Tahajud
kau desirkan desir angin
menyinggahi dada,
kepala dan pikiran
di sepertiga malam
yang melantunkan harap
dari sujud yang merindu
kau sudahi segala air mata
Pamekasan 2021
Tubuh subuh
aroma doa
merembes ke dinding-dinding
kulepas segala sepi
pada rinai embun
yang memulas pada daun-daun
lalu pada senyum malaikat
seluruh tapak rakaat mengikat
sujud-sujud merambat
mengakar pada amin yang hakikat
Pamekasan 2021
Demografi Melankolia
pertama-tama
kau menyoal seluruh isi dadaku
“bagaimana cinta itu mengendap
lalu menumbuhkan duka lara?” katamu
lalu kamu tak acuh
serupa pagi yang melelapkan dingin di meja makan
cinta adalah kata lain dari kesedihan
datang secepat cahaya dan tak bisa pergi
lalu kita sama mencari-cari
lewat pintu mana untuk keluar dari jebakan ini
Pamekasan 2021
Dada Kemarau
kita adalah musim yang berlabuh di dada kemarau
tapi dalam tapa hening kita
dingin masih saja belum reda
seperti rindu, serupa suaramu
yang memenuhi cawan
menyirami kerontang tubuh ini
malam sudah hampir beranjak kekasih
tapi dingin masih belum reda
dan kita masih tak melewati apapun
kecuali keheningan
Pamekasan 2021
Setiap Pagi
sebelum cahaya menjelma laut
setiap doa dan pengharapan
berkabung menuju langit
menembus cakrawala
dan waktu gugur satu per satu
; menjelma air mata
Pamekasan 2021
Kali Ini
kali ini,
sebelum malam ruah di ampas kopi
; dan menjadi pahit rindu ini
aku akan memilih pergi
dan kita akan saling mengenang dalam puisi
juga lewat senyum yang sembunyi
biarlah,
huruf-huruf namamu berjejalan di kepala
kan kutuntaskan dendam pekat kelahiran ini
dengan mata jalang
dan waktu yang tergenggam
Pamekasan 2021
Di warung kopi
: amalia
ingatanku yang mengembara
kembali pulang
mengguyur seisi kepala
lalu cemas menyinggahi seluruh pagi,
siang dan malam
kau pernah duduk manis di sini
kasihku,
maka peluklah kesabaranku
dengan kesadaranmu
yang jauh
tak tersentuh
Pamekasan 2021