini
Menyendiri,
Sendiri, tanpamu.



Bagikan:

Penulis →

Hermann Hesse

Seorang penyair dan novelis berkebangsaan Jerman. Ia mendapat penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1946 atas karya-karyanya yang terkenal seperti Steppenwolf, Siddhartha, dan The Glass Bead. Selain menulis novel, ia juga menulis puisi. Puisi-puisi ini diterjemahkan oleh Raihan Robby dari kumpulan puisi Hermann Hesse yang telah diterjemahkan lebih dahulu ke Bahasa Inggris oleh James Wright pada tahun 1970 dalam buku “Poems by Hermann Hesse Selected and Translated by James Wright.” Raihan Robby lahir di Jakarta, kini menetap di Yogyakarta sedang menyelesaikan studinya di Sastra Indonesia UNY, menulis puisi, cerita pendek, naskah drama, dan esai. Tulisannya dimuat di berbagai media online, dan antologi bersama. Kini aktif di @sindikatsastrabahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *