GERIMIS yang turun pagi itu bagai membekap kota dalam keheningan yang mistis. Setiap bunga yang aku lihat di taman Sungai Seine seakan meringkuk dalam kesunyian. Melihat apa yang terjadi, kata-kata yang aku miliki seolah tak mampu untuk menggambarkan dunia di sekelilingku. Bahkan sekeras apapun aku berusaha untuk menjelaskan yang tampak di depanku, kata-kata yang aku miliki tidak bisa menjangkaunya. Apakah peristiwa ini terjadi karena sumpahku semalam yang mengutuk agar seluruh kata-kata di dunia musnah? Batinku.
Gerimis terus berjatuhan secara lurus menimpa kepalaku. Rintik hujan itu seperti mencoba membangkitkan ingatan atas kejadian semalam yang membuatku mengucapkan sepatah kata kutuk tersebut. Malam itu di Kafe Les Deux Magots, aku bersama Louisa—seorang mahasiswi Sastra yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Universitas Pantheon Assas—keluar untuk berjalan-jalan. Ia sudah lama aku taksir di kampus. Aku sengaja mengajaknya ke kafe ini untuk menikmati pasta yang cukup terkenal di kota. Sembari makan, kami menikmati suara indah seksofon dari panggung kecil yang terletak di dalam kafe.
Kami hikmat menikmati makan malam. Cahaya temaram yang dipendarkan lampu kafe membuat Louisa tampak sangat cantik. Belum lagi terusan gaun hitam selutut yang ia pakai pada kencan kami—membuatnya seolah tercipta dari cahaya surga. Setelah kami selesai makan, seperti yang sudah aku rencanakan, aku lekas mengatakan perasanku.
“Je t’aime, Lou,” kataku singkat tapi penuh harapan.
“Tu dis ca serieusement?” Balasnya seolah ragu dengan ucapanku.
“Aku benar-benar menyukaimu sejak pertama berjumpa dahulu di kafe ini,” jawabku jujur.
Aku pertama kali mengenal Louisa memang tidak di lingkungan kampus. Mungkin karena jurusan kuliah kami yang berbeda. Aku mengambil studi filsafat, sementara Louisa sastra. Tapi kami dipertemukan oleh karya Guy de Maupassant yang waktu itu sedang dibacakan oleh penulis lokal kota di kafe ini. Louisa sendiri waktu itu membacakan salah satu cerita pendek pengarang tersebut. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihatnya.
Setelah acara itu, aku nekat mengajaknya kenalan. Lantas, dari situ aku tahu kalau kami satu kampus. Dan sejak itu pula, kami beberapa kali keluar bersama untuk berkencan.
Louisa masih diam saja menggantungkan pertanyaanku. Aku sendiri semakin gelisah menunggu jawabannya.
“Aku ragu akan cintamu,” balasnya murung.
Wanita itu tampak bersalah. Sepasang matanya yang jernih gelisah mencari sesuatu di tengah kerumunan orang-orang yang sedang tenggelam dalam cangkir-cangkir wine dan kebahagiaan di kafe.
“Kau tahu aku sudah tidak lagi mempercayai setiap kata-kata di dunia ini,” lanjutnya terdengar dingin. “Kata-kata hanya membuat ayah dan ibuku bercerai dahulu. Kata-kata hanya membuat dunia ini kotor. Barangkali kata-kata adalah sekumpulan dosa yang kelak akan menghancurkan dunia!”
Wanita itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi kepadaku. Angin malam pun seolah membakar tubuhku. Setelah kejadian itu, tubuhku menjadi begitu lemas. Aku kemudian merasa kepalaku berdenyut kencang. Pening. Aku lekas pulang dengan langkah sempoyongan. Sesampainya di apartemen, aku bersumpah agar kata-kata menghilang dari dunia ini!
Kemudian kini yang terjadi, pagi harinya, aku terbangun tanpa sebiji kata-kata yang dapat kuucapkan. Kota Paris pun bagai tenggelam dalam keheningan yang masygul.
***
AKU melangkah menyisir jalan Chemin de Halage yang berlandaskan bebatuan. Beberapa kali aku bertemu seseorang di sana. Mereka tampak tak lagi menggunakan bahasa untuk bicara. Aku terus berjalan hingga sampai di Parc des Tourelles, sebuah taman yang cukup ramai di pusat kota. Di sana aku tak juga menemukan kata-kata. Aku hanya menyaksikan setiap kata yang biasanya diucapkan berubah menjadi isyarat. Merde! Aku tak menyangka kalau sumpahku semalam terkabul.
Seluruh orang hari itu memang tak lagi menggunakan bahasa. Mereka pun menjadi tampak lucu mengatakan sesuatu dengan isyarat—mirip seperti aktor pantomim yang sekali pernah aku lihat di Folies-Bergere. Namun yang paling penting, hari ini, manusia tak lagi dapat berbohong ketika mengutarakan isi hati.
Setelah mengelilingi taman Parc des Tourelles yang rimbun ditumbuhi pepohonan, aku duduk dengan pada sebuah bangku di taman itu. Aku menengadah menatap dedaunan yang hijau dan awan mendung di baliknya. Seekor burung melintas di atas kepalaku tanpa meninggalkan suara apapun dari kepaknya. Aku menikmati keheningan kota tanpa ada keributan. Hingga mataku tertumbuk pada sepasang kekasih yang sedang duduk berduaan tidak jauh dariku.
Mereka terlihat mesra saling berpegang tangan menikmati udara pagi. Sesekali wajah mereka tertunduk, tetapi saling mencari. Tak terdengar sepatah kata dari bibir mereka. Aku terus mengamati kegamangan sepasang kekasih itu. Pria itu tampak sibuk dengan sesuatu yang berada di dalam sakunya, sedangkan kekasihnya kukuh tepekur. Menunggu. Tetapi, tanpa aku sangka-sangka, pria itu membelah dadanya dengan sebilah silet dan mengeluarkan isinya.
Pria itu lantas memberikan jantungnya yang masih berlumuran darah dan berdenyut-denyut kepada kekasihnya.
Le monde est devenu fou!
Sekuntum senyum merekah dari sudut wajah wanita itu. Ia mengambil jantung yang berlumuran darah dan berdenyut-denyut itu. Ia menciumi dan mengendusnya beberapa kali, hingga sisa darah tertempel di wajahnya. Namun wanita itu tampak bahagia. Tidak begitu lama, wanita itu mengembalikan lagi jantung dan hati yang masih berlumur darah itu kepada si pria. Wanita itu kemudian menjahit dada kekasihnya dengan sebuah benang abstrak.
Aku terhenyak ketika menyaksikan pemandangan gajil itu. Aku tak menyangka kalau bungkamnya kata-kata dapat membuat kejadian tak masuk akal menjadi begitu nyata di dunia. Serba-serbi yang betele-tele tentang cinta dapat begitu saja diungkapkan lewat tindakan.
***
SENJA itu udara seperti menggumpalkan partikel-partikel kerinduan di dadaku. Aku tak dapat lagi membendung cinta yang terus bergejolak. Tetapi untuk mengucapkan kata-kata rindu, aku tak mampu. Maka, ragu-ragu, aku kembali mendatangi apartemen Louisa di Place Jacques Tachin.
Aku mengetuk pintu apartemennya beberapa kali. Louisa keluar menyambutku dengan wajahnya paling muram yang pernah aku lihat. Ia seakan tak suka melihat kehadiranku. Bahkan dari tatapannya, aku bisa mendengar kalau ia mengatakan, que voulez-vous de plus! kepadaku.
Di lorong apartemen itu, kami hanya saling tatap. Tidak ada gerak. Tidak ada kata. Tetapi, di dalam hatiku meluap berbagai bentuk kata. Pelan-pelan, aku pun meraba dadaku. Aku kemudian merobeknya dengan sebuah couteau—yang telah aku persiapkan di dalam saku. Aku ingin mengutarakan cinta dan rinduku dengan segumpal jantung serta hatiku yang masih berdenyut-denyut segar itu.
Aku sodorkan jantung dan hatiku padanya. Namun Louisa malah memandangku dengan kening yang bergelombang. Aku berpikir: Mungkin untuk kedua kalinya cintaku kembali ditolak. Tetapi, tidak! Aku tak mau kekalahanku kembali terulang. Aku letakkan jantung dan hatiku di tangannya. Aku mengisyaratkan betapa kerasnya keinginanku kepadanya. Hanya saja sekali lagi, ia tak mau menerima cintaku. Ia bahkan tak segan membuang jantung dan hatiku ke tong sampah.
Aku termenung dengan perasaan kacau. Air mataku bahkan nyaris jatuh. Sungguh, cinta sudah membuatku gila. Aku tinggalkan lorong apartemen itu tanpa mengambil jantung dan hatiku. Aku berharap kalau ia berubah pikiran, syahdan mengambil kembali jantung dan hatiku yang menggelepar di tong sampah itu. Tetapi, ia kukuh dengan perasaannya yang asing itu. Sampai tidak lama kemudian, seekor anjing kurus mengambilnya, kemudian memakan jantung serta hatiku.
***
MALAM itu aku termenung di Kafe de la Gare yang sudah tutup. Di simpang jalan dekat kafe suasana begitu sunyi. Tak ada lagi yang dapat aku rasakan selain kekosongan seperti bangku-bangku yang tampak menggigil disepuh udara tengah malam.
Getir di dalam tubuhku terus menggeliat. Tetapi, cinta dan rinduku pada gadis itu masih kukuh bertahan. Aku sadar cinta yang sabar menunggu, memang akan sulit untuk dibunuh. Tiba-tiba, aku ingin memberikan sesuatu lagi pada wanita itu. Aku ingin menyakinkannya kalau betapa keras kepala cintaku ini.
Setelah kata, jantung, dan hatiku ditolak, apa yang paling tulus di dunia ini? Ahh, aku ingin memberikan jiwaku sebagai tanda kalau aku rela melakukan apa saja untuknya.
Tanpa banyak berpikir, aku mengerat jiwaku dalam selembar amplop. Lewat seekor burung kelelawar, aku pun mengirimnya. Aku berharap ini dapat menjadi kado cinta terindah untuknya, dan menegaskan ketulusan hatiku—kalau aku benar-benar menyayanginya.
Burung itu terbang membelah langit malam Kota Paris dengan membawa jiwaku. Sedangkan tubuhku, di tepi meja kafe, teronggok, menunggu membusuk.
Apakah menurutmu amplop berisi jiwaku itu akan diterimanya?