Judul Buku : Drama Vendetta Penulis : Intanera Penerbit : Laksana Cetakan : I, 2019 Tebal Buku : 360 halaman ISBN : 978-602-407-564-4
Fiksi kriminal dan lakon wayang kulit mungkin bukan merupakan kombinasi yang umum ditemukan dalam sebuah cerita, termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Namun lewat buku ini, keduanya dapat berjalan beriringan sesuai dengan misi penulis untuk memasyarakatkan kisah teka-teki kejahatan yang selama ini belum begitu populer di kalangan pembaca nusantara, tentunya dengan latar belakang budaya Jawa yang membumi.
Berangkat dari kasus pembunuhan disertai perampokan terhadap seorang pebisnis dalam suatu acara pembukaan galeri seni di kota kecil Karangsabin, pembaca diajak melakukan penelusuran jejak-jejak pelaku kejahatan bersama dua tokoh utama, Danielle Collins seorang perempuan Inggris serta Eric Hilman si pria berdarah Jawa: dua kepribadian yang mencerminkan akulturasi barat dan timur yang terkandung dalam isi cerita.
Tak dapat dipungkiri bahwa eksekusi cerita banyak dipengaruhi oleh novel-novel detektif terjemahan. Akan tetapi, penggambaran upaya penyelidikan maupun pengintaian terhadap pelaku kejahatan tidak lantas membingungkan pembaca seperti halnya novel luar negeri yang lazimnya mengandung sejumlah istilah yang terlampau sophisticated. Pasalnya, sudut pandang orang pertama diambil dari kacamata Danielle, tokoh yang sejatinya tengah melakukan riset tentang wayang untuk menulis sebuah artikel alih-alih berprofesi sebagai polisi, ahli forensik, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan dunia kriminologi. Dengan kata lain, Danielle mewakili pembaca yang manusiawi, pihak yang ‘secara tidak sengaja berhadapan’ dengan suatu kasus pelik tanpa harus memiliki background seputar kriminalitas.
Di sisi lain, Eric merupakan tokoh yang sedikit lebih banyak ‘mengemban’ porsi detektif dibandingkan tokoh lainnya seperti Bintang Gautama, teman semasa sekolahnya yang kini bergabung dalam Satreskrim Karangsabin serta Komandan Thamrin, sosok aparat angkuh namun disiplin dan berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan. Akan tetapi, karakter Eric tidak lantas dilukiskan dengan begitu sempurna. Alih-alih memiliki kejeniusan di atas rata-rata, Eric lebih digambarkan sebagai sosok yang peka dengan daya pikir imajinatif sehingga dapat dengan mudah menemukan trivia yang banyak dilewatkan orang, di mana kemudian trivia-trivia tersebut menghadirkan diskusi seru antara dia dan Danielle. Alhasil, Eric hadir sebagai figur cerdas namun tidak muluk-muluk, mudah dicintai dan akrab dengan pembaca lewat sifatnya yang laidback, simpatik, juga flamboyan tanpa terkesan ‘baik terhadap semua wanita’.
Sekalipun hampir tiap bab mengandung ketegangan berupa penemuan fakta-fakta tak terduga di sekitar TKP, romansa yang terjalin antara Danielle dan Eric memberi fleksibilitas dalam alur cerita. Namun demikian, chemistry keduanya tidak otomatis dilukiskan bernuansa candle light dinner atau one night stand seperti yang biasa ditemui dalam kebanyakan novel bertema kriminal maupun agen rahasia. Kedekatan mereka cenderung terkesan platonik, malu-malu, bahkan kekanakan. Semua tergambar dalam sejumlah momen di mana mereka melewatkan waktu bersama seperti saat menyaksikan serba-serbi tatah sungging (proses memahat dan mewarnai wayang kulit) dalam bab Wayang dan Lakon. Keduanya sama-sama belajar, bertukar pikiran, serta memahami isi masing-masing kepala.
Deskripsi proses tatah sungging sendiri tidak dibuat kaku seolah mengutip langsung dari bibliografi. Semua tertulis dalam dialog-dialog ringan antar karakter yang mengajak pembaca untuk ikut tersenyum, terheran-heran, terkejut, serta tertawa seperti dalam penjelasan singkat namun jenaka mengenai lakon Petruk Dadi Ratu oleh tokoh Pak Tomo, salah satu pengrajin wayang kulit di Karangsabin.
Petruk Dadi Ratu, kisah tentang ambisi dan kekuasaan dalam serat Mahabarata sendiri merupakan lakon yang dipilih penulis untuk menyimbolkan polemik antar tokoh cerita: lakon yang merupakan sebuah cerminan tentang bagaimana karakter tak terduga manusia akan muncul ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup. Persis seperti yang dikatakan oleh Pak Hilman, ayah Eric yang menyebut bahwa wayang menjadi demikian istimewa karena mengandung pitutur. “Kisah dalam pewayangan mengandung pelajaran tentang kehidupan yang disampaikan secara halus dan tersirat… Tapi ya itu, ndak semua orang bisa mengerti. Mereka mungkin melihat, tapi belum tentu mau memahami.” (hal. 43).
Maka seperti pertunjukan wayang, buku ini tak hanya bertujuan untuk menghibur pembaca. Drama Vendetta mengajak kita untuk belajar tentang pentingnya arti kehidupan bagi umat manusia untuk dijalani dengan sebaik-baiknya.
Untuk pemesanan buku silakan kontak di:
0818 0437 4879 (Bu Nita – Diva Press)