Pengkhianat


AKHIRNYA mereka bertemu setelah sebulan terakhir hanya berhubungan lewat telepon.

Mereka berpisah lima tahun lamanya, dan beberapa bulan lalu Ridwan, salah seorang kawan lama—yang mengenali mereka berdua dan tahu persis riwayat hidup keduanya – bertemu dengan si laki-laki di sebuah seminar, di mana si laki-laki menjadi keynote speaker. Dari Ridwan, si laki-laki memperoleh nomor telepon si perempuan, kemudian si laki-laki berusaha menghubungi si perempuan, tapi dia merasa tidak enak karena si perempuan telah menikah dengan laki-laki lain.

“Kau belum meneleponnya?” Ridwan meneleponnya dan menyinggung soal si perempuan. “Dia meragukan kalau aku sudah memberikan nomornya kepadamu.”

“Aku tak mungkin menghubungi istri orang lain.”

“Tergantung niatmu.”

“Suaminya harus mengizinkannya menerima telepon dari laki-laki lain.”

“Dia sudah pisah dengan suaminya.”

“Aku tak tahu soal itu.”

“Hubungilah! Siapa tahu kalian memang jodoh.”

Ridwan menutup telepon setelah menanyakan kapan lagi si laki-laki punya jadwal seminar karena dia ingin mengirimkan beberapa staf di perusahaannya untuk mengikuti seminar itu. Si laki-laki menimang-nimang telepon genggamnya, berpikir keras apakah dia akan menghubungi si perempuan atau tidak sama sekali. Tapi, akhirnya, dia putuskan tidak menghubungi si perempuan.

Awal Mei lalu, si laki-laki memutuskan menghubungi nomor telepon si perempuan, dan si perempuan mengaku sudah mendapatkan nomor telepon si laki-laki dari Ridwan tetapi dia tidak punya keberanian untuk menelepon. Mereka akhirnya saling mengaku kesalahan, kemudian berjanji bertemu, dan si laki-laki mengatakan bahwa dia akan berada di Jakarta, kota di mana si perempuan tinggal, untuk menghadiri sebuah seminar yang diselenggarakan Universitas Indonesia.

“Aku menginap di hotel,” kata si laki-laki, “kalau kau punya waktu, berkunjunglah ke hotel.”

Si perempuan bangkit dari sofa di ruang tunggu hotel begitu melihat si laki-laki keluar dari lif. Dia melambaikan tangan, khawatir si laki-laki tidak melihatnya. Si laki-laki melihatnya, tetapi meragukan apa yang dia lihat karena penampilan si perempuan jauh dari apa yang dia bayangkan ketika mereka berhubungan lewat telepon. Tubuh perempuan itu tampak kurus, lebih pendek, dan hitam. Hitam!?  

“Kau tampak berbeda,” kata si laki-laki.

“Katakan saja semakin jelek.” Si perempuan menjawab.

Keduanya bersitatap. Diam. Ada beberapa menit mereka begitu. Mereka baru bergerak ketika Sherly, sekretaris si laki-laki, menghampiri dan mengingatkan si laki-laki bahwa sepuluh menit lagi seminar akan dimulai.

“Ya.” Si laki-laki memberi isyarat kepada Sherly agar memberi waktu beberapa menit untuk mereka. “Kami sudah lima tahun tak bertemu,” kata si laki-laki.

“Oh!” Sherly undur.

“Kau tambah gagah!” Si perempuan mulai menguasai keadaan.

“Kalau kau tahu kondisiku di dalam, kau tidak akan bicara seperti itu?”

“Bagaimana aku bisa tahu.”

“Mestinya kau tahu.”

Si perempuan menunduk. Ya, mestinya dia tidak perlu mengatakan hal semacam itu, tetapi dia berpikir bahwa lima tahun waktu yang lebih dari cukup bagi seseorang untuk menjadi lebih baik. Lebih baik? Pikir si perempuan. Dia tersadar, bahwa lima tahun terakhir kondisinya bukan bertambah baik, tetapi justru lebih buruk. Dengan segera segalanya berkelebat dalam pikirannya, sesuatu telah membuat hidupnya berjalan tidak seperti diharapkannya. Impiannya, satu per satu, terbang bersama waktu.

Terbang! Ya, terbang tinggi. Ini terjadi karena kesalahannya sendiri, karena dia tidak punya sikap yang jelas, terlalu mudah berubah. Dan, dia ingat, itulah pernyataan si laki-laki lima tahun lalu. “Kau terlalu gampang berubah. Hubungan kita tidak akan berhasil,” kata si laki-laki.

“Semua salahku?” Si perempuan protes. “Ya, timpakan saja semua kepadaku. Aku salah, aku gampang berubah, aku tidak punya pendirian. Aku… “ Si perempuan menahan air matanya agar tidak tumpah. “Kau sendiri tidak pernah mengerti keadaanku.”

“Aku?!” Si laki-laki mencibir. “Aku tak mengerti keadaanmu. Ah, semakin jelas bagiku, hubungan ini percuma saja kita lanjutkan.”

“Baik! Kita pisah.”

Si laki-laki mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan, sekarang, si laki-laki berdiri di hadapannya, lalu mengingatkan bahwa beberapa menit lagi dia harus menghadiri seminar. “Sekarang kita sudah bertemu. Sebulan terakhir kau selalu bilang ingin bertemu dengan aku.”

“Bukan seperti ini pertemuan yang aku inginkan.”

“Situasinya tidak memungkinkan. Waktuku sangat terbatas. Besok aku harus sudah berada di Surabaya. Jadwalku padat.”

“Sekarang kau sudah sukses.”

“Tergantung kau melihat dari sisi mana?”

“Setidaknya kau banyak berubah dibandingkan lima tahun lalu.”

“Maksudmu, lima tahun lalu aku tidak membuatmu merasa layak untuk ….”

“Aku tidak ingin bertengkar denganmu.”

“Kita selalu bertengkar. Kau yang mengatakan itu.” Si laki-laki mengembalikan ingatan si perempuan pada lima tahun lalu, dan si perempuan menggeleng.

“Orang tuaku tidak menginginkanmu jadi menantu mereka.”

“Kau setuju begitu saja.”

“Aku tidak mungkin melawan kehendak orang tua.”

“Kau tak ingin kehilangan banyak hal.” Si laki-laki tersenyum. “Kau tak siap menderita jika memilih hidup bersamaku.”

“Aku menderita selama lima tahun ini.”

“Aku lihat sendiri.”

“Karena aku jadi jelek?”

Si laki-laki tersenyum. “Kau menyadari hal itu, tetapi kau membiarkannya.”

“Untuk apa?!” Si perempuan menggeleng. “Hidupku benar-benar hancur.”

“Karena suamimu dipenjara?”

“Kau tahu soal itu?”

“Aku melihat beritanya di televisi.”

“Dia bekas suamiku.”

“Setelah dia dipenjara. Sebelumnya aku dengar Kalian pasangan serasi.”

“Jangan mengejekku.”

“Bukankah itu fakta. Suamimu politisi yang hebat. Kariernya cepat menanjak.”

 “Sudah…sudah. Aku tak suka pembicaraan ini.”

“Aku tak tahu apa yang kau sukai dan apa yang tidak kau sukai. Lima tahun waktu yang lebih dari cukup bagiku untuk menjadi seperti sekarang. Semua usaha ini aku lakukan hanya untuk membuatmu merasa bersalah telah menolakku.”

“Aku tidak pernah menolakmu. Kau pergi begitu saja….”

“Sudahlah. Aku harus menghadiri seminar.”

“Kapan kita bertemu lagi?”

“Aku tidak tahu.”

“Tidak tahu atau tidak ingin?”

“Entahlah.”

“Baiklah.” Si perempuan mengangguk-angguk. “Seharusnya aku tak datang menemuimu.”

“Kenapa?”

“Entahlah! Lima tahun ini aku selalu dihantui rasa bersalah.”

“Jangan mulai lagi.”

“Kita harus bertemu lagi. Selesai seminar, bagaimana.”

“Aku tak bisa menjanjikan.”

“Kau memang tidak ingin.”

“Ya.” Si laki-laki mohon izin. “Kau tahu soal itu, tapi kau tetap memaksa ingin bertemu.” Si laki-laki berjalan ke arah lif.

“Aku minta maaf!” teriak si perempuan.

Si laki-laki mengangkat tangannya.

*

MALAM itu hujan turun di luar hotel. Setengah jam lalu si laki-laki masuk kamar hotel di lantai 5. Seminar menyita konsentrasinya, membuat kepalanya sedikit pening. Begitu masuk kamar, dia langsung mandi. Tubuhnya sedikit segar ketika berdiri di jendela dan melihat hujan di luar. Hujan itu membangkitkan kenangannya pada si perempuan, pada malam ketika mereka memutuskan berpisah, karena si perempuan baru saja menyampaikan sebuah kabar yang tidak disukainya.

“Ayah memaksaku menikah dengan Marihot. Aku tidak mungkin menolak.”

Marihot!? Si laki-laki mencibir. Dia kenal Marihot, sangat mengenalinya. Sejak SMP mereka satu kelas, dan mereka sempat akrab. Tapi, suatu peristiwa membuat hubungan mereka merenggang, dan peristiwa itu tidak ada kaitannya dengan si perempuan.

Si laki-laki tahu, hubungan Marihot dengan si perempuan sangat dekat, karena mereka masih punya hubungan saudara. Ayah si perempuan adalah saudara laki-laki dari ibu Marihot, dan mereka sah menikah sesuai adat-istiadat. Tapi, baik Marihot maupun si perempuan tidak pernah ingin menikah, dan keduanya telah mengungkapkan hal itu kepada si laki-laki. Itu sebabnya, si laki-laki tidak merasa telah merebut hak Marihot ketika dia menyatakan rasa cintanya kepada si perempuan, dan Marihot sendiri tidak mempersoalkan itu. Hubungannya dengan Marihot merenggang karena Marihot punya kebiasaan buruk, yaitu merasa dirinya memiliki kekuasaan lebih karena ayahnya adalah ahli waris raja panusunan bulung (leluhur pembuka kampung) di kampung. Dengan kekuasaan ayahnya, Marihot menganggap dirinya sebagai raja panusunan bulung yang harus mendapat hak-hak khusus di kampung, terutama dalam urusan menyenangkan diri sendiri.

Marihot telah menjelma jadi anak muda yang kurang hajar, yang menggiring anak-anak muda lain agar menjadi generasi muda tak bertanggung jawab dengan memperkenalkan narkoba. Sebagai teman sejak kecil, si laki-laki sudah memperingatkan Marihot agar menjaga nama baik orang tuanya, tetapi Marihot memintanya agar jangan turut campur. “Jangan sampai hubungan baik di antara kita menjadi buruk,” kata Marihot.

Si laki-laki sadar bahwa dia hanya seorang kawan, dan dia sudah mengingatkan Marihot, tetapi Marihot menolak. Si laki-laki memutuskan membiarkan, meskipun dia sudah meminta agar si perempuan ikut menasehati Marihot. Tapi, si perempuan menolak ikut campur urusan Marihot dengan alasan dia tidak mau tahu soal Marihot. Dan, kalimat itu, sedikit banyak, diterjemahkan si laki-laki sebagai bukti, bahwa hubungan keluarga Marihot dengan keluarga si perempuan, agak kurang harmonis. Lalu, tiba-tiba, setelah dua tahun berhubungan dekat, si perempuan mengatakan bahwa dia akan menikah dengan Marihot. Si laki-laki tidak mempercayai hal itu, dan menduga-duga bahwa si perempuan hanya mencari-cari alasan untuk mengakhiri hubungan mereka.

“Kau bisa menolaknya,” kata si laki-laki.

“Tidak.”

“Katakan kalau kau tidak mencintai Marihot.”

“Itu alasan yang mudah dibantah.”

“Kau mencintai Marihot?”

“Kau tahu aku tidak menyukai Marihot.”

“Kenapa kau menerima dinikahkan dengan dia.”

“Supaya keluarga ini tetap utuh.”

“Alasan yang mengada-ada.”

“Kau tahu kan hubungan keluarga kami sangat buruk selama ini. Pernikahan antara aku dengan Marihot akan memperbaiki semuanya.”

“Apakah pernikahan itu bisa menjamin….”

“Setidaknya sudah ada keputusan, dan itu berarti sudah ada upaya….”

“Bagaimana dengan aku?” Si laki-laki menuntut. “Bagaimana dengan hubungan kita selama ini. Bagaimana….”

“Kau bisa mencari perempuan lain.”

“Semudah itu?”

“Tidak ada yang sukar.”

Si laki-laki menggeleng.. “Kau terlalu gampang berubah. Hubungan kita tidak akan berhasil,” kata si laki-laki.

“Semua salahku?” Si perempuan protes. “Ya, timpakan saja semua kepadaku. Aku salah, aku gampang berubah, aku tidak punya pendirian. Aku…” Si perempuan menahan air matanya agar tidak tumpah. “Kau sendiri tidak pernah mengerti keadaanku.”

“Aku?!” Si laki-laki mencibir. “Aku tak mengerti keadaanmu. Ah, semakin jelas bagiku, hubungan ini percuma saja kita lanjutkan.”

“Baik! Kita pisah.”

Si perempuan tampak kesal dan pergi. Si laki-laki pergi ke arah berbeda. Hujan turun beberapa menit kemudian. Si laki-laki tidak memperdulikan hujan yang menguyur ubun-ubunnya.

Hari itu, si laki-laki pulang ke rumahnya, mengemas beberapa potong pakaian ke dalam tas, lalu pergi. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Orang tuanya kehilangan dan mencarinya ke mana-mana.

Telepon di kamar hotel mendering. Si laki-laki tersentak dari lamunannya. Setelah menguasai keadaan, si laki-laki mengangkat gagang telepon.

“Bapak sudah siap?” Suara Sherly terdengar di seberang.

“Ah, aku belum apa-apa.”

“Bagaimana kalau kita tunda keberangkatan besok pagi saja?” Sherly menawarkan. “Besok pagi Bapak akan lebih siap.”

Si laki-laki mengangguk. “Bagaimana kalau kita keluar malam ini?” tanya si laki-laki. “Mumpung kita di Jakarta.”

“Bapak ingin ke mana?”

“Ke mana saja.”

“Bapak ada masalah?”

“Kenapa kau bertanya begitu?”

“Sejak bertemu perempuan tadi, saya perhatikan Bapak kehilangan gairah. Tadi, saat seminar, Bapak kehilangan ciri khas yang humoris itu.”

“Aku tak menyadarinya.”

“Baiklah. Saya tunggu Bapak di lobby.”

“Sepuluh menit, aku turun.”

*

“DIA tidak pernah senang menikah dengan Marihot.” Si laki-laki bicara dalam pengaruh alkohol. “Dia harus menikah demi keluarga, padahal kami masih berhubungan.”

Sherly menatap si laki-laki. “Saya kasihan masih ada perempuan seperti itu.”

“Laki-laki yang dipilihnya bukan yang terbaik, tetapi memang yang paling kaya. Anak seorang pengusaha di kampung kami.”

“Kekayaan turunan tak akan membawa kebahagiaan.”

“Dia tidak pernah bahagia. Dia mengatakan seperti itu. Mungkin karena aku mengharapkan agar dia tidak pernah bahagia. Tuhan mengijabah doaku.”

“Bukan, bukan karena doa Bapak.” Sherly menimpali. “Kekayaan turun-temurun selalu ada batasnya. Dia sulit dipertahankan, apalagi bila ahli warisnya tidak punya kecakapan.”

“Hidup mereka memang pernah mewah. Aku sempat mengikuti, dan aku iri pada kebahagiaan mereka. Tapi, semua berubah sejak suaminya ditangkap dalam kasus korupsi. Sejak itu aku tak pernah tahu kabarnya, lalu salah seorang kawan lama memberi tahu kabarnya.”

“Bapak masih mencintainya?”

“Sampai tadi masih.” Si laki-laki mengangguk. “Tapi, setelah kami mengobrol tadi, segalanya berubah.”

“Berubah bagaimana?”

“Saya merasa bodoh karena menolak menikah gara-gara pernah sangat kecewa kepada perempuan.”

“Bapak tidak boleh menyalahkan diri sendiri.”

“Itulah faktanya.” Si laki-laki kembali menegak minumannya. “Saya tak bisa menerima kenyataan ditolak oleh orang lain.”

“Bapak seharusnya bersyukur.”

“Bersyukur?!”

“Ya. Bersyukur karena tidak berjodoh dengan dia. Bapak akan mendapat jodoh paling baik.”

“Entahlah, aku selalu takut membayangkan pernikahan.”

“Kenapa?!”

Si laki-laki menggeleng. “Tidak. Aku tak seharusnya membicarakan soal ini denganmu.”

“Kenapa tidak? Saya sekretaris Bapak.”

“Justru itu… Hubungan kita profesional, tapi pembicaraan kita sudah melampaui batas-batas profesionalisme.”

“Tidak. Itu hanya perasaan Bapak. Saya tahu cara memposisikan diri.”

“Aku tak meragukanmu, tapi aku meragukan diriku.”

“Maaf. Bapak memang selalu ragu jika berkaitan dengan kepentingan Bapak. Tapi soal lain, saya harus akui bahwa Bapak layak jadi anutan.”

“Apa maksudmu?”

“Keragu-raguan muncul karena Bapak tidak yakin dengan kemampuan Bapak.”

“Aku… Tidak mampu.” Si laki-laki tertawa.

“Jika Bapak menginginkan sesuatu, maka Bapak harus memperjuangkannya. Setiap pilihan punya risiko.”

“Aku selalu memperjuangkan apa yang aku inginkan.”

“Bagaimana dengan perempuan itu?” Sherly mencecar. “Bukankah seharusnya Bapak memperjuangkannya.”

“Tidak.”

“Bapak selalu mengingat keburukan perempuan itu. Kenapa Bapak tidak mengingat kebaikannya.”

Si laki-laki menggeleng. Kebaikan? pikirnya. Dia ingat si perempuan, tapi dia hanya mengingat semua yang buruk yang pernah dilakukan perempuan itu. “Tidak,” kata si laki-laki. “Tidak ada kebaikan. Dia pengkhianat sejak awal.”

*

SHERLY turun dari mobilnya. Dia berjalan ke halaman sebuah mal. Telepon genggamnya mendering. Dia berhenti melangkah, melihat layar telepon genggamnya. “Aku sudah sampai,” katanya. “Kau sudah di kafe itu?”

“Kau membawa apa yang kuinginkan?” tanya suara perempuan di seberang.

“Seperti yang kita sepakati.”

“Oke.” Perempuan di seberang menghela nafas. “Kapan kalian menikah?”

“Nanti saja aku ceritakan.” Sherly menutup teleponnya.

Mal tidak terlalu ramai. Sherly memasuki tempat perbelanjaan itu dengan langkah yang ringan. Dia menuju sebuah kafe, tempat yang dia janjikan untuk bertemu dengan perempuan itu.

Ketika Sherly memasuki kafe, mengedarkan pandangan ke dalam kafe, dia melihat perempuan itu melambaikan tangannya. Sherly menghampiri mejanya, meletakkan tas yang dibawanya di hadapan perempuan itu.

“Mau kau hitung sekarang?” tanya Sherly.

“Tidak perlu.” Perempuan itu tersenyum. “Aku percaya padamu.”

“Kau janji tak akan mengganggunya?”

“Kapan Kalian menikah?”

“Bulan depan.”

“Secepat itu?”

Sherly tersenyum. “Kau yang membuat segalanya lebih mudah. Terima kasih ya.”

“Aku hanya menjalankan skenario yang kau buat.” Perempuan itu tersenyum. “Kau yang hebat.”

“Aku harus melakukannya, karena dia tidak akan pernah mau menikah sebelum mengobrol denganmu.”

“Dia memang plin plan soal hubungan. Aku juga menunggu dia melamarku, tapi dia tidak kunjung melamar. Akhirnya aku menerima laki-laki lain.”

“Itulah kelemahannya. Dan dia makin lemah ketika kau meninggalkannya.”

“Dia laki-laki yang baik. Kau harus menjaganya dengan baik.”

“Aku mencintai hartanya.”

“Kau kurang hajar.”

“Kita sama. Kau meninggalkannya karena dia miskin.”

Keduanya tertawa. [*]









Bagikan:

Penulis →

Budi P. Hatees

Lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972.  Menulis cerpen, puisi, esai, dan novel dan sebagian karyanya diterbitkan di berbagai media dan sejumlah buku.  Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *