Buronan Kediri

JANGKRIK-jangkrik menyanyi. Di bingkai jendela kau berdiri, memandang dedaunan yang melambai-lambai ditiup lembut semilir angin. Aku melihat tatapan matamu kosong, seakan sudah tak mampu lagi membuat harapan. Di waktu hampir tengah malam seperti ini, seharusnya kau sudah terpejam, hanyut dalam aliran mimpi.

Jelas aku belum bisa sepenuhnya menerima keadaan ini. Gemuruh di hatimu mungkin juga belum hilang. Rasa-rasanya aku masih tidak percaya. Sungguh, suatu pengkhianatan yang tidak pernah kusangka. Aku mendekat padamu, meletakkan salah satu telapak tanganku pada pundak kananmu. Seharusnya aku menyentuh sehelai kain berwarna emas—pakaian petinggi kerajaan—tapi kini kain itu tidak tersampir di pundakmu. Kau mengalihkan pandanganmu sesaat kepadaku, aku menatapmu, rasa-rasanya aku tak kuasa melihat wajahmu. Kegagahanmu hilang, aku seperti bukan berhadapan dengan Sanggramawijaya yang kukenal.

“Tidurlah, Kanda. Besok kita akan kembali melakukan perjalanan. Perjalanan ke Sumenep masih begitu jauh,” ucapku, aku menjala kegelapan yang menetes di pohon-pohon.

“Aku belum mengantuk, kepalaku hanya berisi darah dan darah. Bayangan teriakan prajurit yang mengerang kesakitan di medan perang, pedang-pedang yang beradu, membuatku ingin kembali ke kedaton, dan membalaskan kematian ayahanda Prabu, Dinda,” ucapmu.

Kau menunduk, ujung ibu jari dan telunjukmu menyentuh matamu yang terkatup. Kusandarkan kepalaku ke pundak kirimu. Aku yakin apabila seseorang menggantikan posisimu saat ini, orang itu belum tentu sanggup menghadapi apa yang telah menimpamu; menimpa kami. Aku tahu di dadamu yang bergemuruh terdapat sebongkah penyesalan. Kepadaku kau bercerita, sebelum kau membawa lima ratus prajurit di perbatasan Kediri untuk menumpas pemberontakan, kau sempat mengeluhkan keadaan yang tidak mengenakkan ini.

“Aku masih tidak habis pikir, Dinda. Mengapa ayahanda Prabu masih begitu kolot. Mengapa masih juga menganggap kalau keadaan baik-baik saja? Jelas-jelas prajurit Kediri menyusun kekuatan dengan membangun perkemahan di hutan Mameling,” katamu berapi-api. Aku memelukmu dengan harapan kepalamu menjadi dingin dan kau tergoda padaku untuk melakukan ritual yang lazim dilakukan suami-istri. Harapanku hanya harapan belaka. Kau sama sekali tidak terusik.

“Sudahlah, Kanda. Tentara negeri kita tidak mungkin kalah, apalagi dengan kerajaan Kediri yang tidak seberapa itu. Swarnabumi saja bisa ditaklukkan, apalagi Kediri, Kanda.” Aku terus berupaya menenangkanmu. Kau sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang kuucapkan.

“Tidak. Ini tidak bisa dianggap remeh. Musuh dalam selimut tahu kelemahan-kelemahan kita, dan itu sangat berbahaya sekali.”

Sebelum kau mengutus petinggi-petinggi kerajaan untuk melakukan gerakan; menghimpun kekuatan sebagai antisipasi terhadap serangan pemberontak, kau sudah menyampaikan kepada ayahanda Prabu, informasi-informasi yang kau dapat dari telik sandimu. Yang paling kau curigai—sebelum kau melapor—begitu banyak orang Kediri keluar masuk wilayah Singasari. Menurutmu itu sesuatu yang aneh.

Berangkat dari hal itu, kau melakukan penyelidikan lebih lanjut. Kau berkata kalau ayahanda Prabu malah menuduhmu, kau merasa tersaingi dengan adik iparmu. Kau dianggap merasa posisimu sebagai senopati terancam.

Bentakan-bentakan ayahanda Prabu tidak mengurungkan niatmu. Begitulah pengakuanmu. Kau tidak gentar diancam. Pada saat kau hendak melakukan gerakan, salah seorang petinggi yang bernama Ranggalawe sudah memperingatkan mengenai langkah yang kau ambil. Kau tidak bisa diam. Tekadmu bulat. Kau bersedia menanggung segala resiko yang akan diterima. Mumpung belum terlambat, pikirmu.

Musuh ternyata lebih pintar dan semakin jelas sekali terpampang di depan mata kalau itu pemberontakan. ayahanda Prabu sudah telat dalam mengambil tindakan; mengutus untuk menyerang balik pasukan Kediri. Gerbang kerajaan jebol. Kotaraja menjadi lautan darah. Pasukan Kediri terlihat sekali lebih siap dan terlatih. ayahanda pun gugur. Kabar itu benar-benar membuatmu terpukul. Kini kau meminggul beban yang teramat berat. Tanggung jawab melanjutkan trah Wangsa Rajasa berada di pundakmu.

“Aku benar-benar menyesalkan sikap ayahanda Prabu,” ucapmu, rupanya penyesalan itu begitu membekas di hatimu. “Andai ayahanda mau mendengarkanku, kita tidak akan sesengsara ini. Masa depan begitu buram, Dinda. Apakah dinda memikirkan, bagaimana jika Paman Wiraraja tidak mau menerima kehadiran kita? Tentu dinda tahu, beliau begitu dekat dengan raja Kediri itu.”

“Kanda bertanya seperti itu, artinya kanda ragu. Kita sudah terlanjur berjalan, lagi pula Paman Ranggalawe sudah berjanji, bersedia nyawanya menjadi taruhannya dalam perkara ini. Itu artinya kemungkinan besar Paman Wiraraja akan bisa menerima kita, Kanda. Apakah kanda sudah tidak percaya lagi dengan Paman Ranggalawe?”

“Bukan begitu maksudnya, Dinda. Sebagai seorang petinggi, tidak ada salahnya aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih pelik.”

Gesekan dedaunan akibat sapuan angin, menguatkan kantukku. Aku pun kembali mengajakmu tidur, kau bersikukuh. Aku memaksamu berjanji agar tidak terlalu lama-lama berdiri di dekat jendela, kau hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Sekilas kutangkap dari sorot penglihatanmu; mata itu mewakilkan isi hatimu, bahwa kau ingin berterima kasih padaku dan merasa bangga karena perhatianku.

Aku pun mendekat pada ranjang. Kurebahkan badan, menatap lelangit penginapan yang sederhana. Biasanya aku memandang langit-langit istana yang indah, penuh ukiran, bukan langit-langit penginapan yang tampak tua usianya. Kini langit-langit istana itu sudah memayungi tuannya yang baru. Aku tidak bisa lagi dengan nikmat menyuruh emban-emban untuk memenuhi segala keinginanku. Sekarang aku harus melakukan apa-apa sendiri, dengan jiwa yang tidak tenang sebagai buronan Kediri. Aku sungguh tidak lebih daripada rakyat biasa.

Namun, tiba-tiba saja aku menjadi perempuan yang paling beruntung. Hanya aku, dari keempat istrimu, yang kini sedang bersamamu. Aku patut berterima kasih kepada Paman Lembusura, dialah yang menghimbauku untuk segera meninggalkan kedaton di tengah peperangan. Sekarang ini, aku bisa leluasa menghabiskan waktuku, meski dalam masa sulit, tanpa harus dijejali rasa cemburu.

Aku pernah berpikir, ingin menyingkirkan mereka—ketiga istrimu yang lain—dari hidupku dengan segala cara. Aku pernah berada di masa-masa itu, masa yang membuatku ingin sekali menguasaimu seorang diri. Ah, bukan menguasai, tepatnya lebih kepada memiliki. Pikiran itu kemudian aku kubur dalam-dalam. Tidak sepatutnya hal itu dilakukan oleh anak seorang raja besar. Lagi pula mereka juga masih saudaraku, rasanya aku juga tidak cukup tega untuk melakukannya.

Kau masih berdiri, walau aku sudah berpamitan untuk tidur lebih dulu, aku masih menahan. Aku masih berharap kau segera berada di sampingku dan memelukku. Kita terlelap bersama dalam mimpi-mimpi yang mendamaikan. Sebegitu kuatkah bayangan-bayangan peperangan mengisi tempurung kepalamu?

Ketika pagi sudah menjemput, aku bangun dari tidur dan sekujur tubuhku pegal-pegal. Kau masih nyenyak di sampingku. Hari sudah begitu terang. Wajahmu begitu layu. Pasti kau terlalu lama berdiri di dekat jendela. Mantan petinggi-petinggi Singasari mungkin sudah menunggumu. Aku mengalahkan perasaan ketidaktegaanku membangunkanmu. Bagaimanapun keadaannya kita harus segera meninggalkan penginapan ini dan kembali melakukan perjalanan.

Orang Kediri sewaktu-waktu bisa di hadap mata. Aku yakin mereka tentu tidak begitu saja melepaskan kami; orang-orang Singasari. Mereka akan terus mencari dan mencari. Mereka menghendaki kami semua mati.

“Memikirkan apa, Dinda?”

“Aku takut kalau sewaktu-waktu ada orang Kediri yang mengetahui keberadaan kita lalu berusaha menangkap kita untuk dibawa ke hadapan Gusti Prabu Jayakatwang.”

“Aku pun juga was-was dengan hal itu. Kita tidak mungkin melawan kalau itu sampai terjadi. Sedangkan jika menyerah, aku tidak bisa membayangkan perasaanku, perasaanmu, juga perasaan petinggi-petinggi lainnya.”

“Mengapa semua ini harus terjadi pada kita? Kita harus menjadi buronan, kita harus berkutat dengan rasa was-was karena merasa terancam.”

Kau memelukku. Aku tak lagi dapat membendung air mata. Kau terus berupaya menguatkanku dan berkata bahwa perjuangan ini harus dilanjutkan. Sudah begitu banyak nyawa yang hilang akibat pengkhianatan Jayakatwang. Mereka telah menjadi pahlawan bagi Singasari, katamu.

“Berdoalah, Dinda, kepada Dewata, agar perjalanan kita selalu diberikan keselamatan dan di tempat tujuan kita mendapat sesuatu yang berharga,” katamu setengah berbisik.

“Andaikan ayahanda…”

“Sudahlah, itu tidak perlu disesali. Kita sekarang butuh dorongan semangat, kalau kita menyesalkan terus ayahanda Prabu, itu akan membuat kita lemah. Semuanya sudah terjadi. Sekarang aku sadar, kita harus selalu menatap ke depan.”

“Terima kasih, Kanda, telah menguatkan Dinda.”

“Sekarang bersihkan dirimu, Dinda Tribuwana, kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini.”

Aku pun mengangguk. Kau tersenyum. Kuambil pakaian dari sebuah buntalan. Saat aku sudah berada di luar kamar, kata-katamu masih terngiang di kepala. Kata-kata soal bahwa kita harus selalu menatap ke depan!

*Cerpen ini terilhami serial FTV Tutur Tinular (1997) pada bagian saat Raden Wijaya bersama mantan petinggi Kerajaan Singasari meninggalkan Tumapel menuju Madura sebagai buronan.

Jejak Imaji, April 2021





Bagikan:

Penulis →

Risen Dhawuh Abdullah

lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *